ILUSTRASI: Jurnal Dewan Pers Edisi 18 November 2018.
|
Kandang kambing ini persis berhadapan dengan kantor pusat media siber tersebut.
SAYA pernah dibuat sangat penasaran oleh sebuah media siber bernama Reskum. Nama ini bukan nama asli.
Dalam boks redaksi disebutkan Reskum berkantor pusat di Dusun Tejosari, Kelurahan Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Kantor pusat Reskum berada di dalam sebuah gang yang
jalan utamanya mengarah ke objek wisata Candi Sumberawan. Sedangkan kantor
redaksinya beralamat di Perumahan Kedungturi Permai, Kelurahan Sepanjang, Kecamatan
Taman, Kabupaten Sidoarjo. Sebelumnya Reskum
berkantor redaksi di Jalan Babadan Rukun, Kelurahan Dupak, Kecamatan
Krembangan, Kota Surabaya.
Waktu itu
akhir Oktober 2017. Saya penasaran karena Reskum
mempublikasikan berita yang tidak akurat, tidak seimbang, mencampurkan
fakta dan opini, serta bergelagat buruk.
Pokok
beritanya tentang kerusakan lingkungan yang sembarangan dituduhkan kepada
perusahaan tempat istri saya bekerja, serta menyalahkan Dinas Lingkungan Hidup
(DLH) Pemerintah Kabupaten Malang yang dianggap tidak serius mengawasi
perusahaan itu. Pihak perusahaan dan DLH dikesankan telah bersekongkol.
Perusahaan
yang dituduh merusak lingkungan berlokasi di Singosari. Belakangan dua wartawan
Reskum mendatangi perusahaan dengan
alasan meminta konfirmasi atas berita yang sudah dibuat lebih dulu. Tentu saja
pihak perusahaan dibuat kaget.
Saat pihak
perusahaan menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, dua wartawan Reskum malah terkesan mengancam akan terus
memberitakan masalah tersebut sampai pihak perusahaan dihukum oleh instansi
berwenang kecuali pihak perusahaan bersedia memberikan kompensasi tertentu.
Saya mencatat curhat pihak perusahaan. Lalu saya
menjelaskan perihal literasi media, kerja kewartawanan, khususnya yang berkaitan
dengan media siber (online media),
supaya pihak perusahaan jangan panik serta mampu mengenali tipikal wartawan
profesional dan wartawan abal-abal. Saya menjelaskannya dengan merujuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, Standar Organisasi Wartawan, Standar Perusahaan Pers,
dan Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS).
Penjelasan
saya berujung saran kepada pihak perusahaan agar menyelesaikan masalah
pemberitaan itu dengan menggunakan Hak Jawab. Saya mereferensikan Peraturan
Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab untuk diacu oleh
pihak perusahaan.
Namun pihak
perusahaan memilih bersikap pasif dulu karena merasa percuma menghadapi Reskum dan media sejenis yang pernah mendatangi
perusahaan yang berada di kawasan industri Kabupaten Malang tersebut.
Saya tidak
menyarankan pihak perusahaan melapor ke polisi karena saya menilai persoalannya
masih dalam koridor pemberitaan. Lagi pula ancaman yang diungkapkan wartawan Reskum belum faktual menjadi pelanggaran
tindak pidana umum. Mereka tidak terang-terangan hendak memeras perusahaan.
Saya yang
penasaran kemudian sendirian mencari kantor pusat Reskum pada Sabtu pagi, 28 Oktober 2017. Alamat yang
dicantumkan amat jelas, tapi ternyata susah dicari. Kebanyakan warga yang saya tanya menggelengkan kepala. Saya menemukan lokasi yang
dicari secara tidak sengaja dari seorang penjaga warung yang mengaku masih
berkerabat dengan RH, akronim dari pemimpin redaksi Reskum.
Sepeda motor
saya parkir di tepi jalan. Dengan berjalan kaki saya menyusuri sebuah gang
berkonblok selebar 2 meter. Sekitar 70 meter dari tepi jalan, saya menemukan
sebuah rumah kosong tertutup.
Pintu tripleksnya
berwarna cokelat dan mulai lapuk. Tampak di sisi bawah kiri dan kanan pintu
terkelupas. Kelupasan yang memanjang dari atas ke bawah tampak di bagian tengah
pintu. Rumah itu mempunyai empat jendela panjang berkaca tanpa teralis. Seluruh
kusen pintu dan jendela berkelir hijau toska.
Di bagian atas
pintu dan jendela depan tertempel dua stiker bertuliskan akronim tiga huruf
nama sebuah stasiun televisi, serta dua bendera bergambar peta Indonesia
berlatar warna biru dengan gambar ujung pena “menunjuk” Pulau Kalimantan dan
bertuliskan nama Majelis Pers Nasional (MPN). Organisasi wartawan ini saya
ketahui beroposisi terhadap Dewan Pers.
Nama stasiun
televisi di stiker merujuk nama perseroran terbatas yang juga menjadi pemilik Reskum. Namun tiada keterangan profil
yang muncul dengan nama PT itu saat saya cek di laman Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum (AHU) kecuali penyebutan alamat Jalan Pemancar TVRI
Dusun Sentong, Desa Wonorejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.
Lalu seorang
pria bercelana pendek dan bertelanjang dada menyapa saya. Sang pria mengaku masih
bersepupu dengan RH. Ia memberitahu bahwa kantor pusat media siber Reskum menempati rumah milik orangtua RH
dan rumahnya saat itu sedang disewakan. Kantor Reskum keseringan sepi melompong karena RH lebih banyak di luar
kota. Biasanya ada sepasang pria dan wanita yang menyambangi kantor tiap dua
bulan sekali.
Si pria
mengatakan begitu sambil berdiri di dekat sebuah sepeda motor yang diparkir
bersebelahan dengan kandang bambu berisi dua ekor kambing warna hitam. Kandang
kambing ini persis berhadapan dengan kantor pusat Reskum.
Masih banyak
lagi media siber di Malang Raya yang semodel dengan Reskum dan kehadiran mereka sudah menjadi fenomena di banyak daerah
di Indonesia.[1] ABDI PURMONO
[1] Wilayah Malang Raya merupakan
sebutan untuk tiga wilayah administratif pemerintahan yang mencakup Kabupaten
Malang, Kota Malang, dan Kota Batu. Ketiga daerah ini dulunya menyatu sebagai
wilayah Karesidenan Malang (zaman Pemerintahan Hindia Belanda) bersama
Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang.
___________________________
CATATAN:
Tulisan panjang ini dibagi ke dalam empat tulisan. Tulisan yang sudah diedit menjadi tulisan sepanjang 10 halaman dimuat dalam Jurnal Dewan Pers Edisi 18 (November 2018) dengan judul Potret Pers Malang Raya. Sampul jurnal dimaksud menjadi gambar ilustrasi di tulisan pertama ini.
0 Komentar