Sunaryo semasa hidup. Foto-foto: ABDI PURMONO
Keluarga Sunaryo menolak pembongkaran makam untuk keperluan visum dan sekaligus mengecam penyebar hoaks petugas KPPS mati diracun serta penyebaran narasi pembantaian massal petugas KPPS oleh pihak tertentu untuk kepentingan politik pemilihan presiden.
SAYA menghabiskan waktu dua jam bersepeda
motor sendirian dari Kota Malang menuju sebuah rumah sasaran di selatan
Kabupaten Malang.
Pemandangan sepanjang jalan nasional kelas
III antara Malang dan Dampit sejauh 40 kilometer, yang mengarah ke wilayah
Kabupaten Lumajang, terasa hambar karena saya sudah beberapa kali melintasi
rute itu. Sebaliknya, saya kian bergairah begitu sepeda motor butut saya
memasuki wilayah Kecamatan Tirtoyudo.
Total, jarak tempuh sekitar 65 kilometer dari pusat kota Malang ke
rumah sasaran. Jika perjalanan diteruskan dari rumah target ke selatan sejauh
10 kilometer lagi, maka bersua objek wisata Pantai Lenggoksono bersama air
terjun Banyu Anjlok di Desa Purwodadi, plus Pantai Sipelot di Pujiharjo dalam
kecamatan yang sama.
Jalanan sempit berkeluk-keluk di perbukitan,
hamparan tebu berbunga majemuk warna pastel dan batang-batangnya kompak bergoyang
ritmis mengikuti sapuan angin, keharuman aroma biji kopi yang disangrai, dan bau
jemuran cengkeh, menjadi penawar lelah mata dan gerah badan akibat terpaan terik
matahari.
Hampir pukul 11 siang dan Sujatwati tampak
keluar dari dapur saat saya tiba di halaman rumahnya. Paras perempuan berusia
53 tahun ini agak dingin usai saya memperkenalkan diri, menunjukkan kartu pers,
dan menerangkan tujuan mendatangi tempat tinggalnya di RT 05/RW 02 Dusun
Kepatihan, Desa Kepatihan, Tirtoyudo.
Sujatwati tetap mempersilakan masuk. Sedikit
tergesa, dia pamitan
sebentar untuk memanggil abang iparnya yang bernama
Djoni. Pria 67 tahun ini baru pulang dari ladang dan duduk di sebelah
Sujatwati, perempuan yang baru sebulan ditinggal mati adik kandungnya: Sunaryo
Andrianto.
“Saya sebenarnya sudah dipesanin polisi supaya mengarahkan siapa pun yang bertanya tentang
kematian suami saya untuk menghubungi kantor polisi di sini (Markas Kepolisian
Sektor Tirtoyudo). Tapi Sampean sudah
jauh-jauh ke sini dan memang
enggak ada wartawan yang ke rumah saya selain Sampean, maka saya agak bingung mau ngapain,”
kata Sujatwati, membuka percakapan.
Saya berusaha membujuk Sujatwati dan Djoni
sampai mereka bisa tenang dan rileks. Alhamdulillah,
berhasil. Suasana tambah gayeng tatkala Freddyka Ade Sutantya alias Freddy, anak kedua
pasangan Sunaryo dan Sujatwati, tiba di rumah dengan membawa beberapa kantong
plastik belanjaan.
Baca juga: Kisah Anggota KPPS Meninggal di Teras Rumah.
Baca juga: Kisah Anggota KPPS Meninggal di Teras Rumah.
SUNARYO Andrianto meninggal di Ruang ICU (intensive care
unit) Rumah Sakit Umum Daerah dr Sjaiful Anwar
alias RSSA dalam usia 57
tahun pada Minggu, 14 April 2019, atawa tiga
hari jelang pemungutan suara pemilihan umum 2019. Ia meninggalkan tiga anak dan enam cucu.
Sunaryo
pendiri dan sekaligus guru di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Fatkhul Ulum. Madrasah
ini kemudian berganti nama jadi MTs Darul Khoirot. Selain menjadi guru, Sunaryo
juga menjabat sekretaris desa atau carik
Kepatihan.
“Saya sendiri
anak kepala desa sini dulunya. Suami saya baru 4-5 tahun jadi carik, sebelumnya ya pegawai biasa di
kantor desa,” kata Sujatwati.
Sunaryo
seorang pekerja keras, amat berdisiplin, dan sangat suka bersepeda motor
sendirian ke mana-mana, terutama ke kantor camat Tirtoyudo dan kantor
Pemerintah Kabupaten Malang di Kecamatan Kepanjen. Suka pulang kemalaman, makan
enggak teratur, malas berolahraga, Sunaryo juga seorang perokok berat dan
penggila kopi. Ia lebih pilih secangkir kopi kental ketimbang minum segelas air
putih.
Sujatwati
sudah sering meminta pria kelahiran 25 Oktober 1962 itu berhenti merokok. Tapi
sang suami selalu santai menjawab bahwa dirinya orang yang sangat sehat dan
kuat sehingga penyakit takut padanya. Pria bertubuh tinggi besar ini memang
berpembawaan ceria dan doyan bercanda.
“Bapak itu
sukanya kerja terus dan sibuk mengurusi keperluan orang lain di kantor desa
maupun di sekolahan. Bapak enggak pernah mikirin
diri sendiri. Kesehatannya gimana juga
tidak dipikirin, yang penting kerjaan
beres dan orang-orang senang dibantunya,” ujar Sujatwati.
Volume
kesibukan Sunaryo melonjak dalam setahun terakhir, terlebih-lebih saat ia
dipercaya menjadi Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kepatihan. Tapi Sunaryo
tetap saja bersemangat dan ceria.
Sunaryo
pantang mengeluhkan pekerjaan maupun membawa masalah pekerjaan ke rumah karena
rumah tempat beristirahat. Toh balai
desa hanya terpaut jarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Pokoknya, pekerjaan
harus beres di luar rumah.
Hingga suatu saat Sunaryo terpaksa harus dibawa ke pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas)
Tirtoyudo untuk diperiksa pada Oktober 2018. Sunaryo sempat buang air besar
campur darah. Ia mengira mengalami ambeien atau wasir, tapi petugas kesehatan
menyatakan ia mengalami infeksi saluran kencing gara-gara kecapekan.
Kurang dari sepekan Sunaryo
merasa sehat lagi. Ia kembali bekerja dan bahkan lebih sibuk dari biasanya.
Energik dan ceria tetap jadi pembawaan khas seorang Sunaryo walau waktunya
makin banyak tersita untuk persiapan pelaksanaan pemilu serentak.
Kesibukan membuat Sunaryo
mengabaikan kesehatan sampai suatu hari ia terpaksa dibawa ke Rumah Sakit Ben
Mari yang beralamat di Jalan Raya Kendalpayak, Desa Kendalpayak, Kecamatan
Pakisaji—sekitar 25 kilometer dari Kepatihan.
Namun, Djoni menimpali, pihak
rumah sakit tidak bisa memastikan penyakit yang diderita Sunaryo. Keluarga tak
puas. Dua hari kemudian, Djoni dan dua keponakannya, termasuk Freddy, membawa
Sunaryo ke RSSA di Kota Malang. RSSA ini berada di seberang Markas Kepolisian
Resor Malang Kota.
Djoni dan Freddy tidak ingat apa
saja rangkaian pemeriksaan yang dilakukan tim medis RSSA. “Saya ingatnya
di-USG (ultrasonografi), tapi hasilnya enggak bisa langsung kelihatan,” ujar Djoni.
Yang pasti mereka ingat, Sunaryo
harus ke RSSA lagi. Total, tiga kali Sunaryo dibawa ke RSSA. Nah, kunjungan ketiga
mengharuskan Sunaryo dirawat inap di Ruang ICU. Hasilnya, tim dokter memvonis
Sunaryo menderita kanker usus dan harus dioperasi.
Operasi dilakukan pada Jumat, 12
April 2019. Sekitar pukul 11 malam Sunaryo
dipindah ke Ruang ICU. Tiada seorang pun boleh masuk ruang ICU kecuali dokter
dan tenaga medis yang bertugas.
Sujatwati mengaku enggak bisa
tenang. Salatnya jadi tak khusyuk karena kepikiran terus ingin melihat suaminya
tapi perawat melarang. Perawat bergeming walau Sujatwati berkali-kali memohon.
Akhirnya, Sujatwati nekat nyelonong
ke Ruang ICU. Perawat yang berjaga terpaksa membiarkannya sebentar.
Sujatwati dan Sunaryo bertemu
sekitar 10 menit. Sunaryo sempat mengatakan merasa lebih bugar sehabis
dioperasi. Sunaryo meyakinkan Sujatwati bahwa ia pasti lekas sembuh. Sujatwati
dan anak-anak diminta tenang dan sabar.
Lalu, Sunaryo merasa haus dan
meminta minum. Tapi dokter piket melarang Sujatwati memberikan minuman dengan
alasan Sunaryo habis dioperasi dan pemberian minum bisa membuat pasien muntah.
Sujatwati pamit keluar dari Ruang
ICU untuk melaksanakan salat. Sabtu pagi, 13 April 2019, pihak rumah sakit
membolehkan keluarga Sunaryo memasuki Ruang ICU bergantian dan waktunya
sebentar. Freddy ingat bapaknya berpesan supaya anak-anaknya tetap menjaga
salat 5 waktu dan diusahakan selalu berjamaah. Mereka pun dipesani agar tetap
rukun.
Jelang siang keluarga Sunaryo
dilarang menjenguk. Sujatwati yang sangat cemas mengajak anak-anaknya
memperbanyak doa. Tapi Sujatwati tetap tak bisa tenang saat menunaikan salat
Ashar di musala. Sehabis salat, Sujatwati berlari kecil menuju Ruang ICU dan
mendapati kabar duka: Sunaryo telah menghebuskan napas terakhir pada pukul 4
sore.
Sujatwati menunjukkan sertifikat penghargaan
dari Gubernur Jawa Timur. |
Alhasil, Sunaryo batal mengenakan
seragam baru warna biru saat bertugas bersama enam anggota Kelompok Panitia
Pemungutan Suara (KPPS) di hari pencoblosan surat suara pada 17 April.
Sujatwati ingat, Sunaryo berkelakar merasa lebih gagah dan ganteng dalam
balutan seragam biru.
“Tapi mau gimana lagi, Mas. Bapak sibuknya kerja, sibuk ngurusin orang-orang sampai lupa ngurusin diri sendiri dan tahu-tahu sakitnya sudah sangat parah.
Kenapa saya dulu enggak bisa tegasin
bapak agar hidupnya lebih teratur,” kata Sujatwati dalam nada agak menyesal.
Matanya berkaca-kaca.
Saking cintanya, sampai sekarang
Sujatwati merasa Sunaryo belum meninggal. Dia begitu terasa kehilangan Sunaryo
setiap kali menjalankan salat karena suaminya selalu jadi imam bila pas ada di
rumah. Satu kebiasaan lain Sunaryo yang mustahil dilupakan Sujatwati, yakni
Sunaryo suka bergurau saat hendak masuk rumah.
“Bapak suka bergurau sepulang
dari kantor dan kalau mau masuk rumah suka bilang ‘apakah ini rumah Bu Carik?’
seolah-olah bapak jadi orang lain,” kali ini Sujatwati bisa tersenyum kecil.
“Itu yang enggak bisa saya lupakan sampai rasanya bapak masih hidup dan ada di
ruangan ini bersama kita.”
Karena itu, Sujatwati dan
anak-anaknya menolak wacana maupun usulan pembongkaran makam para anggota KPPS yang meninggal untuk divisum sebagaimana
disampaikan pihak-pihak tertentu. Usulan itu menuai polemik cukup sengit di
kalangan masyarakat, terutama di media sosial.
Dia pun mengecam pembuat dan
penyebar hoaks yang menyebutkan adanya petugas pemilu yang meninggal diracun
dan hoaks lain tentang ketidakwajaran penyebab kematian ratusan anggota KPPS,
apalagi beredar narasi pembunuhan massal petugas pemilu.
Sujatwati meminta kepada siapa
pun agar kematian suaminya jangan disangkutpautkan dengan politik pemilihan
presiden. Sujatwati dan keluarga sudah mengikhlaskan kematian Sunaryo sebagai
takdir.
“Kami sudah ikhlas, jadi enggak
usah bongkar-bongkar (makam) karena enggak berguna kecuali hanya menambah beban
mental dan pikiran kami,” kata dia.
Freddy mendukung penuh keputusan
sang ibu. Pria berusia 30 tahun ini juga marah begitu membaca hoaks tentang
kematian ratusan anggota KPPS. Freddy mengaku tahu betul beban kerja anggota
KPPS karena berpengalaman jadi anggota KPPS pada pemilu 2014 dan 2019. Pada
pemilu tahun ini Freddy bertugas jadi anggota KPPS di TPS 10 Desa
Sumbertangkil, Tirtoyudo.
Menurut Freddy, banyak petugas
KPPS yang benar-benar kelelahan lantaran beban kerja pemilu 2019 sangat berat,
lebih berat dari beban kerja pemilu lima tahun lalu. Kelelahan akut ini memperparah kondisi fisik petugas KPPS yang aslinya sudah
jelek.
Banyak hal yang harus dikerjakan
petugas KPPS di hari pencoblosan. Satu contoh saja, mereka sudah harus
menyiapkan dan menata TPS sejak sehabis subuh. Jam 8 pagi membuka kotak, lalu
menghitung seluruh 5 jenis surat suara, terus ditata rapi di meja, baru
dibagikan.
“Sebelum hari H saja sudah banyak
kerjaannya. Satu kerjaan saja bisa satu hari satu malam beresinnya. Selesaikan form
C.1 saja bisa sampai jam 3 pagi, makanya saya marah bila ada yang ngomong kerja petugas KPPS hanya duduk
dan mencatat, apalagi ada yang tega bikin hoaks tentang kematian petugas KPPS,”
kata Freddy.
Beban kerja seberat itu tidak
sepadan dengan honorarium Rp 470 ribu yang diterima Freddy dan kawan-kawan
setelah pemungutan suara tuntas.
Freddy mengusulkan dua hal untuk
perbaikan kualitas pemilu berikutnya. Pertama, tes kesehatan diperketat.
Sebenarnya KPU mengharuskan setiap petugas pemilu seperti di PPS maupun KPPS
untuk menyerahkan surat keterangan sehat. Tapi, faktanya, enggak semua aturan
itu diterapkan.
Kedua, sistem pemilu 2024 nanti
harus dipermudah. Misalnya dengan cara memisahkan pemilihan presiden dari
pemilihan legislator. Lima jenis surat suara yang begitu lebar sudah sangat
menyulitkan pemilih, khususnya mereka yang sudah renta. Freddy berharap, pemilu
berikutnya bisa seperti pemilu lima tahun silam.
Walau tidak menyelesaikan
tugasnya hingga hari pencoblosan surat suara, Sunaryo dianggap turut berjasa terhadap
pesta demokrasi lima tahunan Indonesia.
Atas jasanya, Sunaryo diberi sertifikat
penghargaan dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada 25 April
2019. Selain sertifikat, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menyerahkan
santunan Rp 15 juta. ABDI PURMONO
CATATAN:
Tulisan panjang ini diedit redaksi dan kemudian dipublikasikan melalui Tempo.co dengan judul Duka Ketua KPPS Meninggal di Malang: Kesal karena Hoaks, Jumat, 24 Mei 2019.
0 Komentar