Masyarakat Barus Tolak Rencana BRIN Memindahkan Koleksi Arkeologi

Kamis, Juni 20, 2024

Momen saat pemindahan koleksi benda arkeologi Barus pada Kamis, 6 Juni 2024.

BADAN Riset dan Inovasi Nasional hendak memindahkan koleksi arkeologi Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Rencana ini ditolak masyarakat dan pengurus Yayasan Museum Barus Raya (MBR).

Menurut Wakil Ketua V Yayasan MBR Eswandi Pasaribu, jumlah koleksi arkeologi yang mau dipindahkan ke tempat penyimpanan Gedung Koleksi BRIN Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, sekitar 60 ribu benda. Alasan pemindahan agar BRIN gampang melakukan perawatan dan penelitian.  

Mayoritas berupa pecahan keramik dan gerabah. Selebihnya koin emas dan perak, serta guci-guci Cina. Semua koleksi hasil temuan maupun penggalian arkeologi sepanjang 1980-2005. Benda-benda sejarah Barus ini terdiri dari temuan di situs Lobu Tua era abad kedelapan sampai ke-13, situs Bukit Hasan abad kesebelas sampai ke-19, situs Kadei Gadang abad kesebelas hingga ke-19, dan situs Barus Mudik abad ke-17 sampai ke-19. 

Sebenarnya, kata Eswandi, BRIN tahun lalu sudah mengabari rencana pemindahan koleksi arkeologi Barus. Namun pemberitahuannya secara lisan saja, tidak pakai korespondensi resmi sebagaimana lazim dilakukan instansi pemerintahan.  

“Juni tahun ini mereka pakai surat, tapi enggak ada tembusannya ke Pemda Tapteng (Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah), masyarakat, dan pihak yayasan. Kesan kami sejak awal BRIN main masuk saja tanpa koordinasi,” kata Andi, panggilan akrab Eswandi, kepada saya, Selasa pagi, 18 Juni 2024. Sebelumnya, Eswandi menelepon saya pada Senin malam, 10 Juni kemarin. 

Baca juga: BRIN Pakai Teknologi eDNA dan Bioakustik di Pulau Nusa Barong 

Kondisi fasad Gudang Arkenas atau Gudang EFEO, Kamis, 6 Juni 2024.

Surat BRIN yang dimaksud Andi adalah Nota Dinas Nomor B-1676/II.6.2/IR.01/5/2024 Tanggal 31 Mei 2024 yang dikeluarkan Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah BRIN. Surat yang ditandatangani Direktur Pengelolaan Koleksi Ilmiah BRIN Ratih Damayanti ini ditujukan kepada Kepala Biro Komunikasi Publik, Umum, dan Kesekretariatan perihal permohonan akses masuk dan penggunaan mes BRIN bagi CV Sinergi Indonesia yang akan memindahkan spesimen dan barang perlengkapan pendukung koleksi arkeologi yang tersimpan di Laboratorium Arkeologi Barus, Jalan KH Zainul Arifin, Kelurahan Pasar Batu Gerigis, Kecamatan Barus, pada 3-13 Juni 2024. Pemindahan dikoordinir oleh Dimas Ardiyanto sebagai Koordinator Pelaksana Fungsi Pengelolaan Koleksi Arkeologi. 

Baca juga: Pohon Kapur Terancam Punah

Selain itu, ada Surat Tugas Sekretariat Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi Nomor: B-8541/II.6.1/TU.03/5/2024 Tanggal 31 Mei 2024 yang menugaskan kepada Ery Soedewo (Peneliti Ahli Madya, Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan) dan Agus Hermawan (Pelaksana Fungsi Pengelolaan Koleksi Arkeologi, Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah) untuk melakukan pendataan spesimen dalam rangka persiapan migrasi koleksi arkeologi di Laboratorium Arkeologi Barus, Jalan KH Zainul Arifin, Desa Pasar Batu Gerigis, Kecamatan Barus, 3-10 Juni 2024. Ery dan Agus pula yang mendampingi pekerja CV Sinergi Indonesia di lokasi.

Eswandi mengatakan, tim BRIN dan pekerja CV Sinergi Indonesia mendatangi lokasi pada 6 Juni lalu dengan membawa tiga truk. Satu truk sudah berisi barang-barang, dua truk lagi masih kosong. Pemindahan barang-barang itu berhenti karena dicegah masyarakat, tokoh adat, dan pengurus Yayasan MBR, dengan disaksikan Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Barus Inspektur Polisi Satu Mulia Riadi. 

Dimediasi oleh Kapolsek, masyarakat setempat dan pihak yayasan bersama BRIN (diwakli Ery Soedewo) menggelar musyawarah. Rapat ini dihadiri unsur pemerintah kecamatan dan kelurahan. Hasilnya, seluruh unsur masyarakat di Barus menolak pemindahan koleksi arkeologi itu. 

“Penolakan kami buat tertulis dan diserahkan kepada BRIN. Kalau Pak Ery kan cuma menjalankan perintah dari pusat untuk melanjutkan penelitian dan karena adanya perubahan administrasi dalam arkeologi, maka semuanya mau diangkut ke Cibinong,” ujar Eswandi.

Baca juga: Museum Malang Tempo Doeloe Dibuka 

Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus.
Keterangan Eswandi diperkuat Muhammad Nurdin Ahmad Tanjung selaku Wakil Ketua III Yayasan MBR. Nurdin menganggap, tindakan BRIN menganggu upaya masyarakat Tapanuli Tengah (beribu kota Pandan) dan Kota Sibolga yang sedang menjalin sejarah kuno Barus sebagai pusat peradaban Islam tertua di Nusantara—ditandai dengan peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2017—sekaligus salah satu kota perdagangan tertua di Indonesia dengan kapur barus atau kamper dan kemenyan sebagai komoditas andalan yang dikenal bangsa-bangsa asing lainnya sejak seribuan tahun silam.

Baca juga: Kenali Upaya Pelestarian dan Manfaat Kapur Barus Sebelum Pohonnya Punah 

“Apalagi kami sedang giat-giatnya mendorong Barus sebagai kawasan wisata religi nasional. Rata-rata tiap bulan ada seribuan orang berziarah ke sini. Kalau benda-benda bersejarahnya dibawa semua ke Cibinong, wisatawan yang datang mau lihat apa. Rencana itu seperti mau memutus hubungan kesejarahan dan kebudayaan kami dengan Barus,” kata Nurdin. 

Nurdin menegaskan seluruh benda koleksi arkeologi Barus harus tetap di tempat asalnya. Peneliti BRIN atau peneliti dari mana pun silakan menelitinya di Barus saja. 

Nurdin dan Eswandi mencontohkan penelitian arkeologi Barus pada akhir dekade 1980 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional atau Puslit Arkenas (belakangan Puslit Arkenas dilebur ke BRIN pada awal 2022) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta riset yang dilakukan gabungan peneliti Perancis dan Indonesia sepanjang 1995-2000. Penelitian Claude Guillot dan kawan-kawan ini menghasilkan buku tebal berjudul Barus: Seribu Tahun yang Lalu yang terbit pada 2008. 

Buku itu membuktikan betapa pentingnya peranan Barus dalam sejarah kuno Nusantara. Selain memuat hasil-hasil riset arkeologi mengenai benda-benda yang ditemukan di situs Lobu Tua, diperkenalkan juga penelitian tentang sumber-sumber kuno berkenaan dengan Barus, termasuk sebuah prasasti berbahasa Tamil, sebuah teks berbahasa Armenia, dan beberapa sumber Tionghoa. Buku Barus: Seribu Tahun yang Lalu juga memuat sumbangan artikel mengenai kamper dan kemenyan yang dahulu menjadi sumber kekayaan Barus. 

Nurdin menekankan, “Biarkan semua koleksi arkeologi itu tetap di Barus dan jadi harta pusaka kami. Silakan BRIN melakukan penelitian lanjutan di Barus saja supaya lebih efektif dan efisien penelitiannya karena semua sumber informasi yang mau diperoleh ada di tempat kami, bukan di Cibinong.”

Baca juga: Kawasan Megalitik Lore Lindu Diusulkan Jadi Warisan Dunia

Koleksi benda arkeologi Barus di Gudang Arkenas atau Gudang EFEO.

Supaya kejadian serupa tidak terulang, masyarakat Barus dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah sepakat untuk segera menuntaskan pembangunan Museum Barus Raya sehingga nantinya seluruh artefak (benda arkeologi) maupun benda kuno Barus lainnya bisa disimpan dengan rapi. 

Museum Barus Raya mulai dibangun dua lantai di atas lahan 1.000 meter persegi pada 2007. Namun, proses pembangunannya berjalan sangat lambat. Bukannya selesai, justru muncul dugaan kasus penggelapan uang pembangunan museum. Bahkan, pada 8 September 2014 masyarakat Barus berdemonstrasi di depan Kantor Kejaksaan Agung. Mereka meminta Kejaksaan Agung mengusut korupsi dana pembangunan museum. Dampaknya, kepengurusan Yayasan MBR pun sempat lama vakum. 

Seluruh koleksi arkeologi Barus masih disimpan di laboratorium arkeologi milik Puslit Arkenas di Jalan KH Zainul Arifin, Kelurahan Pasar Batu Gerigis. Masyarakat Barus mengenalnya sebagai Gudang Arkenas maupun Gudang EFEO (École Française d'Extrême-Orient alias Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh). 

Nurdin dan Eswandi mengutip penjelasan tokoh Barus yang pernah jadi peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan juga Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Profesor Rusmin Tumanggor. 

Menurut Rusmin, penyimpanan semua koleksi arkeologi Barus di tempat asalnya merupakan hasil kesepakatan antara tim EFEO, Puslit Arkenas, dan unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Barus. Kesepakatan ini dicapai dalam seminar tentang sejarah barus di Hotel Fansuri, Barus, pada 22 Oktober 1996. 

Hanya sebagian kecil saja benda koleksi yang boleh dibawa untuk kepentingan identifikasi, analisis, dan interpretasi. Setelah selesai, koleksinya dikembalikan ke Barus.

Baca juga: Ragam Kekayaan Arkeologi Lore Lindu yang Diusulkan Jadi Warisan Dunia 

Koleksi benda arkeologi Barus di Gudang Arkenas atau Gudang EFEO.

Semula, seluruh artefak dititipkan di gudang Pastoran Katolik Pangaribuan di Barus. Enam bulan berselang, tim Arkenas memindahkannya ke Rumah Couple di Pasar Batu Gerigis, yang dibeli patungan oleh tim Arkenas. Rumah Couple ini kemudian dinamai “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional-Proyek Penelitian Arkeologi Barus, Kerja Sama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan École Française d'Extrême-Orient.” 

Penamaan itu berubah dengan sebutan “Pemerintah Republik Indonesia cq (casu quo) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional”. 

“Seperti disampaikan Profesor Rusmin, untuk koleksi ilmiah cukup difoto dan difilmkan, buatkan file pustaka digitalnya, tapi benda aslinya tetap di Barus. Dengan begitu, destinasi wisata Barus, khususnya wisata religinya, berkembang dan menghidupkan ekonomi kreatif masyarakat Barus,” ujar Nurdin. 

Progres pembangunan Museum Barus Raya hingga kini masih mencapai 60 persen. Pihak Yayasan MBR dan masyarakat Barus sangat berharap Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, BRIN mau membantu penyelesaian pembangunan museum, terutama mengatasi kendala lahan. 

Menurut Eswandi, pasca-penolakan tadi dilakukan pertemuan antara Yayasan MBR bersama BRIN, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Rapat ini menghasilkan kesepakatan bahwa BRIN bersedia menghibahkan lahan Gudang Arkenas kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah untuk kemudian diserahkan kepada Yayasan MBR. 

Baca juga: Lore Lindu Jadi Warisan Dunia Jika Penuhi Nilai Universal Luar Biasa

Papan nama Gudang Arkenas atau Gudang EFEO.

Saya menghubungi Ery Soedewo pada 12 dan 13 Juni 2024. Ery menyatakan hanya menjalankan perintah yang diberikan Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi untuk melanjutkan penelitian. 

“Karena ada perubahan administrasi dalam arkeologi, maka semuanya diangkat ke Cibinong,” kata Ery, yang saat ditelepon mengaku sedang berada di Bangkok, Thailand. 

Sejak BRIN dibentuk sebagai lembaga yang membidangi urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi, sebanyak 10 balai arkeologi yang berada di bawah Puslit Arkenas, yang sebelumnya bagian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbudristek, akhirnya diintegrasikan atau dilebur ke dalam BRIN. Nama Puslit Arkenas dan balai arkeologi pun berakhir. 

Seluruh balai arkeologi yang dilebur ke BRIN adalah Balar Sumatera Utara, Balar Sumatera Selatan, Balar Jawa Barat, Balar Yogyakarta, Balar Bali, Balar Kalimantan Selatan, Balar Sulawesi Selatan, Balar Sulawesi Utara, Balar Maluku, dan Balar Papua. 

Ery dikenal sebagai peneliti di Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Utara. Pria kelahiran Surabaya, 15 Juni 1973, ini pernah membantu penelitian Barus selama 2001-2005 bersama tim Puslit Arkenas dan EFEO. 

Secara ilmiah-akademis, pemindahan koleksi arkeologi sangat berguna untuk pengintegrasian dan komparasi riset dengan benda-benda sejenis dari tempat lain di Indonesia yang berperiode sama. Masalahnya, ada hal-hal kultural yang tidak boleh luput diperhatikan, apalagi dilupakan. 

Dalam pengalaman Ery, masyarakat Barus cenderung memberi respons negatif setiap Puslit Arkenas maupun BRIN melakukan sosialisasi rencana pemindahan benda-benda arkeologi karena hal ini berhubungan dengan sikap primordialitas mereka terhadap sejarah, kebudayaan, dan keagamaan atau religiusitas mereka. 

“Itu sudah jadi identitas mereka. Saya sudah sampaikan kepada pimpinan, tolong rencana migrasi koleksi arkeologi tahun ini pun dipersiapkan dengan sangat baik,” kata Ery. 

Menurut Ery, rencana pemindahan koleksi arkeologi Barus harus sepenuhnya disadari bersifat sensitif, yang harus dipersiapkan dengan sangat sabar dan teliti. Sensitifitas ini misalnya digambarkan Ery dengan keberatan masyarakat musim dan nonmuslim di sana atas rencana migrasi tersebut. Merujuk sejarah panjangnya, bicara Barus tidak melulu bicara tentang kepentingan umat Islam, tapi juga umat nonmuslim lainnya. 

“Untuk jelas dan lengkapnya, silakan Anda hubungi saja BRIN pusat,” kata Ery.

Baca juga: Membangkitkan Kembali Kejayaan Kopi Amstirdam

Papan nama Museum Barus Raya. 

Sekilas Sejarah Barus

Barus merupakan kota kecil kecil di pesisir barat Provinsi Sumatera Utara. Luasnya 21,81 kilometer persegi atau 2.181 hektare. Kecamatan Barus terdiri dari 11 desa dan dua kelurahan. Lokasi Barus persis di sebelah utara Singkil, Ibu Kota Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh Nanggroe Darussalam. 

Jumlah penduduk Barus 17.577 jiwa (8.992 pria dan 8.585 perempuan). Dengan jumlah penduduk yang sedikit, menjadikan suasana keseharian Kota Barus relatif sepi. 

Namun, Barus termasuk dalam golongan kota-kota kuno yang terkenal di seluruh Asia sejak sekurang-kurangnya abad keenam Masehi. Di masanya Barus jadi bandar niaga kelas dunia yang ramai dan sangat sibuk. Kapal-kapal asing silih berganti memasuki dan berlabuh di Barus untuk mengangkut kapur, kamfer, kemenyan, dan emas. Singkatnya, Barus boleh dibilang pernah berjaya sebagai kota metropolitan di masa lalu. 

Barus atau biasa disebut Fansur mungkin kota tunggal di Nusantara yang namanya disebut sejak awal abad Masehi dalam literatur-literatur berbahasa Yunani, Suriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa. 

Kejayaan Barus disebut dalam buku Geographia yang ditulis Claudius Ptolemaeus (Ptolemy, 85-165 Masehi), kartografer, astronom, dan filsuf terkenal yang juga gubernur di Kerajaan Yunani yang berkantor di Alexandria, Mesir, pada abad kedua. Ptolemaeus menulis di sebuah kota di pesisir barat Sumatera terdapat bandar niaga bernama Barousai, yang menghasilkan wewangian dari kapur barus. 

Hasil penelitian Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh (École Française d'Extrême-Orient/EFEO) dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional membuktikan pada abad kesembilan sampai ke-12 terdapat perkampungan multietnis di Barus, seperti Tamil, Cina, Arab, Aceh, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, dan Bengkulu. Kampung-kampung ini sangat makmur. 

Penelitian itu menghasilkan banyak temuan lain, seperti tembikar dari Asia Selatan dan Timur Tengah, keramik Cina, kendi berbahan halus, tembikar lokal, kaca, manik-manik, logam, mata uang dan emas, batu dan batu bata. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa Lobu Tua pernah jadi tempat perdagangan asing pada pertengahan abad ke-9 yang didirikan oleh para pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka, yang kemudian disusul oleh kedatangan pedagang-pedagang dari Timur Tengah dan Pulau Jawa. Lobu Tua berfungsi sebagai tempat persinggahan pedagang asing dan tempat pemuatan bahan baku, wangi-wangian, obat-obatan dari pedalaman hutan Barus. 

Para pedagang di Barus masa itu tidak hanya berdagang. Mereka juga ikut dalam pembudidayaan pulaunya, termasuk penambangan emas, bekerja sama dengan orang-orang Jawa dari kerajaan Mataram, Kediri, dan Banten. Namun, Lobu Tua mendadak ditinggalkan pada awal abad ke-12 akibat serangan musuh yang belum jelas asal-usulnya, yang disebut gergasi. 

Baca juga: Melacak Douwes Dekker di Malang

Pengurus Yayasan Museum Barus Raya di Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara.
Keberadaan komunitas pedagang Tamil (Sri Lanka) disebutkan pada batu bertulis atau prasasti yang ditemukan pejabat Belanda bernama GJJ Deutz pada 1872. Prasasti ini diterjemahkan oleh Profesor Nilakanta Sasti pada 1931 dari Universitas Madras. 

Disebutkan prasastinya bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi, era pemerintahan Raja Cola yang menguasai Sri Lanka, India Selatan. Dalam prasasti disebutkan adanya komunitas Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua. Mereka mempunyai pasukan keamanan, aturan perdagangan, dan ketentuan lainnya. 

Namun, seperti disebut tadi, Lobu Tua mendadak ditinggalkan sekitar abad ke-12. Dalam buku Lobu Tua, Sejarah Awal Barus (2002), Claude Guillot menyebut hilangnya peradaban itu karena penghancuran kawasan tersebut oleh sekelompok orang yang tidak dikenal yang disebut gergasi. 

Sedangkan menurut dongeng yang berkembang di masyarakat Barus, gergasi adalah sosok raksasa menyeramkan yang datang dari laut. Tafsiran lainnya, gergasi tak lain adalah sebutan tsunami. 

Barus akhirnya menjadi sebuah titik temu budaya Nusantara, India, dan Timur Tengah yang khas dan megah. Tempat-tempat seperti ini memunculkan peradaban dan bahasa Melayu modern, memunculkan keragaman agama dan kepercayaan. ABDI PURMONO



Share this :

Previous
Next Post »