Penampakan Kawah Putih Tinggi Raja pada Minggu, 2 Juni 2019. Foto-foto: ABDI PURMONO
Cagar Alam Dolok Tinggi Raja merupakan warisan raja-raja di Simalungun.
INI CERITA tentang
berubahnya sebagian kawasan Cagar Alam Dolok Tinggi Raja menjadi taman wisata
alam atau TWA yang sebaiknya diketahui oleh siapa pun yang ingin ke sana.
Sebelum
September 2018, luas Cagar Alam (CA) Dolok Tinggi Raja 167 hektare. Baik
sebagai cagar alam maupun TWA, lokasinya tetap di Desa Dolok Merawa, Kecamatan
Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, serta masih dalam
wilayah kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera
Utara. Lokasi Tinggi Raja terpisah jarak 90 kilometer dari pusat Kota
Medan.
Dulu, di masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Cagar Alam Dolok Tinggi Raja semula
merupakan kawasan Hutan Lindung Sianak-anak I dan Hutan Lindung Sianak-anak II.
Kedua kawasan konservasi ini ditetapkan sebagai hutan lindung masing-masing
pada 1916 dan 1918 berdasarkan hasil kesepakatan bersama raja-raja di Simalungun.
Kemudian, karena
keunikan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, maka raja-raja
bersepakat lagi untuk meningkatkan status kedua hutan lindung tersebut menjadi
cagar alam seluas 167 hektare. Kesepakatan ini diterakan dalam bentuk Zeelfbestuur Besluit No. 24 Tanggal 18
April 1924.
Tinggi Raja
ditetapkan jadi cagar alam bersama Cagar Alam Batu Gajah. Batu Gajah terletak
di Dusun Pematang, Desa Negeri Dolok, Kecamatan Dolok Panribuan, kabupaten yang
sama. Luas CA Batu Gajah hanya 0,80 hektare.
Baca juga: Pesona Tinggi Raja Bukan Hanya Kawah Putih.
Lho, bagaimana
bisa raja-raja di Simalungun menetapkan sebuah kawasan konservasi sebagai hutan
lindung maupun cagar alam di saat rezim Hindia Belanda berkuasa?
Pertanyaan itu
bisa dijawab dengan membaca artikel berjudul Peran Sultan dan Raja dalam Penunjukan Kawasan Konservasi dan
Pelestarian Jenis (1920-1938) di laman Direktorat Pemolaan dan Informasi
Konservasi Alam (PIKA) Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Pemerintah
Hindia Belanda di masa itu mengakui para sultan dan raja sebagai kepala
pemerintahan kesultanan dan kerajaan yang memiliki otonomi daerah sehingga
mereka diberi kewenangan untuk menunjuk kawasan konservasi di bagian-bagian
wilayahnya sebagai cagar alam (natuurmonument)
maupun suaka margasatwa (wildreservaat)
untuk melindungi kekayaan alam Hindia Belanda yang perlu dilestarikan.
Sesuai dengan
sistem pemerintahan yang berlaku di masa itu, penunjukan kawasan konservasi
oleh sultan atau raja harus diketahui oleh pengawas daerah (controlleur), dinas kehutanan (dienst van het boschwezen), asisten
residen, dan residen, serta harus disetujui oleh gubernur.
Penunjukan
kawasan konservasi di luar Pulau Jawa dalam peraturan perundangan waktu itu
dikenal istilah ZB (zeelfbestuur besluit). ZB merupakan
surat keputusan bersifat otonom yang diterbitkan oleh tingkat pemerintahan yang
diwakili oleh gubernur dan raja/sultan yang diberi kewenangan untuk menerbitkan
surat keputusan dalam menunjuk kawasan konservasi.
Surat keputusan
yang diterbitkan mengacu pada peraturan, antara lain, Undang-Undang Cagar-Cagar Alam (Natuurmonumenten Ordonnantie) 1916
No. 278; Undang-Undang Perlindungan Binatang (Dierenbescherming Ordonnantie) 1931 No. 134; serta Undang-Undang
Cagar-Cagar Alam dan Suaka-Suaka Margasatwa (Natuur-monumenten en
Wildreservaten Ordonantie) 1932 No. 17.
Nah, baik tempo dulu maupun masa sekarang,
orang-orang sebenarnya dilarang sembarangan memasuki Dolok Tinggi Raja karena
statusnya sebagai cagar alam. Di masa sekarang, larangan itu mengacu pada
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi), serta Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
“Ya, memang
sebenarnya siapa pun dilarang masuk kawasan konservasi seperti Tinggi Raja jika
tujuannya ke sana tidak berkaitan dengan fungsi kawasan,” kata Kepala BBKSDA
Sumatera Utara Hotmauli Sianturi kepada saya, Kamis pagi, 4 Juli 2019.
Foto-foto terkait: Pesona Kawah Putih Tinggi Raja yang Tak Kalah dengan Ciwidey.
Dalam UU Konservasi dan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 disebutkan bahwa kegiatan pemanfaatan yang bisa
dilakukan dalam kawasan cagar alam hanya riset dan pengembangan sains, pendidikan
dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, penyerapan atau penyimpanan
karbon, serta pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk menunjang
budidaya.
Namun, faktanya, sudah terlalu
banyak orang mengunjungi CA Dolok Tinggi Raja sejak dekade 1980. Mayoritas pengunjung
ke Tinggi Raja pasti bertujuan ingin melihat Kawah Putih, sebutan untuk sumber
air panas campur belerang yang dikelilingi travertin
atau endapan kapur.
Begitu pula dengan saya. Saya
pertama kali ke sana bersama teman-teman kuliah pada 3-6 Desember 1995. Kami
mengadakan kegiatan Studi Praktis Jurnalistik. Berselang hampir 24 tahun, saya
melakukan lawatan kedua ke sana pada Minggu, 2 Juni 2019. Saya sendirian saja
dengan bersepeda motor matik.
Waktu itu, berdasarkan pengamatan saya dan kawan-kawan dalam kunjungan
pertama, semburan air panasnya bisa setinggi dua sampai 2,5 meter dengan volume
air bisa dua tong sekali sembur, serta hampir seluruh area sekitar mata air
panas memutih akibat endapan kapur yang luas. Endapan kapurnya pun sangat tebal
dan berteras-teras mirip model pertanian terasering. Dominasi warna putih
menjadi rujukan para pengunjung untuk menyebut hamparan kapur itu sebagai salju
panas.
Dalam kunjungan
kedua, cukup banyak wisatawan yang saya lihat datang. Padahal waktu itu masih
bulan puasa Ramadan, tepatnya dua hari jelang Lebaran dan hari sedang
terik-teriknya. Beragam kegiatan dilakukan para pengunjung di sana. Biasanya
pengunjung membawa telur untuk direbus dalam lubang mata air panas.
Bahkan, menurut
Yanti Supri, seorang pengunjung dari Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Deli
Serdang, lokasi Kawah Putih beberapa kali dijadikan tempat pemotretan pre-wedding.
Tonton video: Pesona Kawah Putih Tinggi Raja.
Tonton video: Pesona Kawah Putih Tinggi Raja.
Banyaknya
wisatawan merupakan fakta yang tak bisa dipungkiri dan sekaligus jadi bukti
besarnya potensi Tinggi Raja sebagai destinasi wisata. Kenyataan inilah yang
dijadikan alasan oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun saat mengusulkan kepada
Kementerian LHK supaya sebagian kawasan diubah fungsinya sebagai kawasan wisata. Usulan disampaikan beberapa tahun silam, sebelum Hotmauli jadi Kepala
BBKSDA Sumatera Utara.
Pemerintah Kabupaten Simalungun
melibatkan tim Kebun Raya Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk
menguatkan dalil usulan. Hasil penelitian menyebutkan Kawah Putih Tinggi Raja
sangat layak dijadikan sebagai objek wisata seperti halnya Kawah Putih Ciwidey
di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Usulan Pemerintah Kabupaten
Simalungun disetujui Menteri LHK Siti Nurbaya dengan mengeluarkan Surat
Keputusan No.397/MENLHK/SETJEN/PLA.2/9/2018
tentang Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan dari Sebagian Kawasan
Cagar Alam Dolok Tinggi Raja menjadi Taman Wisata Alam. Surat keputusan ini ditandatangani Bu Menteri pada 18 September 2018.
Kawasan yang ditetapkan jadi TWA
seluas 60,94 hektare (pembulatan 61 hektare) atau 36,5 persen dari total luas CA
Dolok Tinggi Raja, dengan Kawah Putih sebagai pusatnya.
“Kawasan yang jadi TWA
meliputi kolam-kolam yang airnya biru, tidak sampai ke zona inti yang masih
ditumbuhi pohon-pohon besar,” ujar Hotmauli.
Dia memastikan, penetapan TWA
sudah disosialisasikan ke publik secara luas dan khususnya kepada masyarakat
desa setempat. Semenjak penetapan TWA, siapa pun yang masuk ke sana dikenai
tarif Rp 5 ribu sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
BBKSDA terus berkoordinasi dengan
para pemangku kepentingan, terutama dengan Pemerintah Kabupaten Simalungun dan
Pemerintah Provinsi Sumatera, serta masyarakat desa setempat untuk
mengembangkan pengelolaan TWA Dolok Tinggi Raja. Pada Maret 2019 sudah disepakati
pembentukan badan usaha milik desa (BUMDes) Dolok Merawa.
Melalui BUMDes diharapkan adanya
kegiatan yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar TWA,
misalnya melalui pengelolaan parkir dan pembuatan cenderamata atau suvenir.
Masyarakat setempat juga harus disiapkan mampu melayani wisatawan dengan baik. Sebagian
dari mereka nantinya dilatih agar bisa menjadi pemandu wisata. ABDI PURMONO
Artikel terkait hasil editan redaktur di Jakarta:
1. Wisata Kawah Putih di Medan Ingin Tiru Sukses Ciwidey Bandung
2. Air Panas Objek Wisata Tinggi Raja Berkhasiat, Batman Membuktikan
3. Beragam Pesona Taman Wisata Alam Tinggi Raja di Medan
4. Kisah Taman Wisata Alam Tinggi Raja, Amanat Para Raja Simalungun
2. Air Panas Objek Wisata Tinggi Raja Berkhasiat, Batman Membuktikan
3. Beragam Pesona Taman Wisata Alam Tinggi Raja di Medan
4. Kisah Taman Wisata Alam Tinggi Raja, Amanat Para Raja Simalungun
2 Komentar
Ituuu gak boleh buat berendam pak? Hahaha
Balas@Wawa Yasaruna: Kawah Putih Tinggi Raja enggak boleh dibuat berendam karena panasnya bisa mencapai 90 derajat Celsius. Kalau mau berendam ya di sungai bawah Kawah Putih. Terima kasih ya....
Balas