GPIB Immanuel Malang terlihat pada Kamis, 19 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO |
DI KOTA MALANG terdapat tiga gereja pertama yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda dan
pada 2018 ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya atau heritage.
Menurut Kepala Bidang Promosi
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Agung Harjaya Buana, pada 2018 Wali
Kota Malang Sutiaji menandatangani surat keputusan tentang penetapan 32
bangunan dan struktur cagar budaya, yang terdiri dari gedung pemerintahan,
gedung perusahaan negara, gedung sekolah, kantor bank, brandweer,
dan tempat ibadah.
Penetapannya merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya serta Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun
2018 tentang Cagar Budaya.
“Dari seluruh bangunan cagar
budaya, ada empat yang merupakan bangunan tempat ibadah, yaitu satu gereja
Protestan, dua gereja Katolik, dan satu kelenteng. Keempatnya sudah jadi landmark Kota
Malang,” kata Agung kepada saya, Minggu, 22 Desember 2019.
Keempat tempat ibadah itu juga
telah didaftarkan dalam Sistem Registrasi Nasional Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai penegasan legalitas bahwa keempatnya merupakan bangunan
cagar budaya sehingga tidak satu pihak pun yang boleh mengubah atau menambah
bangunan baru di empat tempat ibadah tersebut.
Sesuai urutan nomor dalam daftar
bangunan dan struktur cagar budaya, keempat tempat ibadah itu ialah Gereja
Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel alias Gereja Immanuel aliasGereja Jago (nomor urut 4), Gereja Santa Theresia alias Gereja Katolik Santa
Perawan Maria dari Gunung Karmel alias Gereja Katedral Ijen (nomor 5), Gereja
Katolik Paroki Hati Kudus Yesus alias Gereja Kayutangan (nomor urut 21), serta
Kelenteng Eng Ang Kiong (nomor urut 28).
Biasanya, kata Agung, ketiga
gereja mendapat perhatian khusus masyarakat, dan juga para wisatawan, menjelang
dan saat pelaksanaan Hari Natal dan perayaan tahun baru. Terlebih lagi jika
dihubungkan dengan toleransi dan kerukunan antarumat beragama, khususnya antara
pemeluk Kristen dan Katolik dengan pemeluk Islam.
Dari ketiga gereja, Gereja
Immanuel yang paling tua usianya. Gereja Immanuel dibangun pada 1861.
Pembangunan Gereja Ijen dimulai pada 11 Februari dan diresmikan penggunaanya
pada 28 Oktober tahun yang sama. Sedangkan Gereja Kayutangan dibangun pada
1905.
Tonton video: Gereja Jago Punya Alkitab Berusia Ratusan Tahun
GPIB Immanuel Malang dipotret pada Rabu, 11 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO |
Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya
(TACB) Kota Malang itu menjelaskan,
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel mulai
dibangun 30 Juli 1861 dan resmi digunakan sejak 31 Oktober tahun yang sama, dengan
nama Protestanche Gemente te Malang.
Arsitektur
Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan bergaya Gotik, yang merupakan ciri khas
gereja-gereja masa pertengahan Abad 19. Sedangkan Gereja Ijen
bergaya neogotik atau neo-Gothic, perkembangan dari arsitektur
gereja selepas Abad 19.
Posisi Gereja Immanuel dan
Gereja Kayutangan terpisah jarak sekitar 250 meter. Berbeda dengan Gereja
Immanuel, Gereja Kayutangan tidak langsung berhadapan dengan Alun-alun Merdeka
Kota Malang, melainkan menghadap Jalan Basuki Rahmat (dulu Jalan Kayutangan),
jalan protokol penghubung Malang-Surabaya.
Sebaliknya,
Gereja Immanuel merupakan jiran terdekat Masjid Agung Jamik, masjid yang
dibangun Pemerintah Hindia Belanda sepanjang 1890-1903. Kedua tempat ibadah ini
sangat berdekatan, hanya dipisahkan sebuah bangunan perusahaan asuransi milik
negara, serta sama-sama menghadap alun-alun atau persisnya di barat alun-alun, tepatnya di Jalan Merdeka Barat. Gereja Immanuel berada di ujung
paling utara atau pojok sisi dalam pertemuan Jalan Merdeka Barat dan Jalan Arif
Rahman Hakim.
Menurut Agung, struktur bangunan
Gereja Immanuel tidak berubah dalam usia 158 tahun. Gereja Immanuel pernah dibongkar pada 1912 dan dibangun kembali sesuai bentuk aslinya. Cetak biru rancangan renovasi ini bertanggal 25
April 1910 dan masih dipajang di salah satu ruangan. Gambar rancangan
sedikit berbeda dengan bangunan asli, antara lain
jumlah jendela hanya
lima buah. Padahal di bangunan gereja berjajar tujuh jendela.
Gereja Immanuel juga pernah
mengalami perbaikan, antara lain pada 1998 dan 2015. Pihak pengelola gereja
mengganti rangka kayu yang lapuk dengan rangka besi.
“Secara keseluruhan, kegiatan
renovasi pada 1912 dan beberapa perbaikan di masa lalu tidak sampai mengubah
bentuk asli bangunan gereja,” ujar Agung.
Rabu, 11 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO |
Bangunan Gereja Immanuel terdiri
dari dua lantai dengan luas tanah sekitar 1.375 meter persegi. Di lantai satu
terdapat ruang peribadatan, perpustakaan, dan ruang konsistori. Di lantai dua
terdapat ruang serbaguna untuk kegiatan kesekretariatan gereja.
Di bagian samping bangunan utama
gereja dibangun sebuah ruang tambahan yang difungsikan sebagai tempat
pengajaran umat.
Di masa lalu, Gereja Immanuelmempunyai halaman luas nan hijau, dipenuhi banyak pohon sampai seolah-olah
menyatu dengan alun-alun di seberang gereja. Namun, karena posisinya persis di
persimpangan jalan utama, halaman gereja ikut menyempit saat Kota Malang makin
berkembang maju dan mapan. Kondisi serupa juga dialami bangunan-bangunan di
sekitarnya.
Menurut Ketua Majelis Jemaat GPIB
Immanuel Malang Pendeta Richard Agung Sutjahjono Agung, selain keaslian bentuk
bangunan, Gereja Immanuel menyimpan sejumlah ornamen dan peninggalan kuno
Belanda.
Salah satu peninggalan terpenting
berupa dua buah Alkitab Protestan yang berangka cetakan tahun 1618 dan 1715
Masehi atau sudah berusia 401 dan 304 tahun. Bahasa dalam Alkitab menggunakan
bahasa Belanda kuno.
Alkitab tersebut bersampul warna cokelat yang terbuat dari kulit domba jantan Belanda. Terdapat pengait sampul depan dan belakang yang
terbuat dari logam berkadar emas muda. Ketebalannya sekitar 10 sentimeter dengan
berat hampir 5 kilogram.
Saya melihat kedua Alkitab
Protestan disimpan dalam sebuah lemari kaca berbingkai kayu jati. Kedua Alkitab
disinari lampu untuk mencegah pelapukan.
Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Malang Pendeta Richard Agung Sutjahjono, Jumat, 20 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO |
Menurut Ketua Majelis Jemaat GPIB
Immanuel Malang Pendeta Richard Agung Sutjahjono, kedua Alkitab pernah diminta
oleh Pemerintah Kota Malang untuk disimpan. Pernah pula wisatawan Belanda
hendak membeli kedua Alkitab untuk dikembalikan ke Belanda.
Namun, permintaan pemerintah kota
dan keinginan pembeli ditolak dengan alasan kedua Alkitab merupakan bagian tak
terpisahkan dari sejarah Gereja Immanuel, serta “saksi” pertumbuhan dan
perkembangan Kota Malang.
“Enggak ada artinya sejarah
gereja ini tanpa dua Alkitab Protestan tersebut,” ujar Richard.
Selain Alkitab, Gereja Immanuel
juga mempunyai sebuah brankas besi setebal 5 sentimeter. Di dalam brankas
terdapat berkas-berkas penting dan berharga milik gereja, termasuk berkas
notulensi Belanda.
Di lantai dua terdapat piano
klasik yang bisa dipakai untuk mengiringi prosesi peribadatan. Namun, pianonya
sudah tidak bisa digunakan lagi sehingga dijadikan pajangan di sisi ruang
serbaguna.
Keunikan lain Gereja Immanuel ada
di puncak menara yang dilengkapi jam dan lonceng yang masih asli sejak gereja
selesai dibangun dan resmi difungsikan. Loncengnya berbahan besi dengan
diameter sekitar 1 meter dan setebal 5 sentimeter.
Siapa pun yang ingin ke puncak
menara harus melewati tangga besi berbentuk spiral yang umurnya sebaya dengan
usia gereja. Antara lantai dua dan menara dihubungkan dengan dengan sebuah
tangga kayu jati.
“Sebenarnya, yang lebih unik
lagi, di pucuk menara terdapat ornamen ayam jago terbuat dari besi. Itulah
sebabnya gereja kami disebut Gereja Jago,” ujar Richard.
Gereja Immanuel atau Gereja Jago
semula hanya dikhususkan sebagai tempat ibadah orang-orang Belanda dan
Eropa. Pendeta, pejabat
gereja, serta guru agama berasal dari Belanda. Seluruh peribadatan pun memakai bahasa Belanda. Pendeta pertamanya
bernama JFG Brumund yang meninggal di Malang pada 1863.
Kaum
pribumi Protestan, termasuk para tentara
KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger) beserta keluarganya, dilarang beribadah di Gereja Immanuel. Sebagai gantinya,
mereka dibuatkan gereja setengah permanen yang sekarang dikenal sebagai Gereja
Ebed di Jalan Pattimura 10, Kota Malang. Namun, pendeta dan pejabat gereja atau majelis gereja tetap dijabat
orang Belanda.
Larangan itu terkait kerahasiaan
politik pemerintahan, dagang, dan pertahanan Belanda.
GPIB Immanuel Malang, Rabu, 11 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO |
Menurut Richard, dulu pejabat
pemerintahan Belanda, perwira militer, dan pengusaha Belanda sering mengadakan
pertemuan khusus di Gereja Immanuel. Tentara Belanda juga menyimpan
persenjataan dan logistik di dalam gereja.
“Tidak salah juga bila gereja ini
dulunya bekas gudang walau fungsi utamanya tetaplah tempat ibadah Protestan.
Penyebutan bekas gudang sebenarnya sangat terkait dengan sistem politik
pemerintahan, pertahanan, dan perekonomian Belanda di masa itu, serta dinamika
sejarah setelahnya,” kata Richard.
Di masa itu terdapat dua majelis
gereja, yaitu Majelis
Gereja Belanda dan Majelis Gereja Melayu. Tapi Majelis
Gereja Melayu belum diakui oleh pejabat gereja pemerintah (Kerkbestuur) sehingga urusan keuangan tetap dipegang oleh
Bendahara Majelis Gereja Belanda. Kerkbestuur baru mengakui eksistensi Majelis Gereja Melayu lewat pemberian
otonomi pengelolaan keuangan kepada Gereja Melayu pada 18 September 1938.
Di masa Perang Dunia Kedua,
Gereja Immanuel berfungsi sebagai tempat Perkumpulan Kerohanian Kristen. Saat
Jepang menguasai Malang, para jemaat asal Belanda melarikan diri. Gereja
Immanuel kemudian dijadikan sebagai gudang logistik, khususnya untuk menyimpan
beras.
Kondisi berubah lagi setelah
Jepang kalah perang. Pada 3 Desember 1948, segala hak milik jemaat Belanda
diserahkan kepada GPIB
Jemaat Malang termasuk Panti Asuhan Kristen (PAK Kampar). Keputusan ini dilakukan berdasarkan Staatsblad Indonesia tahun 1948 No.305
tanggal 3 Desember 1948 tentang penetapan GPIB sebagai gereja mandiri yang berbadan hukum.
Semenjak itulah pendeta dan
pejabat gereja berasal dari orang-orang Indonesia dan jemaatnya pun beragam
suku bangsa di Indonesia.
0 Komentar