Pengunjung di dalam kawasan Cagar Alam Dolok Tinggi Raja, Minggu, 2 Juni 2019. Foto-foto: ABDI PURMONO |
Para pengunjung mempercayai air panas Kawah Putih Tinggi Raja berkhasiat untuk kesehatan kulit.
BATMAN PURBA bersama seorang putri dan dua bocah lelaki keponakannya asyik bercanda sambil melumuri tubuh dengan bubuk kapur di tepi Sungai Bah Balaklak. Setelah itu mereka membilas tubuh dengan menyiramkan air sungai bersuhu hangat.
Menurut Batman, air Sungai Bah Balaklak aslinya sejuk segar. Sebagian air menjadi suam-suam berkat tercampur aliran air panas yang berasal dari Kawah Putih di bagian atas sungai. Bubuk kapur mereka jumput dari dinding sungai yang memang dipenuhi endapan kapur warna-warni.
“Air dan kapur ini mengandung belerang dan bagus buat kesehatan kulit. Bisa menghilangkan gatal-gatal, menyembuhkan panu, menyembuhkan koreng, panu, membersihkan jerawat, dan bikin awet muda,” kata Batman, pria Batak berusia 40 tahun, kepada saya, Minggu siang, 2 Juni 2019.
Menurut Batman, air Sungai Bah Balaklak aslinya sejuk segar. Sebagian air menjadi suam-suam berkat tercampur aliran air panas yang berasal dari Kawah Putih di bagian atas sungai. Bubuk kapur mereka jumput dari dinding sungai yang memang dipenuhi endapan kapur warna-warni.
“Air dan kapur ini mengandung belerang dan bagus buat kesehatan kulit. Bisa menghilangkan gatal-gatal, menyembuhkan panu, menyembuhkan koreng, panu, membersihkan jerawat, dan bikin awet muda,” kata Batman, pria Batak berusia 40 tahun, kepada saya, Minggu siang, 2 Juni 2019.
Batman penduduk
Dusun Bandar Tonga, Desa Pardomuan Tonga, Kecamatan Silau Kahean, Provinsi
Sumatera Utara. Kami kebetulan bertemu saat sama-sama mengunjungi Kawah
Putih Tinggi Raja, sebutan umum bagi zona
mata air panas di dalam Cagar Alam (CA) Dolok Tinggi Raja di
Desa Dolok Merawa, Kecamatan Silau Kahean. Air panas ini mengandung belerang
atau sulfur.
Bukan hanya
Batman yang mempercayai khasiat obat air hangat Sungai Bah Balaklak—biasa juga disebut Sungai
Bah Barakbak. Hendrik Sipayung dan sejumlah pemuda Desa Dolok Tinggi Raja, desa jiran Dolok Merawa, serta belasan pengunjung dari luar Kecamatan Silau
Kahean pun memiliki kepercayaan yang sama dengan Batman.
“Orang-orang ke
sini pasti ingin lihat Kawah Putih dan juga cari sehat dengan mandi di sungai
bawah Kawah Putih. Biasanya, pengunjung lihat Kawah Putih dulu, baru ke bawah
untuk mandi di sungai,” kata Hendrik.
Luas CA
Dolok Tinggi Raja 167 hektare dan sebagian kawasannya sudah
beralih fungsi jadi taman wisata alam atau TWA pada 2018. Sekitar 4 hektare di antaranya merupakan zona mata air panas yang mengandung belerang atau sulfur. Zona
mata air panas ini mencakup sebagian daerah aliran sungai (DAS) Bah Balaklak.
Sumber air panas dikelilingi endapan travertin (batu kapur).
Kawah
Putih Tinggi Raja sering juga disebut Kawah Biru Putih Tinggi Raja. Penyebutan ini mengacu pada endapan kapur putih
bertingkat model terasering dan air panas tampak membiru memenuhi kolam di bawahnya.
Air panas itu
kemudian mengalir lewat bawah tanah ke Sungai Bah Balaklak. Di beberapa titik
sepanjang trek 2 kilometer dari kawah ke sungai dijumpai banyak mata air panas
kecil beraroma belerang. Kemunculan mata air ditandai dengan bentuk kerucut
mirip kepundan gunung api yang memancarkan gelegak air panas dan asap.
Bahkan, tidak
hanya di area Kawah Putih, endapan kapur juga ditemukan di tepian Sungai Bah
Balaklak. Endapan kapur ini berwarna-warni, dengan warna dominan putih, krem,
hijau muda, dan cokelat. Endapan kapur di tebing sungai membentuk stalaktit
atau batangan kapur berujung runcing yang menggantung ke permukaan sungai.
Stalaktit umum ditemukan di langit-langit gua.
Cagar Alam
Dolok Tinggi Raja sempat sangat populer pada dekade 1980 dan
1990. Sekarang pamornya kalah dari Kawah Putih Ciwidey di Kabupaten Bandung.
Pada 2017, status cagar alam diganti menjadi Taman Wisata Alam (TWA)
Dolok Tinggi Raja. Status berubah, tapi penanggung jawab pengelolaan
tetap sama: Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara.
Kepala BBKSDA Sumatera Utara Hotmauli Sianturi mengakui, Tinggi Raja kalah populer dibanding Kawah Putih Ciwidey.
Padahal, keberadaan Tinggi Raja sebagai kawasan konservasi sudah
dilindungi raja-raja Simalungun sejak 1924 atau sejak Pemerintah
Hindia Belanda berkuasa.
“Objek
wisata Tinggi Raja belum tereksplorasi dan terekspos dengan
baik. Makanya, sekarang kami ingin melakukan banyak pembenahan dan mencoba
menerapkan pengelolaan seperti di Ciwidey,” kata Hotmauli kepada saya, Rabu sore, 26 Juni 2019.
Menurut
Hotmauli, pengunjung ogah ke Tinggi Raja karena lokasinya yang
jauh di pelosok hutan Kabupaten Simalungun. Butuh 2-3 jam bermobil dan
bersepeda motor untuk menjangkau Tinggi Raja dari Kota Medan
dengan menempuh rute sejauh hampir 90 kilometer. Jauh-dekatnya jarak tergantung
pilihan rute. Yang pasti, kualitas jalan mendekati lokasi belum sepenuhnya
bagus. Masih didominasi jalan makadam.
Selain infrastruktur
jalan, objek wisata Kawah Putih Tinggi Raja tidak dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai bagi wisatawan. Baru tahun ini, kata
Hotmauli, direncanakan pembangunan pondok peristirahatan, toilet, jamban, kamar
mandi, tempat ibadah, warung, dan area parkir.
“Kami juga ingin
membuat jembatan gantung dari lokasi Kawah Putih ke sungai supaya supaya
pengunjung tidak lagi mendekati dan menginjak-injak wilayah sebaran mata air
panas, terutama di Kawah Putih-nya,” kata Hotmauli.
Masalah lain
yang hendak dia beresi adalah pungutan liar yang dilakukan segelintir warga
terhadap pengunjung. Mereka suka mencegat pengunjung di beberapa titik untuk
menarik retribusi yang nilai nominalnya melebihi tiket masuk Rp 5 ribu yang
ditetapkan BBKSDA.
Untuk membenahi
itu semua, Balai Besar KSDA Sumatera Utara terus berkoordinasi dengan
Pemerintah Kabupaten Simalungun, Kepolisian Resor Simalungun, serta Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara. Nantinya, pengelolaan Tinggi Raja mengacu pada model pengelolaan Kawah Putih Ciwidey. ABDI PURMONO
Artikel terkait hasil editan redaktur di Jakarta:
0 Komentar