Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel, Kota Malang, terlihat pada Kamis, 19 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO |
KEGAIRAHAN menyambut Hari Natal 2020 di Kota Malang mulai tampak sepekan
sebelum 25 Desember. Sejumlah gereja Protestan dan Katolik mulai berhias.
Malang merupakan
salah satu kota tertua di Jawa Timur. Jejak riwayatnya sudah ada sejak abad pertengahan, ketika Singasari berkuasa.
Saat Belanda menguasai Nusantara, Malang merupakan salah
satu kota besar di Jawa Timur milik Belanda.
Dalam kurun waktu itu, setidaknya terdapat tiga gereja kuno, yang telah
seabad lebih menjadi pusat peribadatan umat Kristiani di Malang.
Secara berurutan sesuai usianya, ketiga gereja itu ialah Gereja Protestan
di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel alias Gereja Immanuel atau disebut
pula Gereja Jago.
Kemudian, Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) alias Gereja
Kayutangan, serta Gereja Santa Theresia alias Gereja Katolik Santa Perawan
Maria dari Gunung Karmel yang populer dengan sebutan Gereja Katedral
Ijen.
Ketiganya merupakan gereja pertama yang dibangun oleh Pemerintah Hindia
Belanda dan kini jadi landmark Kota
Malang yang kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Kota Malang sebagai bangunan
cagar budaya. Penetapannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya dan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar
Budaya. Dengan demikian, tidak boleh mengubah maupun menambah bangunan baru di
tiga gereja itu.
Tonton video: Alkitab Umur Ratusan Tahun Milik Gereja Tertua di Kota Malang
Tonton video: Alkitab Umur Ratusan Tahun Milik Gereja Tertua di Kota Malang
Gereja Immanuel Malang terlihat pada Rabu, 11 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO |
Gereja
Immanuel mulai dibangun 30 Juli 1861 dan resmi digunakan sejak 31 Oktober tahun
yang sama dengan nama Protestanche Gemente te Malang sebagai
tempat ibadah orang-orang Belanda dan Eropa. Pendeta pertamanya bernama JFG
Brumund yang meninggal di Malang pada 1863.
Gereja
Kayutangan dibangun pada 1905. Sedangkan Gereja Ijen mulai dibangun 11 Februari
1934 dan diresmikan penggunaannya pada 28 Oktober 1934.
Arsitektur
Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan bergaya gotik,
yang merupakan ciri khas gereja-gereja masa Abad Pertengahan, baik
gereja Protestan maupun gereja Katolik. Sedangkan Gereja Ijen bergaya neogotik atau neo-Gothic,
perkembangan dari arsitektur gereja sesuah Abad 19.
Lokasi
Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan terpisah jarak sekitar 250 meter. Berbeda
dengan Gereja Immanuel, Gereja Kayutangan tidak langsung berhadapan dengan
Alun-alun Merdeka Kota Malang, melainkan menghadap Jalan Basuki Rahmat (dulu
Jalan Kayutangan), jalan protokol yang menghubungkan Malang-Surabaya.
Sebaliknya,
Gereja Immanuel merupakan jiran terdekat Masjid Agung Jamik, masjid yang
dibangun Pemerintah Hindia Belanda sepanjang 1890-1903. Kedua tempat ibadah
Protestan dan Islam ini sangat berdekatan, hanya dipisahkan sebuah bangunan
perusahaan asuransi milik negara, serta sama-sama menghadap alun-alun atau
persisnya di barat alun-alun.
“Gereja
ini dibangun setelah alun-alun dibangun lebih dulu pada tahun 1700 oleh VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie atau Persatuan Dagang Hindia Timur). Setelah
VOC bubar (31 Desember 1799), maka kendali pemerintahan dan kegiatan
perdagangan diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda, termasuk mendirikan
gereja ini dan Masjid Agung Jamik,” kata Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel
Pendeta Richard Agung Sutjahjono kepada saya, Jumat,
20 Desember 2019.
Rabu, 11 Desember 2019 |
Menurut
Richard, pembangunan Gereja Immanuel oleh Pemerintah Hindia Belanda berhubungan
erat dengan pembangunan pusat kota sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat
perekonomian yang dicirikan oleh, antara lain, pembangunan alun-alun, gereja,
masjid, bank, penjara, kantor pos, tempat hiburan, serta pertokoan yang
memenuhi kebutuhan sandang dan pangan warga kota, khususnya bagi warga Belanda
dan warga Eropa lainnya.
Pembangunan
Gereja Immanuel dan Masjid Agung Jamik juga merupakan strategi politik
imperialisme Pemerintah Hindia Belanda demi menjaga kenyamanan dan ketenangan,
serta kemapanan Malang yang sudah tercipta pada 1729. Dulu, Malang masih bagian
dari Karesidenan Pasuruan.
Strategi
serupa diterapkan Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta dan Semarang untuk
mengantisipasi munculnya pemberontakan rakyat jajahan, termasuk pemberontakan
yang bermuatan agama melawan Belanda maupun konflik horisontal antarumat beragama,
sehingga Belanda tetap bisa tenang dan berkonsentrasi menjalankan politik
imperialisme mereka.
“Belanda
juga memainkan politik toleransi agama-agama untuk melindungi kepentingan
imperialisme mereka. Namun ada positifnya juga bahwa politik toleransi yang
digunakan Belanda merupakan momentum yang mempersatukan keragaman atau
kebinekaan seperti yang kita kenal sekarang. Dulu, orang yang sengaja
mengganggu atau merusak toleransi berarti telah melakukan tindakan makar
terhadap pemerintahan Belanda,” kata Pendeta Richard.
Pendeta Richard
menekankan bahwa toleransi antarumat beragama seperti tercermin oleh posisi
Gereja Immanuel dan Masjid Agung Jamik yang berdampingan tidak melulu harus
diekspresikan lewat kegiatan gotong-royong maupun saling bantu-membantu.
Gereja Immanuel Malang di Jalan Merdeka Barat, Kota Malang, terlihat pada Rabu, 11 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO |
Sudah jamak diketahui, jemaat Gereja Immanuel rutin membantu menyediakan parkir bagi para jemaah salat Jumat atau salat Idul Fitri dan Idul Adha, maupun saat pelaksanaan acara keagamaan Islam. Begitu pula sebaliknya.
Namun,
toleransi bukan hanya sebatas saling bersilaturahim maupun saling memberikan
fasilitas. Lebih dari itu, toleransi harus terwujud dalam pola hidup yang
praksis melalui lembaga-lembaga ukhuwah keagamaan, misalnya lewat Forum
Komunikasi Umat Beragama dan forum-forum dialog tentang agama. ABDI PURMONO
0 Komentar