Sumber gambar: Shutterstock.comPembatasan akses media sosial tidak sesuai dengan Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 19 Deklarasi Umum HAM. |
JAKARTA
— Pemerintah memutuskan membatasi akses terhadap media sosial, khususnya fitur
penyebaran video dan gambar, pasca-demonstrasi yang berujung bentrokan dan
pembakaran sejak Selasa malam, 21 Mei 2019, dan berlanjut hingga hari
berikutnya. Kericuhan terjadi di Kawasan Thamrin, Jakarta Pusat dan Slipi,
Jakarta Barat.
Para
demonstran memprotes hasil pengumuman Komisi Pemilihan Umum pada Selasa dinihari
yang menyatakan bahwa pemenang pemilu presiden adalah Pasangan Calon Nomor 01, Joko
Widodo-Ma'ruf Amin, dengan perolehan suara 85.607.362 atau 55,50 persen.
Sedangkan Pasangan Calon Nomor 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno,
mendapat 68.650.239 atau 44,50 persen suara.
Pembatasan
akses itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Wiranto dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta
Pusat, Rabu, 22 Mei 2019. Kebijakan ini dibuat dengan merujuk pada
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) sebagai dasar hukumnya.
Menurut Wiranto, pembatasan yang bersifat sementara itu bertujuan untuk menghindari berita bohong atau hoaks tersebar luas kepada kepada masyarakat terkait peristiwa kerusuhan. Wiranto tidak memastikan kapan kebijakan pembatasan akses media sosial dicabut karena sangat bergantung pada situasi dan kondisi keamanan dalam negeri.
Menurut Wiranto, pembatasan yang bersifat sementara itu bertujuan untuk menghindari berita bohong atau hoaks tersebar luas kepada kepada masyarakat terkait peristiwa kerusuhan. Wiranto tidak memastikan kapan kebijakan pembatasan akses media sosial dicabut karena sangat bergantung pada situasi dan kondisi keamanan dalam negeri.
Menyikapi
kebijakan itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan sikap:
1. Mendesak
pemerintah segera mencabut kebijakan pembatasan akses media sosial. Kami
menilai kebijakan itu tidak sesuai dengan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta Pasal
19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang memberikan kebebasan kepada masyarakat
untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
2. Meminta pemerintah
menghormati hak publik untuk memperoleh informasi. Kami menyadari bahwa kebijakan
itu ditujukan untuk mencegah meluasnya informasi yang salah demi melindungi
kepentingan umum. Namun kami menilai kebijakan itu juga menutup akses
masyarakat terhadap kebutuhan lainnya, yaitu untuk mendapat informasi yang
benar.
3. Menyerukan kepada
semua pihak untuk menggunakan kebebasan berekspresi dengan sebaik-baiknya. Kami
menolak segala macam tindakan provokasi dan segala bentuk ujaran kebencian
karena bisa memicu kekerasan lanjutan, serta memantik perpecahan yang bisa
membahayakan kepentingan umum dan demokrasi.
4. Mendorong pemerintah
meminta penyelenggara media sosial untuk mencegah penyebarluasan hoaks, fitnah,
hasutan, dan ujaran kebencian secara efektif melalui mekanisme yang transparan,
sah, dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Jakarta,
23 Mei 2019
Ketua
Umum AJI Indonesia Abdul Manan
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim
0 Komentar