Momen saat pemindahan arkeologi Barus, Kamis, 6 Juni 2024. |
Semula, BRIN akan memindahkan koleksi arkeologi Barus yang disimpan di Laboratorium Arkeologi Barus, Jalan KH Zainul Arifin, Desa Pasar Batu Gerigis, Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, 3-10 Juni 2024. Sebagian koleksi sudah dimasukkan ke dalam truk pada 6 Juni, tapi akhirnya diurungkan karena warga setempat datang menghadang.
Penundaan itu disampaikan langsung Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam pertemuan dengan perwakilan Keluarga Besar Masyarakat Tapanuli Tengah dan Sibolga di Ruang Inovasi Lantai 24 Gedung BJ Habibie, Jakarta Pusat, Senin, 24 Juni 2024.
“Saya
tidak memaksakan harus sekarang. Kami butuh waktu. Enggak apa-apa, enggak usah
terburu-buru. Saya mohon maaf. Kejadian kemarin itu karena kami kurang
sosialisasi,” kata Laksana.
Baca juga: Masyarakat Barus Tolak Rencana BRIN Memindahkan Koleksi Arkeologi
Laksana menyampaikannya setelah mendengarkan pendapat dan penjelasan dari Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Keluarga Besar Masyarakat (Gabema) Tapteng Sibolga Mariadi Pasaribu, serta Profesor Rusmin Tumanggor, tokoh asal Barus yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, dan Profesor Muhammad Yunan Yusuf Tanjung, tokoh asal Sorkam dan juga dosen senior UIN Syarif Hidayatullah.
Selain
ketiganya, turut hadir Ikhwan Mansyur Situmeang, Analis Kebijakan Sekretariat
Jenderal Dewan Perwakilan Daerah/Sekretariat Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Republik Indonesia sekaligus pengurus DPP Gabema Tapteng Sibolga; Sunardi
Panjaitan, pengurus DPP Gabema Tapteng Sibolga; Sulaiman, Kepala Bagian
Hubungan Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIB); Fahriany Sitanggang,
dosen UIN Syarif Hidayatullah, serta Andreas Budi dari sekretariat Yayasan Maju
Tapian Nauli (Matauli).
Sedangkan Laksana didampingi Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi Iman Hidayat; Direktur Pengelolaan Koleksi Ilmiah Ratih Damayanti; Herry Jogaswara (Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra); Kepala Pusat Riset Arkeometri Sofwan Noerwidi; Kepala Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Muhammad Irfan Mahmud, serta Marlon Nicolay Ramon Ririmasse (Kepala Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan).
Baca juga: Pohon Kapur Barus Terancam Punah
Audiensi DPP Gabema Tapteng Sibolga di Kantor BRIN, Senin, 24 Juni 2024. |
Kedua, Gabema
mengusulkan penetapan Barus dan Bongal di Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai
kawasan riset penelitian arkeologi BRIN dengan membangun museum di lahan milik Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Jalan KH Zainul Arifin, seperti
yang disepakati bersama masyarakat dan musyawarah pimpinan kecamatan Barus
sebagai “surga” destinasi penelitian di Sumatera Utara dan Indonesia bagi
perguruan tinggi dan pemangku kepentingan lainnya yang berada di Indonesia
maupun dari luar negeri.
Ketiga, meminta kepada BRIN untuk mengaji secara holistik dan sistemik situs Bongal, di Teluk Tapanuli, Desa Jagojago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. Situs Bongal dinilai membuka perspektif baru kesejarahan Indonesia karena mengindikasikan interaksi penduduk Nusantara bangsa-bangsa lain (Timur Tengah, India, dan Cina) melalui pelayaran dan perdagangan dalam rentang Abad VII hingga Abad X atau berusia 200 tahun lebih tua dari situs Barus. Namun, dugaan ini perlu dianalisis secara kritis karena diduga pelayaran niaga ribuan tahun silam itu tidak langsung menuju Jagojago tanpa melalui Barus.
Tonton: Rumah Adat Suku Tambi Suku Lore di Kabupaten Poso Terancam Punah
Keempat, perkembangan teknologi digital yang canggih sangat mendukung kegiatan penelitian sehingga tidak semua benda arkeologi tidak harus dikumpulkan terpusat di satu lokasi karena ribuan sumber tempat artefak tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sentralisasi pengumpulan koleksi artefak melanggar prinsip otonomi daerah, termasuk mengabaikan kegunaan riset untuk konservasi, penelitian, pendidikan, dan pengembangan pariwisata di daerah, termasuk Barus dan Bongal.
“Cukup BRIN filmkan, foto, dan gunakan teknologi digital lainnya untuk mendokumentasikan benda situs dari seluruh wilayah Indonesia. Satu paket disimpan di Perpustakaan Laboratorium Pusat Arkeologi Nasional atau apa pun namanya, atau disimpan di wilayah BRIN daerah kabupaten dan provinsi. Intinya, jangan semua disimpan di Cibinong,” kata Masriadi.
Koleksi benda arkeologi Barus di Gudang Arkenas atau Gudang EFEO. |
Keenam, BRIN diminta semakin akrab bekerja sama dengan pelbagai pihak di dalam dan luar negeri sebagai upaya diseminasi pemanfaatan riset, seperti organisasi pemerintahan daerah (dinas kebudayaan, dinas pendidikan, dinas pariwisata), lembaga riset, universitas, dan lembaga swadaya masyarakat. Kolaborasi ini sangat penting untuk mengatasi kendala personel, anggaran, dan infrastruktur.
Rusmin mengatakan, pendekatan antropologi mungkin tidak holistik dan komparatif di dalam praktiknya. Tapi antropologi satu-satunya disiplin ilmu sosial yang membangun holisme, yang secara sistemik memperhatikan perbedaan antara pengetahuan emik dan etik. Emik mengacu pada pandangan masyarakat yang dikaji atau native’s viewpoint. Sedangkan etik mengacu kepada pandangan peneliti yang mengkaji atau scientist’s viewpoint.
Rusmin menerangkan pendokumentasian riset di beberapa tingkatan penelitian arkeologi situs-situs Barus mulai tahap pengumpulan data lapangan, metode pengumpulan data lapangan selama ekskavasi daratan (terrestrial excavation), analisis jenis dan bahan artefak, serta pencatatan dan pemotretan kegiatan survei.
Kawasan situs Barus mencakup Lobu Tua era abad kedelapan hingga ke-13, situs Bukit Hasang abad kesebelas sampai ke-19, situs Kadei Gadang abad kesebelas hingga ke-19, dan situs Barus Mudik abad ketujuh belas hingga ke-19.
Selama studi doktornya tentang antropologi kesehatan di Barus, Rusmin bertemu tim Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh (École Française d'Extrême-Orient/EFEO) dan Tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mengumpulkan data tinggalan arkeologi (archaeological remains) atau benda arkeologi (archaeological material) di situs-situs Barus. Tim EFEO dipimpin direkturnya, Profesor Denys Lombard dan Tim Puslit Arkenas dipimpin kepalanya, Profesor Hasan Muarif Ambary.
Dalam seminar sejarah Barus di Hotel Fansuri, Barus, 22 Oktober 1996, yang dimoderatori Rusmin, tim arkeolog Indonesia dan Perancis bersama unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Barus dan peserta seminar menyepakati untuk menitipkan artefak situs-situs Barus di gudang Pastoran Katolik Pangaribuan di Barus, dengan tujuan agar benda-benda arkeologi Barus tidak dibawa keluar sehingga Barus tidak kehilangan bukti artefak pendukung validitas dan reliabilitas data sebagai kota tua nan sangat bersejarah.
Hanya sebagian kecil saja benda arkeologi yang boleh dibawa untuk kepentingan identifikasi, analisis, dan interpretasi. Setelah selesai, koleksinya dikembalikan ke Barus.
Enam bulan berselang, tim Arkenas memindahkannya ke Rumah Couple di Pasar Batu Gerigis, yang dibeli patungan oleh tim Arkenas. Rumah Couple ini kemudian dinamai “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional-Proyek Penelitian Arkeologi Barus, Kerja Sama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan École Française d'Extrême-Orient.”
Penamaan itu berubah dengan sebutan “Pemerintah Republik Indonesia cq (casu quo) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional”. Masyarakat Barus menyebutnya Gudang Arkenas atau Gudang EFEO.
Baca Juga: Kenali Upaya Pelestarian dan Manfaat Kapur Barus Sebelum Pohonnya Punah
Dalam perkembangannya masyarakat Barus membangun Museum Barus Raya untuk menyimpan artefak situs-situs Barus. Mulai dibangun sejak 2007, progres pembangunannya baru mencapai 50 persen.
“Kalau ada dana bikin museum, di museum kita simpan. Kebetulan, sebuah lembaga di Barus ingin membangun museum. Tapi mandeg dan mereka mencari dana,” kata Rusmin.
Meski museum belum selesai dibangun, di Barus telah berdiri Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2017.
Papan nama lahan Museum Barus Raya. |
Selain itu, Rusmin menceritakan pengalaman dirinya menyelesaikan konflik sosial di wilayah Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah (25 Desember 1998 sampai 20 Desember 2001); Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat (1999), serta Kota Sampit, Ibu Kota Kabupaten Waringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah (2001). Belajar dari kerusuhan-kerusuhan ini, Rusmin mengingatkan BRIN agar lebih bijaksana untuk memahami pandangan masyarakat Barus.
“Jangan
staf Bapak yang ke sana, bisa terjadi bentrok. Saya seorang antropolog. Konsep
dasar saya berpikir ialah emik dan etik. BRIN harus memperhatikan emik dan etik
ini demi kebaikan kita bersama,” ujar Rusmin, mengingatkan BRIN.
Baca juga: Kawasan Megalitik Lore Lindu Diusulkan Jadi Warisan Dunia
Laksana menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas masukan-masukan yang disampaikan perwakilan masyarakat Tapanuli Tengah dan Sibolga. BRIN mengharapkan kerja sama dengan DPP Gabema Tapteng Sibolga di masa depan supaya kegiatan riset arkeologi BRIN di Barus dan sekitarnya berlangsung lancar.
“Saya meminta Pak Iman dan Bu Ratih untuk mengundang Bapak Ibu untuk melihat pengelolaan koleksi ilmiah BRIN. Tidak cukup disimpan, harus diriset. Dari hasil riset, kita tahu maknanya, ceritanya. Berbasis data ilmiah,” kata Laksana.
Ujaran Laksana merujuk pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bahwa Pemerintah Pusat menetapkan wajib serah dan wajib simpan atas seluruh data primer dan keluaran hasil penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan.
Dalam Pasal 40 ayat (2) disebutkan wajib serah dan wajib simpan dilakukan oleh penyandang dana; sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Mengenai migrasi koleksi arkeologi, pemindahan artefaknya tidak akan rusak. Menjaga artefak concern kami. Kalau artefak rusak, selesai. Kami simpan di tempat yang aman. Kita tidak bisa lagi amatiran. Fokus kami menyelamatkan aset nasional. Kalau cuma digali, ditumpuk di sana, buat apa? Kemampuan mengelola koleksi berkelanjutan, mahal. Tidak mungkin kita bikin gedung koleksi di semua wilayah, tapi gedung museumnya harus di semua wilaya. Ini kerja besar. Kami berharap Bapak Ibu memiliki pemahaman yang sama dengan kami,” kata Laksana.
Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus. |
Situs Bongal diduga sudah menjadi permukiman kosmopolitan sejak abad pertama Masehi berkat kegiatan perdagangan yang tidak hanya melibatkan bangsa-bangsa dari wilayah Asia Barat, tapi juga bangsa-bangsa dari wilayah Asia Utara dan Mediterania.
Baca juga: Lore Lindu Bisa Jadi Warisan Dunia Jika Penuhi Nilai Universal Luar Biasa
Berdasarkan hasil ekskavasi arkeologi 14-23 Februari 2022, ditemukan manik-manik kaca berlapis emas dan perak di Situs Bongal. Manik-manik kaca ini merupakan jenis manik kaca Romawi yang diproduksi di Mesir dalam rentang Abad I hingga Abad IV Masehi. Hal ini mengindikasikan kawasan Bongal sudah menjadi kosmopolitan di abad pertama dan diduga situs Bongal lebih tua 200 tahun dari situs Barus.
Karena itu, BRIN menominasikan Bongal sebagai tujuan riset arkeologi maritim karena berhubungan dengan kegiatan maritim di kawasan pesisir barat Sumatera di masa lalu.
“Kalau
di Barus tidak selesai, kami tidak bisa teruskan di Bongal. Kami tidak bisa
ekskavasi besar-besaran di Bongal. Semangat kami justru ingin melestarikan
sejarah dan menggali budaya Barus. Kalau disalahartikan ngambilin, wah repot. Barus kami pending dulu. Kami tunggu masyarakat menerima,” kata Laksana. ABDI PURMONO
0 Komentar