ANDAIKAN
saat ini kondisi sudah normal dari pandemi Covid-19 dan Anda punya waktu sehari
untuk berwisata di Tondano, Ibu Kota Kabupaten Minahasa. Waktu sehari tentu tak
cukup cukup untuk mengunjungi sedikitnya 15 objek wisata di Minahasa.
Simaklah
penjelasan Roni Sepang, warga Kota Tomohon, tetangganya Tomohon. Tondano dan
Tomohon dua daerah administratif mandiri di Provinsi Sulawesi Utara yang
terpaut jarak sekitar 12 kilometer dengan waktu tempuh 20 menit menggunakan
mobil, melewati kontur jalan perbukitan.
Menurut
Roni, Pemerintah Kabupaten Minahasa sedang menggiatkan promosi 15 objek wisata,
yaitu Danau Tondano, Benteng Moraya, rumah Belanda, Uluna Tondano,
Sumaru Tondano, kolam air panas Citos Koya, kolam air panas
Marfel Tataaran 1, wisata kuliner Boulevard, Gua Jepang Tonsealama, Taman Kota Tondano, rumah pohon
Puncak Urango, Patung Korengkeng Sarapung, Makam Pahlawan Nasional Sam Ratulangi,
dan Kampung Jawa yang populer dengan sebutan Kampung Jaton alias Jawa
Tondano.
“Ya,
minimal tiga hari bisa puas mengunjungi semua objek,” kata Roni Sepang kepada
saya dan Hasudungan Sirait pada Senin, 27 Januari 2020. Saat itu
kami melakukan perjalanan dari Kota Manado (Ibu Kota Provinsi Sulawesi Utara)
dengan melintasi Tomohon dan berakhir di Tondano.
Lalu, wartawan sebuah
harian di Kota Manado itu merekomendasikan tujuan ke Danau Tondano, danau
terbesar di Provinsi Sulawesi Utara dengan luas
4.278 hektare atau 42,78 kilometer persegi. Kami masih bisa menikmati suasana kota
Tondano, terutama saat melintasi pasar dan taman kota, selepas keluar dari wilayah
Tomohon mengarah ke lokasi danau yang objek wisata andalan
utama Kabupaten Minahasa itu.
Dari pusat
kota Tondano kami mengarah ke selatan. Jalanan lebar beraspal mulus. Sekitar
250 meter dari taman kota kami bersua Patung Korengkeng Sarupung yang berlokasi
di pertigaan ujung Boulevard Tondano.
Tonton juga: Wah, Rumah Belanda di Rawa-rawa.
Tonton juga: Wah, Rumah Belanda di Rawa-rawa.
Monumen di
Kelurahan Roong, Kecamatan Tondano Barat, ini dibangun untuk mengenang
perjuangan Korengkeng dan Sarupung sebagai pemimpin rakyat Minahasa dalam
Perang Tondano (1808-1809) melawan Belanda. Perang Tondano berpusat di Desa Purba Minawanua dan ditandai dengan bangunan Benteng Moraya.
Benteng Moraya terpaut jarak sekitar 200 meter dari Patung
Korengkeng Parupung. Berlokasi di tepi Danau
Tondano, secara administratif Benteng Moraya berada di tepi Jalan Raya Tonsaru,
Kecamatan Tondano Selatan.
Benteng itu jadi salah satu lokasi favorit tongkrongan warga
kota dan tujuan wisatawan. Bentengnya dipugar semenarik mungkin dan tampak
disesuaikan dengan selera generasi milenial. Cukup banyak spot foto yang Instagramable terutama di lokasi tegaknya 12 pilar kokoh yang bertuliskan
kisah sejarah Minahasa.
Tapi kami tidak turun dari mobil untuk melihat dari
dekat Benteng Moraya lantaran kami harus selekas mungkin tiba di Danau Tondano
sebelum sore tiba, apalagi kami pun belum makan siang.
Masalahnya, tak jauh dari Benteng Moraya pandangan
kami bersua pemandangan bentangan luas rawa-rawa yang berlatar Pegunungan
Mahawu atau Mawo dalam pelafalan orang Minahasa. Ada lima rumah bergaya
arsitektur Belanda yang menyita perhatian. Roni
bilang rumah Belanda itu objek wisata baru yang mulai populer. Maka, kami pun
berhenti sejenak.
Roni mengatakan, rumah-rumah itu dibangun oleh orang Tondano asli yang bermukim
di Belanda. Mereka membangunnya untuk mendukung
pengembangan pariwisata Tondano, khususnya di rawa-rawa Desa Tonsaru, Kecamatan
Tondano Selatan, itu.
Seingat Roni, rumah-rumah itu dibangun antara 2016 dan 2018. Beberapa rumah
model serupa sedang dibangun, lengkap dengan kafe, sehingga jadi pemandangan
menarik bagi pelancong yang menuju Danau Tondano.
“Sebagian rawa sudah dikavling-kavling untuk dijual.
Sebagian bangunan baru itu milik orang sini yang tinggal di Minahasa atau Manado.
Sedangkan rumah-rumah Belanda yang duluan ada memang dibangun orang Tondano yang
tinggal di Belanda. Istilahnya, mereka ingin
membangun kampung halaman lewat pariwisata,” ujar Roni, 40 tahun.
Ada dua rumah yang
tampak paling mencolok dan paling banyak dikunjungi pelancong. Kedua rumah terpisah jarak 150 meter dan sama-sama punya kolam cukup luas. Lingkungan rumah dihiasi beragam
tanaman air atau hidrofit seperti melati air (Eichinodorus paleafolius),
papirus payung (Cyperus alternifolius), lidi air (Typha angustifolia),
ekor kucing/stok (Typha latifolia), dan teratai merah muda (Nelumbo
nucifera).
Di salah satu rumah Belanda bercat hitam kecokelatan tampak seorang pria
mengayuh rakit di sebuah kolam luas. Kolam ini ditumbuhi teratai. Tidak
diketahui nama pemiliknya.
Sedangkan satu rumah lagi
diketahui milik keluarga Lekow Wangko. Wangko merupakan salah satu marga etnis
Minahasa. Rumah inilah yang paling banyak
dikunjungi sehingga identik dengan nama objek wisata Lekow Wangko. Rumah ini memiliki beberapa spot foto,
antara lain, balon udara, kincir angin, taman bunga, dan rumah Hobbit.
Saya tidak masuk ke dalam rumah akibat keterbatasan waktu. Dari keterangan pengunjung dan warga setempat saya jadi
tahu aslinya rumah-rumah bergaya
Negeri Kincir Angin itu semula difungsikan sebagai rumah tinggal.
Namun, lama-kelamaan rumah tersebut ramai dikunjungi warga dan pelancong Danau Tondano.
Rovi Manda, seorang warga mengatakan, Lekow Wangko
paling banyak dikunjungi sore hari, terutama pada akhir pekan Sabtu-Minggu. Umumnya pengunjung berburu momen matahari terbenam atau sunset.
Hasil foto kemudian diunggah ke media sosial.
Semuula pengelola rumah menggratiskan biaya kunjungan semasa masih sepi pengunjung. Saat itu mayoritas pengunjung hanya
berfoto-foto di tepi jalan, di titian kayu di atas kolam, maupun di selasar rumah. Belakangan, baru dua tahun terakhir pengelola rumah mengenakan
ongkos “tanda terima kasih” Rp 10 ribu per orang yang ingin berswafoto di
perkarangan dan dalam rumah.
Berawal cuma buat foto-foto biasa, Lekow Wangko serta rumah-rumah Belanda lainnya
makin diminati wisatawan dan pengunjung yang ingin membuat foto pranikah atau prewedding di dalam dan luar rumah.
Nah, akhirnya, pengelola mematok tarif tertentu.
Supaya makin menarik minat pengunjung, pengelola pun
menyewakan baju-baju ala Belanda, Jepang, dan Korea,
lengkap dengan pernak-perniknya. Baju-baju tematik ini disediakan di lantai dua
Lekow Wangko dengan harga sewa antara Rp 25 ribu sampai Rp 20 ribu. Pengunjung
bebas berpose di seluruh area rumah kecuali
kamar tidur pemilik.
“Sekarang, setahu saya, rumah Lekow
Wangko dan rumah Belanda di
sebelahnya juga sudah difungsikan sebagai tempat penginapan. Tapi saya enggak
tahu berapa tarifnya per malam karena masih baru sekali sebagai penginapan,”
kata Rovi Manda.
Lalu kami melanjutkan perjalanan ke Danau Tondano yang
tinggal berjarak 1,5 kilometer lagi dari deretan rumah Belanda. Roni sempat menunjukkan lokasi kampus Universitas
Negeri Manado yang kami lewati.
Nah, saya dan Hasudungan baru tahu alasan Roni
menyarankan kami ke Danau Tondano. Dengan sekali jalan dari pusat kota Tondano,
kami bisa menikmati lima objek wisata sekaligus dalam satu kali perjalanan.
Saya sempat mengatakan pada Roni bahwa walau
lanskapnya tidak sama, keberadaan rumah-rumah Belanda itu mengingatkan
saya pada artikel tentang Desa Giethoorn di Provinsi Overijssel, Belanda. Desa berpopulasi sekitar 2.900 jiwa ini terkenal
dengan rumah-rumah cantik
dan terhubung dengan jembatan-jembatan unik. Suasananya sangat asri dan bersih.
Bisa saja, kelak suatu saat, rumah-rumah Belanda di Desa Tonsaru
itu bisa seperti Giethoorn dan bahkan lebih keren asal asal ditata
dan dikelola sungguh-sungguh. ABDI
PURMONO
0 Komentar