Dolmen atau meja batu datar dalam posisi terbalik yang ditemukan di Sungai Lumamba, Situs Pokekea, Lembah Behoa, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO
Kawasan Megalitik Lore Lindu mempunyai 2.007 tinggalan arkeologi yang tersebar di 118 situs dalam kawasan seluas 692 hektare.
BALAI Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo
sedang menyiapkan naskah pengajuan wilayah cagar budaya di Provinsi Sulawesi
Tengah sebagai Warisan Dunia ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO.
Ketua Unit Pelindungan BPCB Gorontalo Romi
Hidayat mengatakan, naskah tersebut ditargetkan rampung untuk kemudian
diserahkan ke UNESCO pada 2020. Wilayah kerja BPCB Gorontalo mencakup Provinsi
Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, dan Provinsi Gorontalo.
Wilayah cagar budaya dimaksud berintikan
empat kawasan megalitik yang dinamakan Kawasan Megalitik Lore Lindu (KMLL).
Tiga kawasan masing-masing berupa lembah (Bada, Behoa, dan Napu) di Kabupaten
Poso, ditambah satu kawasan gabungan Lembah Palu dan Danau Lindu di Kabupaten
Sigi (dulu di Kabupaten Donggala sebelum terjadi pemekaran wilayah).
Gabungan tiga lembah di Poso biasa disebut sebagai Lembah Lore yang didiami suku Lore dan disebut Lembah Lore Lindu karena digabungkan dengan Lembah dan Danau Lindu yang didiami suku Lindu. Penyebutan nama Lembah Lore Lindu juga disesuaikan dengan nama Taman Nasional Lore Lindu, taman nasional wilayahnya melingkupi seluruh lembah itu.
Gabungan tiga lembah di Poso biasa disebut sebagai Lembah Lore yang didiami suku Lore dan disebut Lembah Lore Lindu karena digabungkan dengan Lembah dan Danau Lindu yang didiami suku Lindu. Penyebutan nama Lembah Lore Lindu juga disesuaikan dengan nama Taman Nasional Lore Lindu, taman nasional wilayahnya melingkupi seluruh lembah itu.
Sejauh ini, kata Romi, BPCB terus mendorong
kedua pemerintah daerah setempat untuk membuat regulasi penetapan KMLL sebagai
kawasan cagar budaya. Penetapan
cagar budaya dilakukan dengan merujuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya. Penetapan oleh pemerintah daerah akan
memunculkan program kerja yang integratif dan berkelanjutan.
Selain itu, “Tanpa regulasi penetapan KMLL,
maka nanti susah memperjuangkannya ke UNESCO karena penetapan itu merupakan
salah satu syarat yang harus dipenuhi. Pemerintah daerah Poso dan Sigi bergerak
ke arah yang kami harapkan,” kata Romi kepada saya, Senin, 9 September 2019.
Menurut Romi, Indonesia mempunyai modal besar
untuk memperjuangkan KMLL ke UNESCO sebagaimana terangkum dalam Kajian
Delineasi Kawasan Megalitik Lore Lindu, September 2018. Modal besar itu berupa kekayaan tinggalan arkeologi
yang variatif.
Delineasi berarti pemetaan kawasan yang bertujuan untuk menentukan garis batas ruang
KMLL sebagai dasar pembentukan ruang pelestarian yang meliputi ruang pelindung,
pengembang, dan pemanfaatan.
Kajian delineasi merupakan hasil serangkaian
kegiatan delineasi sepanjang
Juli-September 2018. Kegiatan delienasi merupakan rekomendasi tindak lanjut
dari diskusi terpumpun
atau focus group discussion 23
September 2017 di Gorontalo, yang kemudian dimantapkan dengan penyusunan
Pedoman Delineasi Kawasan Megalitik Lore Lindu pada 30 Oktober 2017 di
Gorontalo pula.
Kalamba di Situs Pokekea, Lembah Behoa, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO |
Ia menjelaskan, luas wilayah cagar budaya
megalitik Sulawesi Tengah hampir seluas wilayah ibu kota baru Indonesia di Provinsi Kalimantan
Timur. Luasnya 156.126 hektare dengan KMLL seluas
692 hektare. Sedangkan luas
lahan ibu kota baru Indonesia 180 ribu hektare dengan kawasan induk 40 ribu
hektare.
Secara
geografis, wilayah cagar budaya itu berada di wilayah morfologi Pegunungan Telawi yang
memanjang dari Sulawesi Tengah hingga perbatasan Sulawesi Selatan.
Berdasarkan
hasil kajian delineasi diketahui, di dalam KMLL terdapat 118 situs atau lokasi
yang berisi 2.007 tinggalan arkeologi di KMLL yang
bervariasi lebih dari 20 jenis. Tinggalan arkeologis yang ditemukan didominasi oleh tinggalan
arkeologi Zaman
Megalitikum atau zaman prasejarah alias zaman pra-abad Masehi.
Jenis arkeologi itu, antara lain, kalamba/tong batu atau stone-vats, dolmen (meja batu datar), menhir (batu tegak), dakon, lumpang, batu berlubang,
tempayan kubur batu, peti kubur, batu berlubang, altar batu, dan jalan batu.
Rinciannya begini. Di Lembah Bada berhasil
diidentifikasi 186 tinggalan arkeologi yang tersebar di 35 situs dalam lahan
seluas sekitar 51 hektare. Wadah
kalamba merupakan tinggalan arkeologi yang paling banyak ditemukan (64 buah),
baik dalam kondisi utuh dan terbuka, maupun utuh tanpa tutup—dalam bahasa suku
Lore, tutup kalamba disebut tutuna.
Selain wadah kalamba, tinggalan arkeologi
lain yang terbanyak ditemukan di Bada ialah lumpang batu (40 buah), bakal wadah
kalamba (21 buah), arca megalit (18 buah), dan batu berlubang (15 buah).
Sedangkan tiap jenis tinggalan arkeologi lainnya ditemukan dalam jumlah
bervariasi kurang dari 15 buah.
Di Lembah Bada terdapat patung batu terbesar
di KMLL, yaitu Patung Palindo. Patung setinggi hampir 4 meter ini persisnya
berada di Padang Sepe, Desa Bewa, Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso.
Selain tinggalan-tinggalan arkeologi itu, di
Lembah Bada ditemukan juga sebaran fragmen gerabah motif terakota dalam jumlah banyak di sejumlah lokasi.
Tonton video: Misteri Kerajaan Batu di Poso.
Lalu, Lembah Behoa jadi lokasi temuan arkeologi terbanyak. Di lembah ini ditemukan 825 tinggalan arkeologi yang tersebar di 32 situs pada lahan seluas 477 hektare. Umpak batu merupakan tinggalan arkeologi terbanyak ditemukan (247 buah), disusul wadah kalamba (117 buah), batu berlubang (85 buah), lumpang batu (64 buah), dolmen (44 buah), bakal wadah kalamba (37 buah), dan tutup kalamba atau tutuna sebanyak 29 buah.
Tonton video: Misteri Kerajaan Batu di Poso.
Lalu, Lembah Behoa jadi lokasi temuan arkeologi terbanyak. Di lembah ini ditemukan 825 tinggalan arkeologi yang tersebar di 32 situs pada lahan seluas 477 hektare. Umpak batu merupakan tinggalan arkeologi terbanyak ditemukan (247 buah), disusul wadah kalamba (117 buah), batu berlubang (85 buah), lumpang batu (64 buah), dolmen (44 buah), bakal wadah kalamba (37 buah), dan tutup kalamba atau tutuna sebanyak 29 buah.
Sedangkan jenis arkeologi lainnya ditemukan
dalam jumlah bervariasi kurang dari 25 buah untuk tiap jenis temuan. Di Lembah
Behoa juga ditemukan sebaran fragmen gerabah dalam jumlah banyak di beberapa
lokasi.
Selain fragmen gerabah, di Lembah Behoa
terdapat rumah tambi dan buho yang masing-masing merupakan rumah
adat dan lumbung padi kepunyaan suku Lore, suku asli yang mendiami Lembah Lore
Lindu.
Satu hal menarik lagi, di Lembah Behoa pula
ditemukan tulang-tulang tubuh manusia dalam kalamba yang diperkirakan berkurun
waktu 2351-1416 Sebelum Masehi dan kemungkinan punah dalam kurun antara 1452
sampai 1527 Masehi. Tulang rangka manusia ini persisnya ditemukan di Situs Wineki,
Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah.
“Temuan tulang rangka manusia di Situs Wineki
mengindikasikan bahwa KMLL merupakan kawasan megalitik tertua di Indonesia,”
ujar Romi, arkeolog lulusan Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Selanjutnya, kata Romi, di Lembah Napu
ditemukan 725 tinggalan arkeologi yang tersebar di 29 situs di atas lahan sekitar 135 hektare. Secara
berurutan, tinggalan arkeologi terbanyak berupa batu monolit sebanyak 244 buah,
235 umpak batu, 68 batu datar/dolmen, 41 batu berlubang, 36 lumpang batu, 31
dulang, 29 menhir, dan 21 arca.
Jenis
tinggalan arkeologi lainnya ditemukan dalam jumlah bervariasi kurang dari 20
buah untuk tiap jenis temuan, serta ditambah dengan sebaran fragmen gerabah
yang ditemukan dalam jumlah banyak di beberapa lokasi.
Sedangkan di
Lembah Palu dan Danau Lindu yang jadi satu kawasan seluas 30 hektare ditemukan
244 buah tinggalan arkeologi yang tersebar di 21 situs. Lumpang batu merupakan
tinggalan arkeologi yang terbanyak ditemukan (146 buah), disusul umpak batu 56
buah, dolmen 20 buah.
Tinggalan
arkeologi lainnya ditemukan dalam jumlah bervariasi kurang dari 10 buah untuk
tiap jenis temuan. Sama dengan di Bada, Behoa, dan Napu, di kawasan Lembah Palu
dan Danau Lindu juga ditemukan sebaran fragmen gerabah bermotif terakota.
Menurut Romi,
temuan sebaran fragmen gerabah di empat kawasan mengindikasikan adanya ruang
aktivitas permukiman kuno di Lore Lindu, sekaligus menunjukkan kesinambungan
aktivitas manusia dari zaman prasejarah ke zaman yang lebih muda.
“Kita saja
sampai sekarang masih mewarisi tradisi megalitik seperti menggunakan umpak batu
untuk bangun rumah atau pakai cobek batu untuk mengulek sambal,” kata Romi.
Tonton video: Rumah Tambi Terancam Punah.
Populasi
arkeologis sebanyak 2.007 buah yang jenisnya variatif semakin memperkuat nilai
penting KMLL sebagai cagar budaya mahapenting. Berdasarkan analisis tipologi
pada masing-masing tinggalan arkeologi, secara umum karakteristik situs di KMLL
dapat dibagi jadi tiga kategori, yaitu situs profan, situs sakral, serta
perpaduan profan dan sakral.
Adapun secara
spesifik, tinggalan arkeologi di KMLL mengindikasikan adanya situs permukiman,
situs penguburan, situs pemujaan, dan situs perbengkelan.
Romi menekankan,
seluruh tinggalan arkeologi di KMLL menjadi kekayaan cagar budaya yang sangat
langka, yang enggak mudah ditemukan di belahan dunia lain.
Kekayaan itu
sekaligus menjelaskan era kuno sejarah budaya dan kebudayaan di Provinsi
Sulawesi Tengah khususnya, serta pembentukan sejarah manusia Indonesia maupun
sejarah dunia umumnya sehingga Kawasan Megalitik Lore Lindu harus dilindungi
dan dilestarikan hingga ke jenjang pelindungan tertinggi melalui UNESCO. ABDI PURMONO
0 Komentar