Kandang Kambing dan Potret Pers di Malang Raya (2)

Sabtu, Februari 09, 2019


Sejumlah media konvensional yang berpuluh tahun didominasi media cetak mengubah diri menjadi media siber agar selamat dalam menghadapi persaingan ketat media massa.

SAYA sebelumnya bekerja di Aceh, saat konflik bersenjata belum berakhir. 

Lalu saya balik ke Medan sampai akhirnya saya merantau ke Jakarta mulai 25 Desember 2000. Saya tinggal di bilangan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, hingga saya pindah ke Kabupaten Jember di Provinsi Jawa Timur, pada awal Mei 2001. 

Enam bulan di Jember, saya dipindah ke Kota Malang. Pertama kali saya memijakkan kaki di Bumi Arema pada Minggu pagi, 28 Oktober 2001.

Saat itu hawa Kota Malang masih sangat sejuk, suasana kota belum begitu semarak, arus lalu lintas lancar, dan jumlah wartawan masih sedikit. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Malang Raya masih menjadi satu-satunya organisasi wartawan.[2]

Berdasarkan pergaulan sehari-hari, saya menaksir jumlah wartawan di wilayah Malang Raya sepanjang kurun 2001-2005 kurang dari 60 orang, belum termasuk wartawan yang enggak jelas juntrungannya.

Mayoritas wartawan yang saya kenal bekerja untuk suratkabar harian dan jenis media cetak lain yang berbasis di Kota Malang (media lokal), serta menjadi perwakilan suratkabar yang berpusat di Jawa Timur dan Jawa Tengah (media regional) dan suratkabar yang berbasis di Jakarta dan Surabaya (media nasional).[3] Jurnalis radio dan televisi masih sangat sedikit jumlahnya di masa itu.

Perkembangan teknologi informasi berbasis internet memudahkan siapa pun membuat media online. Begitu pula yang terjadi di Malang Raya. Selepas 2005, jumlah wartawan bertambah banyak seturut bertumbuhnya secara signifikan media siber berkonten lokal di Malang, serta kehadiran beberapa korespoden/kontributor media siber berskala nasional.


Media-media siber baru di Malang didirikan oleh pemodal berbeda, berkebalikan dari kepemilikan mayoritas media cetak di Malang yang terpusat di satu pemodal. Pertumbuhan pesat media siber ini berbanding terbalik dengan stagnannya pertumbuhan media cetak.

Tercatat, Times Indonesia Network (TIN) mengawali pertumbuhan media online yang berbasis di Malang. TIN mendirikan Timesindonesia.co.id dan Malangtimes.com pada 2014. Belakangan, TIN mengalami keretakan hingga akhirnya kedua media siber itu berpisah manajemen dan kini bersaing.

Kehadiran TIN telah memancing pemain baru dalam bisnis media online yang mengandalkan konten lokal Malang Raya. Mediamalang.com, Malangvoice.com, dan Malangtoday.net hadir secara berurutan pada 2015.

Pesatnya pertumbuhan media siber berdampak positif karena masyarakat bisa mengakses keragaman informasi secara bebas. Dulu, isi berita lebih banyak didikte maupun dihegemoni media cetak. Sudah jamak diketahui, hampir seluruh harian lokal di Malang sejatinya dimiliki oleh satu grup media. Segmen pembacanya saja yang berbeda.

Belum dapat dipastikan jumlah media siber di Malang Raya. Ditaksir ada 60-an media siber, termasuk media siber yang berkedudukan di luar Malang Raya. Dari enam puluhan media siber itu, sekitar 50 persen murni merupakan media siber yang berbasis di Malang Raya, terutama di wilayah Kota Malang.

Komunitas media siber diprediksi terus membesar. Saat ini, menurut seorang pengurus PWI Malang Raya, ada 30-an koran mingguan (kebanyakan berbentuk tabloid) yang hendak mengubah diri menjadi media digital karena media digital dianggap gampang dibuat dan beban operasionalnya lebih rendah dibanding beban operasional media cetak.

Keinginan mengubah dan atau membentuk media baru berbasis digital itu mungkin murni dilatari kesadaran terhadap kelesuan industri media cetak secara nasional hingga merembet ke daerah-daerah.

Kelesuan itu ditandai penutupan sejumlah media cetak hingga berujung pemutusan hubungan kerja atau PHK dalam tiga-empat tahun terakhir, sebagaimana yang dialami media cetak dalam kelompok usaha MNC dan Kompas Gramedia.

Perkembangan teknologi digital telah mengubah peta dan bisnis media. Media konvensional yang selama berpuluh tahun didominasi media cetak mengalami penurunan jumlah pembaca dan defisit belanja iklan hingga menyebabkan sejumlah media gulung tikar dan berhenti terbit. Penutupan media cetak diperkirakan terus berlanjut. Penurunan oplah media cetak paralel dengan berkurangnya belanja iklan yang tergerus ke media digital.[4]

Dampak perkembangan teknologi digital yang pesat juga dirasakan di Malang Raya. Harian Malang Post, misalnya, menutup koran Malang Ekspres yang berumur tiga tahun. Pengelola Malang Post kemudian meluncurkan portal Malangpost-online.com.

Alhasil, agar selamat, sejumlah media konvensional mengubah diri menjadi media online atau membuat media berbasis digital yang memang benar-benar baru, bukan sekadar bereinkarnasi. ABDI PURMONO



[2] Sejarah pembentukan PWI Cabang Malang Raya belum jelas benar. Diperkirakan didirikan pada 9 Februari 1973. Pengurus periode 2017-2020 berencana membuat buku sejarah pembentukan PWI di Malang. Anggota PWI Malang Raya sekarang berjumlah 70 orang.

[3] Suratkabar lokal Malang terdiri dari Malang Post (berdiri 1 Agustus 1998), Memo Arema (berdiri Mei 1999), dan Radar Malang (berdiri 15 Desember 1999). Semula Radar Malang merupakan suplemen dalam harian Jawa Pos. Sedangkan Memo Arema dilahirkan oleh harian Memorandum yang berbasis di Surabaya. Namun, aslinya seluruh koran ini dimiliki Grup Jawa Pos.

Pada 2014 Radar Malang menerbitkan suplemen Radar Kanjuruhan (berkantor redaksi di Dusun Gambiran, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang) dan Radar Batu (berkantor redaksi di Kota Batu). Di tahun yang sama Malang Post juga melahirkan koran harian Malang Ekspres, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Malang Ekspres hanya bertahan tiga tahun, ditutup pada 14 Februari 2017.

Memo Arema mengalami pecah kongsi di ujung 2015. Memo Arema bersalin nama jadi Memorandum Arema. Sebagian besar awak redaksi yang keluar dari Memo Arema berhimpun di harian Memo X (berdiri 28 Oktober 2015) dan media siber Momentum.com. Redaksi kedua media ini menempati satu kantor yang sama.

Koran regionalnya antara lain Surya (Grup Kompas Gramedia), Radar Surabaya (jelmaan Suara Indonesia), Surabaya Post, Bangsa, Duta Masyarakat, Bhirawa, serta Suara Merdeka dan Wawasan (Jawa Tengah).

Sedangkan media nasional yang tercatat adalah Kantor Berita Antara, harian Kompas, Media Indonesia, Republika, Tempo, Suara Pembaruan, majalah Forum Keadilan, majalah Trust, dan harian Jawa Pos. Hanya Jawa Pos media harian nasional yang berkantor pusat di Surabaya, sedangkan yang lainnya berbasis di Jakarta.
  
[4] Laporan Tahun AJI 2017: Hantu Senjakala dan Intimidasi.


Share this :

Previous
Next Post »