Seekor induk mawas atau orangutan sumatera (Pongo abelii) bernama Wati dan anaknya sedang mencari makan dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Senin, 10 Juni 2019. Foto: ABDI PURMONO |
KEGIATAN wisata alam dan kehidupan liar atau wildlife tourism belum
begitu populer di Indonesia walau destinasinya sudah cukup banyak.
Secara umum, kegiatan wisata jenis ini lebih disukai
warga negara asing ketimbang orang Indonesia. Untuk jenis wildlife tourism, kegiatannya yang populer, antara lain, melihat komodo (Varanus komodoensis) dan orangutan.
Destinasi wildlife tourism umumnya
berupa taman nasional. Di Indonesia terdapat 54 taman nasional. Salah satu yang
terpopuler ialah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), taman nasional seluas
1.094.692 hektare, dengan batas kawasan sepanjang 850 kilometer. Sekitar 80
persen wilayah TNGL berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan sisanya di
Provinsi Sumatera Utara.
Kawasan TNGL jadi satu-satunya taman nasional di
Indonesia yang dihuni empat satwa liar endemik yang sangat terancam punah,
yakni orangutan atau mawas sumatera (Pongo abelii), gajah sumatera (Elephas
maximus sumatrensis), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan
harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae).
Lembaga konservasi dunia IUCN (International Union for
Conservation of Nature) memasukkan keempat satwa ke dalam daftar merah atau
IUCN Red List dengan kategori critically endangered alias sangat terancam
punah. Keempatnya juga masuk daftar Apendiks I Konvensi Perdagangan
Internasional untuk Tumbuhan dan Satwa Liar (Convention on International Trade
in Endangered Species/CITES).
Pintu masuk utama kawasan TNGL yang paling populer dan
hampir selalu ramai dikunjungi wisatawan ialah Desa Bukit Lawang, salah satu
desa utama penyangga TNGL yang berada di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara. Saya tiga kali mengunjungi desa seluas 3.200
hektare itu.
Bukit Lawang berada berada 68 kilometer sebelah barat
laut Kota Binjai, kota terbesar dan terpadat kedua di Sumatera Utara setelah
Kota Medan. Sedangkan antara Bukit Lawang dan pusat Kota Medan (Kantor Pos
Besar) terpisah jarak sekitar 90 kilometer.
Menurut Muhammad Ilham alias Iboh, salah satu pemandu
wisata dari Sumatra Green Life Adventure, Bukit Lawang menjadi destinasi
andalan TNGL dan Sumatera Utara sejak lama, bahkan jauh sebelum ia lahir 26
tahun silam.
Bukit Lawang terkenal sejak awal dekade 1970 berkat
keberadaan pusat rehabilitasi orangutan jinak seluas 200 hektare dan panorama
belantara hujan tropis. Orangutan yang direhabilitasi merupakan hasil sitaan
dari masyarakat untuk dilepasliarkan kembali ke alam. Orangutan yang
dilepasliarkan tergolong semi-liar. Pusat rehabilitasi orangutan ini tidak lagi
beroperasi sejak 2017.
“Berdasarkan pengalaman selama jadi tour guide,
saya tahu hampir 100 persen turis asing ke Bukit Lawang pasti ingin lihat
orangutan karena orangutan hanya ada di Indonesia, yakni di Sumatera dan
Kalimantan,” kata Iboh kepada saya, Rabu, 9 Oktober 2019.
Tonton video: Wajah Bukit Lawang Setelah Hancur 16 Tahun Lalu
Tonton video: Wajah Bukit Lawang Setelah Hancur 16 Tahun Lalu
Beragam kegiatan bisa dirasakan pengunjung. Banyak pelaku wisata di Bukit Lawang yang menawarkan paket telurus rimba atau jungle trekking dan mengarungi jeram Sungai Bahorok dengan ban (tubbing) dan bot karet.
Biasanya, kedua kegiatan tersebut dijadikan satu
paket. Dalam paket jungle trekking, pemandu mengajak wisatawan menyusuri trek orangutan.
Tentu saja wisatawan bisa menjumpai beragam jenis tumbuhan dan satwa. Selain
orangutan, primata yang gampang dijumpai adalah kedih (Presbystis thomasi),
monyet endemik Pulau Sumatera yang populasi terbanyak ada di dalam kawasan
TNGL.
Tonton video: Bertemu Kedih di Bukit Lawang
Tonton video: Bertemu Kedih di Bukit Lawang
Menurut Frans Ginting, rekan Iboh, paket melihat
orangutan lebih diminati wisatawan asing. Selain karena sangat peduli
konservasi, umumnya mereka mampu membayar paket tersebut. Turis mancanegara
yang mengunjungi Bukit Lawang didominasi warga negara Jerman, disusul Belanda,
Swiss, Prancis, Australia, Spanyol, Amerika Serikat, dan Inggris.
Sedangkan mayoritas wisatawan domestik lebih suka
bersenang-senang di tepian Sungai Bahorok untuk berfoto-foto maupun
makan-makan, serta mandi-mandi.
Harga paket yang ditawarkan pelaku wisata di Bukit
Lawang tidak seragam. Tapi umumnya harga yang dipatok beda-beda tipis dan
wisatawan masih bisa menawarnya. Harga paket sudah termasuk izin masuk kawasan
konservasi (Simaksi) TNGL.
Harga paket jungle trekking, misalnya,
berbeda menurut durasi perjalan dan jumlah orang. Durasi waktu yang ditawarkan
antara lain 3 jam, 6 jam, dan 12 jam. Semakin lama durasi dan banyak orangnya,
maka semakin mahal ongkosnya.
“Umumnya paket orangutan trek 3 jam yang paling banyak
dipilih oleh wisatawan yang tidak punya waktu banyak dan ingin menghemat
bujet,” kata Frans.
Untuk wisatawan domestik, paket 3 jam rata-rata
dipatok antara Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu per orang. Minimal tiga orang
dalam satu rombongan yang dipandu seorang pramuwisata. Rombongan beranggotakan
lebih dari 10 orang mendapat diskon harga antara Rp 75 ribu sampai Rp 150 ribu
per orang.
Sedangkan turis asing dikenai tarif 45 euro per orang
untuk durasi 6 jam, dengan satu rombongan minimal berisi tiga orang. Paket yang
ditawarkan ke mereka umumnya memang paket 6 jam karena mereka lebih suka
menjelajahi hutan lebih jauh dan lama.
Selain jungle trekking, wisatawan bisa menikmati air
terjun, menjelajah gua, berkemah, menyaksikan atraksi budaya masyarakat
setempat (Melayu, Karo, Jawa, dan Batak), serta menikmati kuliner khas lokal.
Di Bukit Lawang tersedia para pemandu wisata yang
tergabung dalam Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) dan pondok-pondok
penginapan. Sekitar 35 penginapan dimiliki orang asing yang menikah dengan
warga asli Bukit Lawang sehingga tak heran turis luar negeri yang paling banyak
menginap di sana. Harga inap biasanya sudah disatupaketkan dengan kegiatan telurus rimba. ABDI PURMONO
0 Komentar