Kartun: Mice. Sumber: Instagram Micecartoon.co.id. |
Para wartawan idealnya mampu menghayati pekerjaannya sebagai profesi yang sublim. Ia bukan sekadar juru ketik, melainkan “tukang wartawan” dan bukan “wartawan tukang”.
SAYANGNYA, kepesatan pertumbuhan
industri media siber di Malang Raya tidak selaras dengan meningkatnya profesionalitas
dan kesejahteraan wartawan, serta independensi media. Implikasinya terhadap
kualitas jurnalistik masih sangat memprihatinkan. Kehadiran media berbasis
digital justru menggerus profesionalisme wartawan.
Disinyalir, mayoritas dari enam puluhan media siber tadi tidak berbadan hukum usaha dan atau menggunakan nama badan usaha palsu. Sang pemilik serampangan merekrut dan memperkerjakan wartawan tanpa pernah mendidik dan melatih mereka dengan keterampilan jurnalistik; alih-alih memberi pemahaman tentang kode etik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.
Padahal pemilik media seharusnya memahami
lebih awal perbedaan antara definisi pekerjaan
dan profesi sebelum merekrut calon
wartawan. Terdapat kualifikasi yang harus dipenuhi agar suatu bidang pekerjaan
bisa dikategorikan sebagai profesi dan subjeknya disebut profesional, yakni pendidikan,
keterampilan khusus, standar kompetensi, organisasi, dan kode etik.
Dengan begitu para juragan media
jangan menganggap enteng pekerjaan jurnalistik. Para wartawan pun idealnya
mampu menghayati pekerjaannya sebagai profesi yang sublim. Ia bukan sekadar
juru ketik, melainkan “tukang wartawan” dan bukan “wartawan tukang”.
Namun, fakta tidak selalu sesuai
harapan. Banyak wartawan yang digaji di bawah upah minimum dan bahkan sama
sekali tidak digaji. Pemilik media membebaskan wartawan mencari “gaji” dari
narasumber dan sebagian uangnya harus disetor tiap bulan kepada pemilik media. Model
setoran bulanan ini biasanya merupakan kompensasi atas pemberian kartu pers
kepada si wartawan.
Praktik bisnis media semacam itu
sejatinya sudah lama terjadi, khususnya di lingkungan pengelola koran yang
terbit mingguan maupun terbit bulanan. Maka, wajar saja kita mencemaskan
kemungkinan tiga puluhan koran mingguan—versi seorang pengurus PWI Malang Raya—akan
bermigrasi ke bentuk digital.
Koran-koran mingguan terbit
temporer: kadang terbit, kadang tidak. Seringnya terbit saat ada momentum
tertentu, seperti pemilihan kepala daerah, sehingga jumlah oplahnya disesuaikan
dengan pesanan pihak tertentu pula. Berita-beritanya disajikan secara random dengan judul dan isi berita
berbahasa negatif dan tendensius, yang berpotensi mendatangkan “pemasukan” ke
kas perusahaan maupun ke kantong pribadi.
Koran mingguan biasa diedarkan ke
desa-desa dan amat sulit ditemukan di kios koran. Wartawannya sering merangkap
jadi loper. Mereka biasanya mendatangi kepala desa, camat, kepala sekolah, dan
pengusaha berskala gurem. Lucunya, mereka pun sering menagih uang iklan kepada
pihak yang tidak pernah memesan pemasangan iklan.
Dari kondisi begitulah lahir
istilah media abal-abal.[5]
Boleh dikata, intinya, media abal-abal dikerjakan hanya untuk menangguk uang dengan melanggar kode etik
jurnalistik. Kehadiran media abal-abal dan wartawan gadungan terbukti meresahkan
banyak pihak, termasuk kalangan pers sendiri.
Wartawan media abal-abal di
Malang Raya biasa disebut sebagai wartawan grandong alias wardong.[6] Hakikat istilah wartawan grandong
aslinya bersinonim dengan istilah wartawan bodreks yang lebih dulu populer.[7]
Sebagai contoh, sebutan wartawan
grandong dilontarkan banyak kepala desa saat saya menjadi salah satu narasumber
kegiatan pelatihan jurnalistik dan pembuatan website yang diselenggarakan oleh media siber Malangtimes.com bersama dengan Pemerintah Kabupaten Malang.
Kegiatan yang dihelat di Hotel Songgoriti, Kota Batu, 22-24 Desember 2014 ini
diikuti seluruh kepala desa (378 orang) dan lurah (12 orang) yang berasal dari
33 kecamatan.
Tentu saja kita sangat berharap watak
dan cara kerja media abal-abal tidak menulari tiga puluhan koran mingguan yang
berhasrat jadi media siber walau sudah terlanjur kebanyakan media siber
pendahulu mereka berkelakuan kayak begitu. Bedanya, kalau dulu eksemplar koran
yang dibawa, kini cetakan berita dalam jaringan (daring) alias online yang disodorkan.
Berdasarkan
informasi dari lingkungan eksekutif, legislatif, komunitas wartawan, perguruan
tinggi, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat diketahui masih banyak wartawan abal-abal
atau wartawan gadungan yang berkeliaran di wilayah Malang Raya.
Ciri wartawan
abal-abal antara lain berpenampilan sok jago, tak tahu etika; menggunakan
atribut aneh dan berlebihan misalnya gelang dan kalung emas, jam Rolex;
pertanyaan yang diajukan seringkali bersifat tendensius; tak memiliki tata
krama; kerap meremehkan atau mengancam narasumber; dan tak bisa tunjukkan kartu
kompetensi. Para wartawan abal-abal juga kerap mengaku anggota organisasi
wartawan yang bila ditelusuri adalah organisasi wartawan yang tak lolos
verifikasi Dewan Pers. Organisasi wartawan lolos verifikasi dan menjadi
konstituen Dewan Pers.[8]
Di Kota
Malang, misalnya, kegiatan mereka menjadi realita yang dilaporkan sejumlah
organisasi perangkat daerah atau OPD (dulu bernama satuan kerja perangkat
daerah atau SKPD). Mereka umumnya berasal dari media yang berbasis di luar
wilayah Malang Raya seperti Surabaya, Pasuruan, Kediri, Mojokerto, Blitar, dan
Tulungagung.
Sedikitnya ada
50 wartawan dari sekitar 20 media abal-abal. Mereka punya kebiasaan muncul
secara berkelompok yang terdiri antara empat sampai lima orang—sangat langka
bisa menemukan wartawan grandong beraksi sendirian.
Mereka biasa
berlagak hendak meminta informasi maupun mengonfirmasikan temuan fakta di
lapangan, namun ujung-ujungnya menawarkan kerja sama pembuatan iklan kinerja pemerintahan
maupun iklan lain berkemas “komunikasi bisnis”.
Bagian
Hubungan Masyarakat (Humas) menjadi salah satu OPD yang banyak disasar. OPD ini
mempunyai anggaran publikasi cukup besar dan jumlahnya cenderung bertambah tiap
tahun. Contoh, anggaran publikasi pada 2015 berjumlah Rp 750 juta dan naik
secara progresif menjadi Rp 4 miliar pada 2018. Kenaikkan anggaran publikasi
seturut dengan hasrat dan semangat pemerintah daerah setempat menaikkan skala
pencitraan (branding) kota secara
nasional.
Anggaran Rp 4 miliar digunakan untuk melayani
penawaran iklan yang diajukan
media massa dari semua format (cetak, radio, televisi, dan siber) yang ada di
Kota Malang.
Jumlah
wartawan grandong dalam satu kelompok biasa bertambah besar saat menghadiri
kegiatan berskala nasional, semacam perayaan Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia dan Hari Kebangkitan Nasional, maupun saat seorang bupati atau wali
kota mengadakan kegiatan halalbihalal Lebaran.
Walau nama
medianya berbeda, kata seorang pejabat humas, wartawan grandong umumnya berasal
dari satu organisasi wartawan tertentu. Tiada penyebutan nama, tiada pula
dipastikan apakah organisasi wartawan dimaksud sudah jadi maupun belum jadi konstituen
Dewan Pers.[9] Wartawan enggak jelas ini umumnya
bergabung juga dalam komunitas berbentuk forum, kelompok kerja, dan sejenisnya.
Berdasarkan pengamatan
dan pengalaman seorang pejabat di Bagian Humas, pergerakan wartawan abal-abal
di wilayah Kota Malang tidak begitu masif. Ruang gerak mereka tereduksi oleh
kekompakan dan keaktifan PWI Malang Raya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Malang, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Malang, dan Pewarta Foto
Indonesia (PFI) Malang, serta sistem kehumasan yang berlaku.[10]
Bagian Humas
membangun standar-standar komunikasi dan memberlakukan banyak ketentuan tentang
penyebarluasan informasi dan iklan untuk menangkal kegiatan jurnalistik
gadungan. Petugas humas dibekali pengetahuan literasi media hingga mereka mampu
berkomunikasi secara persuasif dan efektif saat menghadapi para wartawan.
Bagian Humas
berkomitmen selalu terbuka melayani wartawan dari media apa pun yang
membutuhkan informasi. Tapi Bagian Humas tidak bisa serta-merta melayani media
yang berhasrat mendapatkan iklan karena terkait penggunaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
Sejatinya,
penyebarluasan informasi dan pemasangan iklan diprioritaskan bagi media yang
memenuhi kriteria antara lain sudah terdaftar dan minimal sudah terverifikasi
secara administratif di Dewan Pers; berbadan hukum usaha, idealnya berbentuk
perseroan terbatas (PT); mempunyai nomor pokok wajib pajak; memiliki nomor
rekening aktif; mencantumkan struktur redaksi yang aktif, termasuk di dalamnya
pencantuman nama penanggung jawab dan pemimpin redaksi yang berkompetensi
wartawan utama.
Kriteria-kriteria
yang ditentukan Bagian Humas Pemerintah Kota Malang itu mirip dengan kriteria
yang termaktub dalam Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 30 Tahun 2018
perihal sistem kerja sama pemerintah provinsi dengan media.[11]
Mayoritas wartawan yang terduga abal-abal mengklaim media mereka sudah berbadan hukum PT dan terdaftar di Dewan Pers. Sebagian besar klaim itu tidak terbukti setelah
dicek Bagian Humas ke laman Direktorat Jenderal AHU dan Dewan Pers.
Namun Bagian
Humas tidak langsung menolak permintaan mereka. Bagian Humas lebih mendahulukan
pendekatan persuasif dan diplomatis, semisal menyarankan mereka untuk lebih aktif
bergaul atau bersosialisasi dengan komunitas wartawan yang ada. Strategi ini
cukup manjur untuk “mengusir” wartawan grandong.
ILUSTRASI: Grafis berita berjudul Diduga Memeras Sejumlah Kasek, Lima Wartawan Bodong Ditangkap yang dipublikasikan Radar Pekalongan, Kamis, 29 November 2018. |
Kelompok
wartawan grandong yang mendatangi satu OPD hampir selalu sama saja
orang-orangnya. Tapi di OPD lain beda lagi kelompoknya. Konon, tercapai
kesepakatan di antara mereka untuk berbagi “wilayah kekuasaan” sehingga jika
ada satu kelompok wartawan ingin masuk ke OPD tertentu, diminta untuk
berkoordinasi atau kulonuwun dulu
dengan kelompok wartawan yang duluan “berkuasa” di sana.
Jumlah mereka
dalam satu kelompok bisa lebih besar hingga 10-15 orang, bahkan bisa mencapai
20 orang, saat menghadiri hajatan besar yang diadakan pemerintah daerah
setempat, seperti puncak perayaan Hari Ulang Tahun Kabupaten Malang tiap 28
November—tahun ini Kabupaten Malang berusia 1258 tahun—maupun dalam acara-acara
yang dipenuhi warga seperti kegiatan Bina Desa.[12]
Jumlah wardong
di wilayah Kabupaten Malang melebihi jumlah wartawan dari media dan organisasi
wartawan yang beridentitas jelas alias bukan wartawan abal-abal (BWA). Ditaksir,
seluruh BWA berjumlah paling banyak 30 orang. Mereka biasa ngepos di lingkungan Kepolisian Resor Malang. Sedangkan jumlah seluruh
wardong di Kabupaten Malang diperkirakan sebanyak 130 orang.
Total, saya
memperkirakan di wilayah Malang Raya saat ini terdapat sekitar 350 wartawan
yang bekerja di media cetak, elektronik (radio dan televisi), serta siber.
Jumlah ini melebihi hitungan saya pada 2011 yang sebanyak 135 wartawan. Pertambahan jumlah wartawan didongkrak oleh
pertumbuhan media siber.
Sebagai
komparasi, pada 2009, terdapat sekitar 80 wartawan yang berada di wilayah
Kabupaten Malang menurut data di Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Malang.
Jumlah 80 wartawan dihitung berdasarkan surat tugas resmi dari perusahaan.[13]
Dari 350
wartawan tadi, lebih banyak wartawan yang enggak jelas nama media dan organisasi
wartawannya. Sebagai pembanding, per 26 November 2018, gabungan jumlah anggota
empat organisasi wartawan (PWI, AJI, IJTI, dan PFI) tercatat sebanyak 162
orang.
Hanya sebagian
kecil wartawan dari media profesional—menurut Standar Perusahaan Pers—yang
belum menjadi anggota organisasi keempat wartawan itu. Jumlah mereka saya
taksir tak lebih dari 30 orang. Anggaplah, jika ditambahkan dengan 162 orang
tadi, maka jumlah BWA 192 orang.
Sedangkan 158
orang lagi patut diduga berpraktek sebagai wardong dan hampir seluruhnya
menjadi anggota organisasi wartawan di luar PWI, AJI, IJTI, dan PFI.
Ditengarai, sekitar 80 orang di antaranya berhimpun dalam satu grup jejaring
sosial yang diikuti sekitar 110 orang.[14]
Sudah jadi
pengetahuan bersama wartawan di Malang bahwa kebanyakan wardong beroperasi di
wilayah Kabupaten Malang. Sebagian wartawan abal-abal diketahui suka kongko di
sebuah warung dekat kantor Dinas Kesehatan di wilayah Kecamatan Kepanjen dan
sebagian lagi suka nongkrong di
kantin pendapa Pemerintah Kabupaten Malang yang berada di wilayah Kota Malang.
Pergerakan
mereka tidak masif di wilayah Kota Malang dan Kota Batu. Di Kota Batu, menurut
dua wartawan, jumlah wardong sekitar 10 orang atau lebih sedikit dari 17
wartawan bermedia jelas.
Baca juga: Produk Jurnalistik Jangan Dipidana
Sedangkan
untuk mendeteksi keberadaan para BWA, misalnya, mereka bisa dijumpai di Warung
Isor Nongko (WIN) di Jalan Gajahmada, Kota Malang, dan Warung Maknem dalam
Markas Kepolisian Resor Malang di Kecamatan Kepanjen.
Untuk
mempersempit ruang gerak mereka, Pemerintah Kabupaten Malang melalui Bagian
Humas mengharuskan para wartawan yang meliput acara-acara yang bersifat formal
untuk mengenakan baju seragam bertuliskan nama media masing-masing maupun
seragam organisasi wartawan. Keharusan ini tidak berlaku bagi wartawan yang
sudah dikenal.
Selain
mengenakan seragam, para wartawan diminta menyerahkan fotokopi kartu pers,
surat tugas maupun surat pemberitahuan dari induk perusahaan. Surat ini harus
ditandatangani minimal oleh redaktur pelaksana dan lebih afdal lagi jika
diteken oleh pemimpin redaksi maupun pemimpin perusahaan.
Cara lain,
Bagian Humas merangkul agen-agen koran yang ada di wilayah Kabupaten Malang
untuk memastikan keaslian identitas wartawan yang diduga wardong. Jika tak ada
korannya, maka rumah web media
bersangkutan yang dicek.
Sesimpel
itulah cara yang dilakukan Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Malang untuk menanggulangi
praktek wartawan abal-abal. Namun, walau semua syarat sudah dipenuhi, bukan
berarti setiap media gampang mendapatkan iklan. Bagian Humas Pemerintah
Kabupaten Malang hanya punya anggaran publikasi sebesar Rp 500 juta untuk tahun
ini dan jumlahnya belum tentu ditambah di tahun depan.
Karena
anggaran terbatas, maka belanja iklan bisa dilakukan OPD lain berdasarkan
kebijakan kepala dinas atau disesuaikan dengan petunjuk pimpinan di atas OPD.
Seorang pejabat mengatakan, belanja iklan diprioritaskan kepada media yang
bonafit, media mainstream yang
terdaftar di Dewan Pers.
Informasi
terkini yang saya terima, para wartawan abal-abal untuk sementara “tiarap” semenjak
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beraksi sepanjang Oktober di wilayah
Kabupaten Malang dan menetapkan Rendra Kresna bersama Eryk Armando Talla dan
Ali Murtopo sebagai tersangka dan ditahan pada minggu pertama Oktober 2018.[15]
Praktik
wartawan abal-abal juga terjadi di wilayah Kota Batu. Namun, pejabat Bagian Humas
Pemerintah Kota Batu mengaku belum pernah menjumpai mereka dan belum pernah
pula mendapat laporan dari OPD lain terkait wardong. Bisa jadi dia memang tidak
mengetahui karena belum sebulan menjadi kepala Bagian Humas.
Sebaliknya,
salah seorang pejabat di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang mengaku sering
didatangi kelompok wartawan abal-abal. Modusnya, mereka berpura-pura
mengonfirmasi kerusakan infrastruktur dan buntut-buntutnya menawarkan solusi “damai”.
Sang pejabat juga pernah dimintai uang iklan. Padahal, sungguh mati, ia tak
pernah memesannya.
Pejabat yang lain
mengaku menyesal telah memberi duit kepada wartawan abal-abal karena ia malah
dijadikan semacam kasir di tiap awal bulan. Sang pejabat sekarang lebih sering
menghindar daripada ribet berurusan
dengan mereka.
Dua wartawan
di Batu bercerita, pernah suatu hari sekitar 2 bulan lalu, Wakil Wali Kota Batu
Punjul Santoso dibuat gusar gara-gara di ruang tunggu depan kamar kerjanya
tampak 5 orang yang terlihat seperti wartawan duduk di sofa. Padahal Punjul
hendak keluar untuk mengisi kegiatan di tempat lain.
Karena
gelagatnya mencurigakan, Punjul memerintahkan petugas jaga untuk mengecek
identitas mereka melalui tayangan kamera pengawas atau CCTV. Setelah dipastikan
tiada seorang pun yang dikenal, petugas baik-baik meminta kelima “wartawan”
yang telah menunggu sekitar 2 jam itu untuk meninggalkan tempat. Barulah Punjul
keluar dari dalam kamar kerjanya. ABDI PURMONO
[5]
Beberapa ciri media abal-abal cetak dan siber: tidak
berbadan hukum; alamat kantor redaksi palsu atau tidak jelas; tiada susunan
redaksi dan nama penanggung jawab; kegiatan jurnalistiknya temporer alias
angin-anginan; bahasa jurnalistiknya parah, jauh dari standar Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI); beritanya cenderung berisi propaganda, bersifat
sensasional dan tendensius agar mendapat banyak pengunjung (umpan klik/clikbait), serta nama medianya terkesan
ganjil dan “seram”.
[6]
Penyebutan wartawan grandong
merujuk pada salah satu karakter
dalam serial sinetron Misteri Gunung
Merapi yang ditayangkan oleh stasiun televisi Indonesiar sejak November 1998 sampai November 2005. Grandong
menjadi anak buah Mak Lampir, sang tokoh utama. Di luar sinetron, grandong
dimitoskan sebagai makhluk gaib yang berfisik menyeramkan dan bertabiat ganas.
[7] Istilah wartawan bodreks muncul di era 1980-an. Istilah yang sarkastis
ini menunjuk orang-orang yang tidak mempunyai suratkabar alias wartawan tanpa
suratkabar (WTS) dan atau terbitnya tidak teratur. Dijuluki wartawan bodreks
lantaran mereka suka berombongan mendatangi narasumber yang bermasalah. Wartawan
bodreks lebih dulu mempelajari kasus yang melibatkan narasumber sebelum “menyerang”
narasumber sasaran. Wartawan bodreks biasanya menawarkan solusi berupa “uang
damai” kepada narasumber yang sudah terpojok. Sedangkan nama bodreks diserap
dari nama obat sakit kepala terkenal.
[8]
Jurnal Dewan Pers Edisi 16, Desember 2017, Menunggu
Wujud Nyata Kemerdekaan Pers, halaman 20.
[9]
Dari tujuh konstituen Dewan
Pers, hanya tiga yang berbentuk organisasi wartawan: Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalistik
Televisi Indonesia (IJTI). Empat organisasi lagi merupakan himpunan perusahaan
pers: Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi
Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI),
dan Serikat Perusahaan Pers atau SPS (dulu bernama Serikat Penerbit
Suratkabar).
[10] AJI Malang dibentuk pada 28
Mei 2005, serta IJTI Malang dibentuk pada 7 Desember 2013 dan para fotografer
jurnalistik membentuk PFI Malang pada 3 Mei 2015. Saat ini AJI Malang
beranggotakan 22 orang. IJTI memiliki 47 orang anggota, termasuk editor,
presenter, dan kamerawan studio. Sedangkan anggota PFI Malang berjumlah 23
orang.
[11]
Lihat
berita Kompas yang berjudul Cara Sumbar Bisa Jadi Model Tertibkan Media Palsu, Rabu, 7
November 2018.
[12]
Program Bina Desa digiatkan
sejak Rendra Kresna menjadi Bupati Malang. Kegiatan ini dijadwalkan satu kali
setiap bulan. Program Bina Desa menjadi ajang untuk mendekatkan masyarakat
dengan jajaran pemimpin dan OPD Kabupaten Malang. Penempatan kegiatan Bina Desa
diprioritaskan di desa-desa yang dianggap tertinggal tapi punya potensi besar
untuk dikembangkan. Melalui kegiatan ini Pemerintah Kabupaten Malang
serangkaian kegiatan seperti pelayanan satu atap untuk pembuatan KTP, kartu
keluarga, bedah rumah, dan tentu saja dialog.
Menurut
Rendra, ada tiga prinsip yang harus dipedomani supaya pembangunan di Kabupaten
Malang maju dan berkembang, yakni integritas, etos kerja, dan gotong royong.
[13]
Tempointeraktif.com, Hanya Enam dari 140 Wartawan di
Malang yang Ikut Jamsostek, Selasa, 22 Desember 2009.
[14]
Sebagai pembanding, kawan di
Blitar mengabari bahwa dari 132 wartawan di sana, hanya 29 orang yang bermedia
jelas. Selebihnya diduga wartawan abal-abal.
[15] Rendra Kresna ditahan KPK bersama Eryk Armando Talla
dan Ali Murtopo. Dalam jumpa pers 11 Oktober 2018, Wakil Ketua KPK Saut
Situmorang menjelaskan bahwa saat menjabat pada periode pertama (2010-2015)
Rendra diduga terlibat dalam dua perkara korupsi berupa menerima suap dari Ali
sebesar Rp 3,45 miliar dan menerima gratifikasi senilai Rp 3,55 miliar dari
Eryk.
1 Komentar
wartawan memang profesi gawat :)
Balas