Kalamba di Situs Pokekea, Lembah Behoa, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO |
Kawasan Megalitik Lore Lindu bisa jadi warisan jika memenuhi minimal dua dari sepuluh kriteria Nilai Universal Luar Biasa yang dibuat Komite Warisan Dunia UNESCO.
MALANG — Wilayah cagar budaya di Provinsi Sulawesi Tengah
sedang disiapkan sebagai warisan dunia. Wilayah cagar
budaya ini berintikan
gabungan empat
kawasan megalitik yang dinamakan Kawasan Megalitik Lore Lindu atau disingkat KMLL.
Luas wilayah
cagar budaya itu 156.126 hektare dengan KMLL seluas 692 hektare. KMLL mencakup
tiga lembah (Bada, Behoa, dan Napu) di Kabupaten Poso, yang biasa disebut sebagai
Lembah Lore Lindu, ditambah satu kawasan gabungan Lembah Palu dan Danau Lindu
di Kabupaten Sigi.
Kawasan
Megalitik Lore Lindu juga jadi daerah penyanggah kawasan Taman Nasional Lore
Lindu. Luas TNLL sekitar 215 ribu hektare yang lahannya terbentang di Poso dan
Sigi—dulu Kabupaten Donggala sebelum Sigi jadi kabupaten.
“Kalau
dikaitkan dengan TNLL, memang keberadaan KMLL berada di luar zona mereka karena
sampai sekarang hanya beberapa titik situs yang masuk zona inti TNLL. Zona
pengelolaan KMLL dan TNLL berbeda. Mereka (Balai Besar TNLL) gunung dan hutan,
kami lebih ke permukiman penduduk,” kata Ketua Unit Pelindungan Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo Romi Hidayat kepada saya, Rabu, 11 September 2019.
Wilayah kerja BPCB Gorontalo meliputi Provinsi Sulawesi
Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, dan Provinsi Gorontalo.
BPCB sedang menyiapkan
naskah pengajuan KMLL
sebagai Warisan Dunia ke Organisasi
Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO. Secara spesifik, BPCB mengincar
gelar warisan budaya dunia bagi KMLL. Naskah ini
ditargetkan rampung pada 2020.
Menurut Romi,
KMLL dapat menjadi warisan dunia UNESCO asalkan memenuhi minimal dua dari
sepuluh kriteria nilai universal luar biasa atau outstanding universal value (OUV) warisan dunia yang ditetapkan
Komite Warisan Dunia UNESCO.
Patung Tadulako setinggi 2,20 meter di Situs Tadulako, Lembah Behoa, Desa Doda, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO |
Nilai
universal luar biasa mengandung makna penting dari segi budaya dan atau alam
yang sangat luar biasa sehingga melampaui batas nasional dan mempunyai nilai
penting bagi generasi sekarang maupun mendatang dari semua umat manusia.
Enam dari
sepuluh kriteria berlaku untuk kategori budaya dan empat kriteria untuk
kategori alam. Enam kriteria untuk kategori budaya (1) mewakili suatu mahakarya
kejeniusan kreatif manusia; (2) menunjukkan pentingnya pertukaran nilai-nilai
kemanusiaan, dalam suatu rentang waktu atau dalam suatu kawasan budaya di
dunia, dalam pengembangan arsitektur atau teknologi, karya monumental, tata
kota atau desain lanskap.
Lalu, (3)
memiliki keunikan atau sekurang-kurangnya pengakuan luar biasa terhadap tradisi
budaya atau peradaban yang masih berlaku maupun yang telah hilang; (4)
merupakan contoh luar biasa dari suatu jenis bangunan, arsitektural atau
himpunan teknologi atau lanskap yang menggambarkan tahapan penting dalam
sejarah manusia.
Kelima,
merupakan contoh luar biasa tentang pemukiman tradisional manusia, tata-guna
tanah, atau tata-guna kelautan yang menggambarkan interaksi budaya (atau
berbagai budaya), atau interaksi manusia dengan lingkungannya, terutama ketika
pemukiman tersebut menjadi rentan karena dampak perubahan yang menetap.
Keenam, secara
langsung atau nyata dikaitkan dengan peristiwa atau tradisi yang berlaku,
dengan gagasan, atau dengan keyakinan, dengan karya seni dan sastra yang
memiliki nilai universal yang signifikan.
“Kami
optimistis KMLL memenuhi beberapa kriteria itu, tapi semuanya masih dalam
proses penyusunan naskah. Senyampang naskah disusun, tahun ini juga kami buat
zonasi-zonasi atau semacam garis di KMLL yang membatasi areal situs cagar
budaya yang dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan,” ujar Romi, arkeolog
lulusan Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Arca manusia di Situs Pokekea, Lembah Behoa, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO |
Penyusunan
naskah dan pembuatan zonasi merupakan tindak lanjut dari hasil Kajian
Delineasi Kawasan Megalitik Lore Lindu, September 2018. Delineasi berarti pemetaan kawasan yang bertujuan untuk menentukan garis batas ruang
KMLL sebagai dasar pembentukan ruang pelestarian yang meliputi ruang pelindung,
pengembang, dan pemanfaatan.
Dari kajian
delineasi diketahui di dalam KMLL terdapat 118 situs atau lokasi yang berisi
2.007 tinggalan arkeologi. Tinggalan arkeologi ini bervariasi lebih dari 20
jenis dan didominasi tinggalan
arkeologi Zaman
Megalitikum atau zaman prasejarah alias zaman pra-abad Masehi.
Jenis arkeologi itu, antara lain, kalamba/tong batu atau stone-vats, dolmen (meja batu datar), menhir (batu tegak), dakon, lumpang, batu berlubang,
tempayan kubur batu, peti kubur, batu berlubang, altar batu, umpak, dan jalan
batu.
Tonton video: Misteri Kerajaan Batu di Poso.
Selain tinggalan arkeologi itu, di KMLL juga ditemukan sebaran
fragmen gerabah motif terakota
dalam jumlah banyak di sejumlah lokasi. Menurut Romi, sebaran fragmen gerabah KMLL
mengindikasikan adanya ruang aktivitas permukiman kuno di Lore Lindu, sekaligus
menunjukkan kesinambungan aktivitas manusia dari zaman prasejarah ke zaman yang
lebih muda.
Kesinambungan
itu dicontohkan Romi dengan penggunaan umpak batu dan cobek batu oleh manusia modern
Indonesia. Umpak batu masih ditemukan dipakai saat membangun rumah. Sedangkan
cobek batu biasa digunakan saat membuat sambal.
“Temuan-temuan
arkeologi di KMLL bukan sebuah kebetulan dibuat. Kemungkinan besar semuanya ada
tujuan yang saling berkaitan. Masih banyak lagi teka-teki maupun misteri yang
harus terus diteliti,” kata Romi.
Tentu saja
terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa KMLL memenuhi seluruh kriteria OUV.
Namun, Romi menekankan, KMLL memenuhi nilai penting sejarah, nilai penting ilmu
pengetahuan, dan nilai penting kebudayaan sebagaimana dimaksudkan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Nilai penting
KMLL meliputi tiga hal. Pertama, di KMLL ditemukan tulang-tulang tubuh
manusia dalam kalamba di Situs Wineki di Lembah Behoa, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah.
Tulang-tulang ini diperkirakan berkurun waktu 2351-1416 Sebelum
Masehi dan kemungkinan punah dalam kurun antara 1452 sampai 1527 Masehi. Temuan
tulang-tulang ini mengindikasikan
KMLL merupakan kawasan megalitik tertua di Indonesia.
Kedua, sebaran2.007 tinggalan arkeologi di KMLL sangat berkaitan dengan kepercayaan dan
pemukiman di masa lalu. Berdasarkan analisis tipologi pada masing-masing
tinggalan arkeologi, secara umum karakteristik situs di KMLL dapat
dikategorikan sebagai situs profan, situs sakral, serta paduan profan dan
sakral.
Adapun secara
spesifik, tinggalan arkeologi di KMLL mengindikasikan adanya situs permukiman,
situs penguburan, situs pemujaan, dan situs perbengkelan.
Romi
menekankan, seluruh tinggalan arkeologi di KMLL menjadi kekayaan cagar budaya
yang sangat langka, yang enggak mudah ditemukan di belahan dunia lain sehingga
KMLL jadi kawasan cagar budaya mahapenting tidak hanya bagi Sulawesi Tengah,
melainkan bagi Indonesia dan dunia.
“Lembah Lore
Lindu jadi tempat yang unik untuk menggali lebih jauh petunjuk-petunjuk penting
mengenai sejarah migrasi manusia, misalnya, karena ada kemiripan dengan
segelintir lokasi di negara lain seperti di Laos,” kata Romi.
Ia menekankan
KMLL harus dilindungi dan dilestarikan hingga ke jenjang pelindungan tertinggi
melalui UNESCO. Selain pembuatan zonasi, BPCB Gorontalo juga terus Pemerintah
Kabupaten Poso dan Pemerintah Kabupaten Sigi untuk segera membuat
regulasi penetapan KMLL sebagai kawasan cagar budaya. Penetapan oleh pemerintah daerah akan
memunculkan program kerja yang integratif dan berkelanjutan.
Tonton video: Rumah Tambi Terancam Punah.
Tanpa regulasi
penetapan cagar budaya, maka nanti susah memperjuangkan KMLL ke UNESCO karena
penetapan oleh kedua pemerintah daerah itu merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi.
Terakhir,
ketiga, kawasan Taman Nasional Lore Lindu sudah ditetapkan sebagai cagar
biosfer oleh UNESCO pada 1977 dan pengelolannya dikembangkan melalui Man and
the Biosphere Programme (MAB) UNESCO. Di dalam kawasan taman nasional ini
terdapat sejumlah situs cagar budaya sehingga dibutuhkan koordinasi pula antara
BPCB Gorontalo dengan Balai Besar TNLL, serta pemangku kepentingan lainnya. ABDI PURMONO
Sejumlah peneliti dan juru pelihara sedang meneliti tinggalan arkeologi di Situs Tadulako, Lembah Behoa, Desa Doda, Kecaman Lore Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO |
0 Komentar