Teater Api Indonesia Surabaya mementaskan lakon Toean Markoen di Kota Malang. Lakon ini diadaptasi dari naskah Mesin Hamlet atau Die Hamletmachine karya Heiner Muller, dramawan Jerman. Mereka menghadirkan pertunjukan teater tubuh.PUKUL 8 malam, teng…
Sirene peringatan serangan udara meraung pelan sebanyak 25 kali dalam ruangan nan redup.
Sebanyak 60-an orang duduk lesehan beralas karpet hijau maupun menduduki deretan kursi, seturut formasi keliling persegi panjang huruf u.
Semenit berselang, cahaya temaram menyorot bidang kosong di hadapan penonton. Tampaklah panggung yang serata lantai ubin, dengan tumpukan ribuan tulang daun nyiur (lidi) dan berlatar bingkai kotak persegi empat.
Perlahan-lahan terdengar suara seorang pria yang melantangkan nama Ophelia beberapa kali seraya bergerak merayap dan menyeruak tumpukan lidi hingga ia tegak berdiri telanjang dada. Memakai sepatu bot hitam dan sarung kotak-kotak yang dipola menyerupai kilt alias rok tradisional pria Skotlandia, sang pria memegang tongkat bendera berumbai warna pastel dengan lima ikatan pita warna merah jambu.
Baca juga: Cinta Terlarang Julian dan Benda
Selanjutnya, tiga pria bersarung dan bertelanjang dada muncul tiada lama setelah pria pertama mundur ke belakang panggung. Tubuh mereka bergerak “liar”, merintih, dan mengeluarkan “mantra” panjang yang mirip sebuah lolongan. Dibalut amarah, mereka mengangkat tinggi tumpukan lidi, lalu melemparkannya ke arah penonton. Lidi berserakan.
Adegan beralih pada sosok seorang pria berkostum kuning ala ninja dan bermasker antiradiasi (hose mask). Ia muncul dengan memegang dua tongkat bendera semafor berbahan plastik merah. Punggungnya digelayuti 20 kaleng yang diikatkan pada sebatang rotan yang merentang di sisi kiri dan kanan mirip sayap ngengat. Di bagian kepala, menjulur tiga antena rotan yang masing-masing antena dipasangi bendera mungil sejumlah negara. Benderanya bermatra segitiga sama kaki.
Baca juga: Maestro Topeng Malang tanpa Ketenaran
Si pria mencoba melindungi kaleng yang tersisa dan ia bergerak pelan ke belakang sampai alarm peringatan serangan udara kembali berbunyi, pertanda pementasan lakon Toen Markoen oleh Teater Api Indonesia (TAI) berakhir.
Baca juga: Goda Gado Srimulat (1)
Keenam aktor TAI yang memainkan Toean Markoen bersama sutradara Luhur Kayungga duduk lesehan untuk berdialog dengan penonton.
Luhur Kayungga menjelaskan, pergelaran berdurasi 35 menit itu merupakan pergelaran berlakon sama yang ketiga kalinya mereka mainkan sejak 2021.
Pertunjukan Toean Markoen pertama dilangsungkan secara daring tanpa penonton di Gedung Teater Program Studi Seni Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW), Jumat, 19 Februari 2021. Diadakan secara daring sesuai protokol penanggulangan Covid-19.
Baca juga: Goda Gado Srimulat (2)
Toean Markoen diadaptasi dari naskah Mesin Hamlet atau Die Hamletmachine karya Heiner Muller, seniman Jerman Timur—sebelum Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu jadi Republik Federal Jerman. Naskah Mesin Hamlet tergolong naskah teater terpendek di dunia, maka wajar pula pementasan Toean Markoen berdurasi pendek, kurang dari 40 menit.
Baca juga: Kisah Panji yang Mendunia
“Jika ada yang menonton pertujukan sebelumnya di Surabaya, tentu tahu perbedaannya dengan pertunjukan di Malang malam ini. Pesan utama yang kami sampaikan sama saja, tapi pertunjukan di Malang mengalami banyak perubahan gagasan, terutama dalam penggunaan properti,” kata Luhur.
Luhur mencontohkan, ruang pertunjukan di Aula Oesman Mansoer tidak seluas dan selebar pentas pertunjukkan di Gedung Cak Durasim. Antara lantai dan langit ruangan terbilang pendek sehingga mereka tidak dapat menghadirkan properti cerobong asap dari gulungan seng yang digantung sebagaimana ditampilkan dalam pertunjukan Toen Markoen di Gedung Cak Durasim.
Mereka pun harus putar akal untuk menyiasati lantai ubin yang mengkilap. Lantai yang mengkilap bisa merusak estetika pencahayaan (lighting). “Akhirnya kami pakai batang lidi. Properti lain juga disesuaikan. Tapi secara prinsipil, pesan utamanya sama saja,” ujar Luhur.
Baca juga: Chairil Anwar Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi di Malang
Teater Api Indonesia mengusung lakon Toean Markoen karena tertarik pada masalah industri yang dihasilkan oleh keserakahan kapitalisme. Industrialisasi hanya menghasilkan limbah dan polusi.
Toean Markoen merupakan lambang tergerusnya peradaban manusia akibat praktik-praktik imperialisme kapital. Dalam bahasa prokem atau rahasia di kalangan terbatas, “markoen” adalah sebuah istilah dengan ejaan lama—semestinya ditulis markun—yang berarti makan secara lahap dan cenderung serakah.
Baca juga: Lemah Tanjung dan Sastra Perlawanan
Toean Markoen adalah upaya melongok sejarah peradaban manusia yang telah kehilangan martabat kemanusiaannya atau dihinakan hanya menjadi sekrup-sekrup mesin dan dibuang sebagai sampah-sampah pabrik.
Melalui Toean Markoen, kelompok teater berusia 29 tahun itu ingin berpesan perihal industri sebagai hasil pemikiran kaum kapitalis yang sesungguhnya cuma siklus atau lingkaran setan yang ujung-ujungnya menghancurkan lingkungan dan menjadi tragedi kemanusiaan. Sejak mula industri hanya jadi rentetan problem, mulai dari masalah perbudakan hingga penggusuran tenaga manusia dengan mesin. Limbah dan polusi yang dihasilkan industri telah merusak lingkungan dan meracuni kehidupan manusia.
“Industri yang dibangun para kapitalis menculik satu peradaban bersama generasinya. Mereka membabat hutan, mencaplok sawah-sawah, mengeruk isi alam, lalu mencuci otak dan memperbudak manusia hanya menjadi alat produksi,” ujar Luhur, yang juga Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Surabaya.
Luhur menyatakan pergelaran Toean Markoen merupakan pertunjukan teater tubuh yang memang berkonsep meminimalisir penataan panggung dan penggunaan properti. Tubuh aktor jadi sentral pertunjukan.
Baca juga: Impian Amerika
Karena itu, selama pertunjukan Toean Markoen tiada ujaran atau dialog aktor kecuali awal pertunjukkan aktor pertama melantangkan nama Ophelia, yang notabene nama putri penasihat kerajaan Denmark yang menjadi kekasih Pangeran Hamlet dalam drama tragedi termasyhur karya William Shakespeare (1564-1616) berjudul Hamlet.
Para aktor dibiarkan mengeksplorasi tubuh sebagai kunci: bergerak “liar”, berteriak, merintih, mengeluarkan “mantra-mantra”, berdialog dengan beragam properti di panggung. Tubuh berfungsi bukan sebagai media ungkap belaka, melainkan jadi identitas yang utuh dan mandiri.
Luhur memberi kebebasan sepenuhnya kepada para pemain untuk mengeksplor tubuh sonder kata-kata. Penonton diberi pilihan untuk menyaksikan tubuh aktor di arena sebagai gerak teatris yang organik, maupun menikmatinya lewat properti panggung yang terpusat pada bidang refleksi bingkai kotak persegi empat yang ditaruh sebagai latar panggung. Penonton bebas memindai realitas dari gerak tubuh para aktor.
“Silakan Anda semua menafsirkan sendiri setiap gerak yang kami mainkan dan semoga bisa menemukan kebenaran yang bersemayam di kedalaman jiwa manusia,” kata Luhur.
Baca juga: Bernostalgia Bersama Galeri Malang Bernyanyi
Pambudi, salah satu pemain, berharap pertunjukan TAI bisa memantik kelompok-kelompok teater di Malang untuk aktif kembali berkarya. Pertunjukan teater di Kota Malang pernah semarak satu dekade sebelumnya dan kini meredup. ABDI PURMONO
Majalah TEMPO edisi 21-27 November 2022.
0 Komentar