Kelompok berpaham keagamaan yang ekstrem menjadikan generasi milenial sebagai salah satu sasaran utama.
MALANG —
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengajak generasi milenial untuk
aktif menyuarakan perdamaian dan toleransi melalui media sosial.
Direktur Pencegahan BNPT Irfan Idris mengatakan, generasi
milenial menjadi fokus perhatian BNPT karena kelompok berpaham keagamaan yang ekstrem menjadikan mereka sebagai salah satu sasaran utama untuk
diradikalisasi dengan cara menanamkan kebanggaan, perasaan heroik, dan
militansi berlebihan dalam beragama.
“Anak-anak muda kita, terutama dan khususnya yang masuk kelompok milenial,
disuguhi propaganda cara instan membela Tuhan sebagai cara kilat menuju surga.
Indoktrinasi seperti ini mudah masuk kepada anak-anak muda yang mendambakan
diri disebut sebagai pahlawan dan pejuang,” kata Irfan pada Senin
petang, 17 April 2023.
Irfan Idris menyampaikan hal itu dalam acara dialog kebangsaan bertema “Deen Assalam” atau “Agama Perdamaian” yang diadakan oleh komunitas Duta Damai Jawa Timur bekerja sama dengan BNPT dan Universitas Brawijaya (UB). Selain Irfan, acara ini diisi dua narasumber, yaitu Kepala Subdirektorat Kontra Propaganda BNPT Kolonel (Sus) Solihuddin Nasution dan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengembangan Kepribadian Mahasiswa UB Mohamad Anas.
Baca juga: Jelang Ramadan di Masjid Taj Mahal Malang
Diadakan di Lantai 8 Gedung Rektorat UB, acara ini oleh sekitar 50 pegiat
Duta Damai diakhiri dengan pemberian santunan kepada 10 anak yatim dan berbuka
puasa.
Irfan menjelaskan, tema kegiatan dialog kebangsaan itu merujuk pada ajaran
dan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Islam sebagai agama
perdamaian atau deen assalam lahir dari ajaran dan praktek
keagamaan yang mendorong terciptanya perdamaian, sesuai visi kerasulan Nabi
Muhammad sebagai pembawa rahmat dan misi kerasulan Nabi Muhammad untuk
memperbaiki etika menuju akhlakul karimah atau akhlak yang
mulia.
“Dalam aspek ajaran, banyak sekali ritual dalam Islam yang mengajarkan
umatnya untuk membangun nilai dan sikap perdamaian,” ujar Irfan, Guru Besar
Politik Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Sulawesi
Selatan.
Irfan mencontohkan ibadah puasa Ramadan. Ramadan ialah bulan perdamaian
atau as-syahrul assalam karena membina dan mencetak manusia
yang sabar, mampu menahan diri, mengendalikan emosi, dan menebar empati. Bulan
Ramadan dengan beragam praktek ritualnya dari berpuasa, salat tarawih
berjamaah, tadarus Al-Qur’an hingga membayar zakat mengajarkan kesalehan ritual
dan sosial.
Baca juga: Oasis Ramadan bagi Kaum Duafa di Lawang
“Ini membuktikan Islam adalah deen assalam. Karena itulah, berbagai praktek intoleransi, apalagi ekstremisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam sejatinya merupakan fitnah bagi agama Islam itu sendiri,” ujar Irfan.
Karenanya, Irfan melanjutkan, menanamkan kebangsaan dan heroisme kepada generasi muda penting dilakukan, dimulai dengan membentuk persepsi tentang moderasi beragama sehingga mereka menyadari sejak dini bahwa pandangan intoleran atau membenci perbedaan dan atau menganggap semua pandangan yang berbeda sebagai musuh, hingga melakukan kerusakan melalui aksi bom bunuh diri, bukanlah tugas suci agama seperti yang dikampanyekan kelompok radikal terorisme.
Kata Irfan, “Penting untuk dicermati bahwa terorisme dan radikalisme
dimulai dari anak tangga paling bawah bernama intoleransi. Anak-anak muda yang
tidak suka terhadap perbedaan dan selalu merasa paling benar di tengah
keragaman menjadi target empuk kelompok radikal terorisme.”
Makanya, generasi muda bisa melawan paham kelompok radikal terorisme dengan
menggunakan narasi yang santai dan menyejukkan melalui akun media sosial
masing-masing. Penggunaan bahasa gaul, misalnya, bisa mengefektifkan kampanye
perdamaian di kalangan generasi milenial. Pesannya bisa langsung memasuki alam
pikiran mereka.
Konten-konten bermuatan kearifan lokal atau local wisdom juga
sangat layak dikampanyekan lewat media sosial. Konten semacam ini bisa efektif
menyentuh sanubari dan pikiran publik.
“Apa pun cara, gaya, dan bahasanya yang khas karakter generasi milenial,
narasinya harus tetap positif, bermanfaat, dan bukan hoaks,” ujar Irfan.
Baca juga: Oase Ramadan di Hamamatsu
Solihuddin Nasution menambahkan, saat ini BPNT bermitra dengan 18 komunitas
Duta Damai, masing-masing mewakili satu provinsi. BNPT terus berupaya
menambah jumlah komunitas Duta Damai hingga nantinya berdiri di semua (38)
provinsi.
Selain Duta
Damai reguler, BPNT juga mempunyai program membentuk Duta Damai Santri yang
berbasis di pondok-pondok pesantren. Para santri bisa jadi garda terdepan untuk
melawan narasi-narasi intoleransi karena jumlah mereka begitu besar. Saat ini
BPNT baru punya satu komunitas Duta Damai Santri, yaitu di Pondok Pesantren
Tebuireng di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Pada tahun
ini ditargetkan berdiri tiga Duta Damai Santri, masing-masing di Jawa Tengah,
Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
“Di Indonesia ada sekitar 38 ribu pondok pesantren. Bayangkan jika seluruh
pesantren bersedia jadi duta damai. Perbanyak konten di dunia maya oleh anak
muda, jangan sampai dunia maya dikuasai kelompok radikal terorisme,” kata
Solihuddin.
Solihuddin mencontohkan, aksi teror yang dilakukan jihadis milenial di
Makassar dan Jakarta menjadi peringatan bagi masyarakat ihwal bahaya paham
radikal terorisme. Fenomena ini membuktikan propaganda yang dilakukan untuk
menjaring simpati, dukungan, dan anggota kelompok radikal memang menyasar
generasi muda. Internet dan media sosial bisa jadi ruang propaganda yang
efektif bagi kelompok radikal terorisme.
Sebagai bentuk pencegahan, BNPT membentuk Duta Damai Dunia Maya
yang digerakkan oleh kaum milenial sejak 2016. Duta Damai bertugas sebagai
mitra BNPT dalam melawan ide-ide dan propaganda radikal yang tersebar
di dunia maya. Duta Damai bekerja melalui kegiatan-kegiatan yang mampu
meningkatkan rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap Tanah Air. ABDI
PURMONO
0 Komentar