Suasana di Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan usai terjadi bom bunuh diri, Rabu pagi, 13 November 2019. Foto: tangkapan layar video di grup Whatsapp. |
UMUMNYA warganet (netizen) ingin menjadi orang pertama yang mengetahui dan mengabarkan
sebuah kejadian atau peristiwa. Terlebih lagi peristiwa yang besar seperti bom
bunuh di Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Medan pada Rabu pagi, 13 November 2019.
Tapi,
masalahnya, sangat sering terjadi warganet bermental “primitif” dengan
gampangnya menyebarluaskan informasi berbentuk video, foto, dan gambar
bermuatan aksi kekerasan yang brutal. Seharusnya warganet bijak memilih dan
memilah informasi, jangan hanya ingin mengumbar
sensasionalitas tanpa memikirkan dampak negatifnya.
Mungkin,
maksud hati hendak mengingatkan,
tapi justru ia jadi penyebar kekerasan itu sendiri.
Unggahan
informasi oleh warganet “primitif” bisa menimbulkan trauma bagi keluarga korban
maupun pelaku. Warganet yang “barbar” enteng-enteng saja menyebarluaskannya
karena ia tidak merasakannya sendiri. Warganet model begini sudah kehilangan
empati maupun simpatinya terhadap korban maupun keluarga pelaku. Ia kehilangan
kepekaan terhadap peristiwa kemanusiaan.
Terkait
peristiwa dugaan bom bunuh diri di Medan, warganet janganlah menyebarluaskan
atau memviralkannya dalam bentuk foto, gambar, maupun video. Perhatikanlah
dampak negatif penyebaran konten tersebut, bisa saja justru memicu tindakan
kekerasan lain oleh pelaku berbeda, sekaligus menimbulkan ketakutan di
masyarakat.
Ingat
pula bahwa konten foto, gambar, atau video yang mengandung aksi kekerasan
merupakan konten yang melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Jadi,
cukup mengunggah pesan tanpa perlu disertai foto, gambar, maupun video kecuali
tidak berkonten negatif. ***
0 Komentar