Sejumlah media konvensional yang berpuluh tahun didominasi media cetak mengubah diri menjadi media siber agar selamat dalam menghadapi persaingan ketat media massa.
SAYA sebelumnya bekerja di Aceh, saat konflik bersenjata belum berakhir.
Lalu saya balik ke Medan sampai akhirnya saya merantau ke Jakarta mulai 25 Desember 2000. Saya tinggal di bilangan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, hingga saya pindah ke Kabupaten Jember di Provinsi Jawa Timur, pada awal Mei 2001.
Enam bulan di Jember, saya dipindah ke Kota Malang. Pertama
kali saya memijakkan kaki di Bumi Arema pada Minggu pagi, 28 Oktober 2001.
Saat itu hawa Kota Malang masih sangat sejuk, suasana kota belum begitu semarak, arus lalu lintas lancar, dan jumlah wartawan masih sedikit. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Malang Raya masih menjadi satu-satunya organisasi wartawan.[2]
Berdasarkan pergaulan
sehari-hari, saya menaksir jumlah wartawan di wilayah Malang Raya sepanjang
kurun 2001-2005 kurang dari 60 orang, belum termasuk wartawan yang enggak jelas
juntrungannya.
Mayoritas
wartawan yang saya kenal bekerja untuk suratkabar harian dan jenis media cetak
lain yang berbasis di Kota Malang (media lokal), serta menjadi perwakilan suratkabar
yang berpusat di Jawa Timur dan Jawa Tengah (media regional) dan suratkabar
yang berbasis di Jakarta dan Surabaya (media nasional).[3] Jurnalis
radio dan televisi masih sangat sedikit jumlahnya di masa itu.
Perkembangan teknologi informasi
berbasis internet memudahkan siapa pun membuat media online. Begitu pula yang terjadi di Malang Raya. Selepas 2005, jumlah wartawan
bertambah banyak seturut bertumbuhnya secara signifikan media siber berkonten
lokal di Malang, serta kehadiran beberapa korespoden/kontributor media siber
berskala nasional.
Media-media siber baru di Malang
didirikan oleh pemodal berbeda, berkebalikan dari kepemilikan mayoritas media cetak
di Malang yang terpusat di satu pemodal. Pertumbuhan pesat media siber ini
berbanding terbalik dengan stagnannya pertumbuhan media cetak.
Tercatat, Times Indonesia Network
(TIN) mengawali pertumbuhan media online yang
berbasis di Malang. TIN mendirikan Timesindonesia.co.id
dan Malangtimes.com pada 2014. Belakangan,
TIN mengalami keretakan hingga akhirnya kedua media siber itu berpisah manajemen
dan kini bersaing.
Kehadiran TIN telah memancing
pemain baru dalam bisnis media online
yang mengandalkan konten lokal Malang Raya. Mediamalang.com,
Malangvoice.com, dan Malangtoday.net hadir secara berurutan
pada 2015.
Pesatnya pertumbuhan media siber
berdampak positif karena masyarakat bisa mengakses keragaman informasi secara
bebas. Dulu, isi berita lebih banyak didikte maupun dihegemoni media cetak. Sudah
jamak diketahui, hampir seluruh harian lokal di Malang sejatinya dimiliki oleh
satu grup media. Segmen pembacanya saja yang berbeda.
Belum dapat dipastikan jumlah
media siber di Malang Raya. Ditaksir ada 60-an media siber, termasuk media
siber yang berkedudukan di luar Malang Raya. Dari enam puluhan media siber itu,
sekitar 50 persen murni merupakan media siber yang berbasis di Malang Raya,
terutama di wilayah Kota Malang.
Komunitas media siber diprediksi
terus membesar. Saat ini, menurut seorang pengurus PWI Malang Raya, ada 30-an koran
mingguan (kebanyakan berbentuk tabloid) yang hendak mengubah diri menjadi media
digital karena media digital dianggap gampang dibuat dan beban operasionalnya
lebih rendah dibanding beban operasional media cetak.
Keinginan mengubah dan atau
membentuk media baru berbasis digital itu mungkin murni dilatari kesadaran
terhadap kelesuan industri media cetak secara nasional hingga merembet ke
daerah-daerah.
Kelesuan itu ditandai penutupan
sejumlah media cetak hingga berujung pemutusan hubungan kerja atau PHK dalam
tiga-empat tahun terakhir, sebagaimana yang dialami media cetak dalam kelompok
usaha MNC dan Kompas Gramedia.
Perkembangan teknologi digital
telah mengubah peta dan bisnis media. Media konvensional yang selama berpuluh
tahun didominasi media cetak mengalami penurunan jumlah pembaca dan defisit
belanja iklan hingga menyebabkan sejumlah media gulung tikar dan berhenti
terbit. Penutupan media cetak diperkirakan terus berlanjut. Penurunan oplah
media cetak paralel dengan berkurangnya belanja iklan yang tergerus ke media
digital.[4]
Dampak perkembangan teknologi
digital yang pesat juga dirasakan di Malang Raya. Harian Malang Post, misalnya, menutup koran Malang Ekspres yang berumur tiga tahun. Pengelola Malang Post kemudian meluncurkan portal Malangpost-online.com.
Alhasil, agar selamat, sejumlah
media konvensional mengubah diri menjadi media online atau membuat media berbasis digital yang memang benar-benar
baru, bukan sekadar bereinkarnasi. ABDI PURMONO
[2]
Sejarah pembentukan PWI Cabang
Malang Raya belum jelas benar. Diperkirakan didirikan pada 9 Februari 1973. Pengurus
periode 2017-2020 berencana membuat buku sejarah pembentukan PWI di Malang. Anggota
PWI Malang Raya sekarang berjumlah 70 orang.
[3]
Suratkabar lokal Malang
terdiri dari Malang Post (berdiri 1
Agustus 1998), Memo Arema (berdiri
Mei 1999), dan Radar Malang (berdiri
15 Desember 1999). Semula Radar Malang
merupakan suplemen dalam harian Jawa Pos.
Sedangkan Memo Arema dilahirkan oleh
harian Memorandum yang berbasis di
Surabaya. Namun, aslinya seluruh koran ini dimiliki Grup Jawa Pos.
Pada
2014 Radar Malang menerbitkan
suplemen Radar Kanjuruhan (berkantor
redaksi di Dusun Gambiran, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten
Malang) dan Radar Batu (berkantor
redaksi di Kota Batu). Di tahun yang sama Malang
Post juga melahirkan koran harian Malang
Ekspres, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Malang Ekspres hanya bertahan tiga
tahun, ditutup pada 14 Februari 2017.
Memo Arema mengalami pecah kongsi di ujung
2015. Memo Arema bersalin nama jadi Memorandum Arema. Sebagian besar awak
redaksi yang keluar dari Memo Arema
berhimpun di harian Memo X (berdiri
28 Oktober 2015) dan media siber Momentum.com.
Redaksi kedua media ini menempati satu kantor yang sama.
Koran
regionalnya antara lain Surya (Grup
Kompas Gramedia), Radar Surabaya
(jelmaan Suara Indonesia), Surabaya Post, Bangsa, Duta Masyarakat, Bhirawa, serta Suara Merdeka dan Wawasan
(Jawa Tengah).
Sedangkan
media nasional yang tercatat adalah Kantor Berita Antara, harian Kompas, Media Indonesia, Republika, Tempo,
Suara Pembaruan, majalah Forum
Keadilan, majalah Trust, dan harian Jawa Pos. Hanya Jawa Pos media harian nasional yang
berkantor pusat di Surabaya, sedangkan yang lainnya berbasis di Jakarta.
[4]
Laporan Tahun AJI 2017: Hantu Senjakala dan Intimidasi.
0 Komentar