Kegiatan diskusi terpumpun tentang penanggulangan penyakit tuberkulosis yang diadakan Yayasan Bhanu Yasa Sejahtera (YABHYSA) di Hotel Savana, Kota Malang, Rabu, 18 Januari 2023. Foto: ABDI PURMONO |
Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini sering menginfeksi paru-paru, serta dapat juga menyerang tulang, kelenjar, dan kulit. Tuberkulosis merupakan penyakit menular. Penularan tuberkulosis bisa terjadi melalui droplet (percikan air di udara) yang dikeluarkan penderita TB aktif saat bersin, batuk, berbicara, bernyanyi, atau tertawa.
Tuberkulosis masih jadi satu dari sepuluh penyakit penyebab utama kematian di dunia. Secara global, Indonesia pun masih merupakan salah satu negara dengan beban TBC tertinggi di dunia dan masih bertahan dalam kelompok tiga besar negara dengan jumlah penderita tuberkulosis terbanyak setelah India dan Cina.
Angka penderita tuberkulosis di Indonesia cenderung naik dalam tiga tahun terakhir. Pada 2020, data TBC di Indonesia menunjukkan mayoritas (67 persen) penderita tuberkulosis berusia produktif (15-54 tahun) dan 9 persen lagi adalah penderita berusia kurang dari 15 tahun alias masih anak-anak. Mengacu pada WHO Global TB Report 2020, sebanyak 10 juta orang di dunia menderita TBC dan menyebabkan 1,2 juta orang meninggal setiap tahunnya.
Pada 2020 di Indonesia, diperkirakan sebanyak 845 ribu orang menderita TBC dan 98 ribu orang di antaranya meninggal atau setara dengan 11 kematian per jam.
Mengacu data WHO Global Tuberculosis (TB) Report 2021, Indonesia berada di posisi ketiga (8,4 persen) di bawah Cina (8,5 persen) dan India (26 persen). Di bawah Indonesia ada Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan.
Estimasi temuan kasus TBC pada
2021 sebanyak 824 ribu atau setara 301/100.000 penduduk, dengan angka kematian
atau mortalitas 93 ribu orang per tahun.
Namun, pada 2022 menurut data yang sama, Indonesia menempati peringkat kedua (9,2 persen) di bawah India (28 persen). Sedangkan Cina turun ke posisi ketiga dengan angka 7,4 persen. Estimasi temuan kasus TBC di Indonesia sebanyak 969 ribu atau setara 354 per 100 ribu penduduk, dengan angka kematian 144 ribu orang.
Demikian data tuberkulosis yang dirangkum dari kegiatan diskusi terpumpun atau focus group discussion yang diselenggarakan Yayasan Bhanu Yasa Sejahtera (YABHYSA) Peduli TBC Kota Malang di Hotel Savana, Rabu, 18 Januari 2023. Kegiatan ini dihadiri Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang Husnul Muarif dan I Made Riandiana Kartika, ketua parlemen setempat.
“Bila kita persempit skopnya di Kota Malang, temuan kasus TB-nya 60 persen atau masih di bawah standar Program Nasional Penanggulangan TBC yang 70 persen dan angka keberhasilan penyembuhannya berkisar 77 persen atau masih di bawah standar 90 persen,” kata Kepala YABHYSA Kota Malang Ruly Narulita.
Baca juga: Jumlah Penderita Tuberkulosis di Kota Malang Masih Tinggi
Ketua DPRD Kota Malang I Made Riandiana Kartika dan Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang Husnul Muarif, Rabu, 18 Januari 2023. Foto: ABDI PURMONO
Ruly Narulita dan kawan-kawan sudah aktif membantu pemerintah menanggulangi penyakit tuberkulosis sejak 2014. Berdasarkan pengalaman mereka, ada tiga penyebab penyakit tuberkulosis masih jadi momok menakutkan sehingga tetap sulit diatasi, yaitu mitos, stigma negatif, serta rendahnya edukasi dan literasi.
1. Sebagian masyarakat Indonesia masih mempercayai mitos dan takhayul tentang penyakit, termasuk TBC. Banyak masyarakat percaya TBC sebagai penyakit kutukan leluhur atau hasil jampi-jampi/guna-guna seseorang.
Dampaknya, penderita tuberkulosis bukannya dibawa ke fasilitas kesehatan untuk ditangani, tapi justru disarankan melakukan sejumlah ritual supaya terbebas dari hal-hal buruk itu. Padahal, faktanya, ritual semacam itu tidak mampu menyembuhkan penyakit TBC yang diderita seseorang. Penyakit TBC bisa disembuhkan dengan perawatan medis dan mengonsumsi obat yang diresepkan secara disiplin dan teratur.
Mitos lain yang didapat kader YABHYSA di lapangan, TBC merupakan penyakit keturunan yang bisa menurun ke anak dan cucu. Faktanya, tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
2. Jamak didapati di lapangan bahwa penderita TBC acap mendapat stigma negatif sehingga penderita mengalami diskriminasi. Selain harus berjuang menyembuhkan penyakitnya, penderita TBC masih harus berjuang menghadapi pengucilan oleh masyarakat dan bahkan oleh keluarga sendiri. Segelintir tenaga kesehatan juga ogah memeriksa karena takut tertular.
Ruly menceritakan sebuah kasus menyedihkan penderita TBC yang didampingi Yayuk Widiana selaku Bendahara YABHYSA Kota Malang. Karena takut tertular, pihak keluarga menyewa sebuah lapak dagang untuk ditempati anggota keluarga yang menderita TBC.
“Penderita disewakan bedak atau tempat jualan yang biasa kita temukan di pasar-pasar. Di situlah penderita ditempatkan untuk istirahat, makan, minum, dan aktivitas lainnya. Makan dan minumnya dipesan secara online,” ujar Ruly.
Padahal, Ruly menukas, penderita TBC membutuhkan semangat dan dukungan masyarakat setempat dan utamanya dari pihak keluarga untuk sembuh. Penanganan penderita TBC bisa dikomunikasikan langsung dengan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lain dan kader YABHYSA.
Supaya tidak menulari orang lain, penderita TBC harus disiplin menerapkan protokol kesehatan dengan benar, seperti menggunakan masker, menutup mulut saat bersin dan batuk, serta teratur meminum obat sampai tuntas sebagaimana diresepkan dokter.
Selain itu, orang yang tinggal serumah dengan penderita TBC disarankan rajin membersihkan rumah, memastikan ruangan berventilasi dan memiliki pencahayaan yang baik, serta berpola hidup sehat untuk menjaga kondisi kondisi tubuh tetap prima.
3. Mayoritas penderita TBC tidak memeriksakan diri pada dokter untuk mendapat penanganan yang tepat. Mereka menganggap penyakit TBC sebagai penyakit ringan yang tidak butuh penanganan khusus sehingga bisa sembuh sendiri dengan mengonsumsi obat batuk biasa.
Persepsi dan pemahaman salah itu disebabkan oleh lemahnya edukasi tentang pengobatan TBC. Padahal, orang dengan TBC memerlukan pengobatan dalam jangka waktu minimal 6 bulan dengan teratur mengonsumsi semua obat yang diresepkan.
Kendati gejalanya sudah hilang selama masa pengobatan, orang dengan TBC tetap harus mengonsumsi obat sesuai yang diresepkan dokter. “Sebab,” kata Ruly, “meski gejalanya sudah hilang, tapi bakterinya belum tentu hilang.”
Minum obat antituberkulosis tidak boleh putus. Harus disiplin. Apabila sekali saja tidak minum obat, pengobatan bisa diulang dari awal dan atau penyakitnya malah tambah parah. Andai berhenti minum obat atau tidak melanjutkan pengobatan, maka bakteri bakteri Mycobacterium tuberculosis bisa kebal terhadap obat yang diberikan sehingga penyakit TBC-nya jadi lebih berbahaya dan makin sulit disembuhkan.
Bila orang dengan TBC ingin melanjutkan pengobatan, bukan saja harus diulang dari awal, tapi durasi pengobatannya jadi lebih panjang, minimal butuh 20 selama bulan untuk masa pengobatan.
Baca juga: 3 Alasan Penyakit Tuberkulosis Sukar Diberantas
“Ada juga penyebab lain tapi
tidak terlalu dominan, yaitu masalah ekonomi, ketiadaan biaya. Masalah ini
sebenarnya bisa diatasi bersama. Pasti ada jalan keluarnya. Tapi, tiga penyebab
itu yang paling menonjol selama kami bergerak di lapangan,” kata Ruly. ABDI PURMONO
0 Komentar