Sumber foto: Grup Whatsapp Jurnalis. |
"Kalau rekam yang bagus-bagus aja, yang jelek-jelek enggak usah!" bentak pelaku.
JAKARTA — Empat jurnalis mengalami
kekerasan fisik maupun kekerasan verbal saat meliput acara Munajat 212 di Lapangan
Monumen Nasional alias Monas, Jakarta, Kamis malam, 21 Februari 2019.
Mereka adalah Nibras Nada
Nailufar (Kompas.com), Joni Aswira
(Koordinator Liputan CNN Indonesia TV),
Satria Kusuma (Detik.com), dan Walda
Marison (Suara.com).
Joni Aswira mengaku diintimidasi
dengan perkataan yang melecehkan profesi wartawan. Joni bercerita, saat kejadian
terdapat belasan jurnalis dari pelbagai media berkumpul di sekitar pintu masuk very important person atau VIP, dekat
panggung acara. Mereka menunggu sejumlah narasumber yang hendak diwawancarai.
Mendadak, terjadi keributan saat selawatan berlangsung dan jarum jam
mendekati pukul 21.00 WIB. Malam itu beredar kabar dua pencopet ditangkap dan
sedang dikerumuni sekelompok orang yang diduga panitia keamanan. Para jurnalis
langsung mendekati lokasi kejadian dan refleks mengarahkan telepon genggam
masing-masing untuk merekam kejadian.
Namun, jumlah orang yang mengerubungi
lokasi kejadian bertambah banyak dan keadaan menjadi tidak terkendali. Beberapa
orang membentak dan memaksa jurnalis menghapus gambar dan video penangkapan
pencopet itu. Beberapa pemuda berpakaian putih tampak berusaha mengejar
wartawan yang meninggalkan lokasi kejadian. Kehadiran tim CNN Indonesia TV, misalnya, turut jadi sasaran kemarahan sejumlah
orang.
Saat sedang menghapus gambar,
Joni mendengar pertanyaan dari massa tentang asal media, serta pertanyaan tendensius
tentang bayaran yang diterima para wartawan. “Kalau rekam yang bagus-bagus aja, yang jelek-jelek enggak usah!”
bentak seseorang dari mereka.
Hal senada diceritakan Nibras
Nada Nailufar. Perempuan berusia 25 tahun ini dipaksa untuk tidak merekam
kejadian. Keributan terjadi di sisi kiri panggung acara. Setelah sekitar dua menit ribut-ribut, kelompok orang yang diduga Laskar Front Pembela Islam atau FPI menghalau para wartawan yang mencoba mendekat. Mereka juga melarang wartawan merekam.
“Massa menuduh gue cebong, (karena) gue merekam. Handphone gue sempat direbut, terus gue rebut balik. Gak gua kasihlah," kata Nibras seperti dikutip Tempo.co
Nibras sempat melihat Satria Kusuma ditarik ke tengah
kerumuman dan kemudian ditangkap oleh para pemuda berseragam putih-putih. Nibras
tidak tahu Satria dibawa ke mana.
Saat itu Nibras melihat dua pria yang diduga pencopet
dibawa oleh massa. Sekitar pukul 21.20 terduga pencopet dibawa kembali ke dekat
panggung acara. Beberapa pemuda
berseragam putih memegang kepala dan tangan terduga pencopet dan kemudian
dibawa ke pos polisi terdekat gerbang Monas. Nibras bersama wartawan lainnya
mengikuti mereka.
Nibras sempat
bertanya pada polisi tentang terduga pencopet. Dia sempat mengambil beberapa
gambar. Setelah itu dia bergegas menuju Koridor 13 Transjakarta untuk pulang. Dia
tak menyadari ada tiga pemuda berseragam putih yang diduga Laskar FPI menguntit
dirinya. Nibras kemudian dihadang. Dia dipaksa menghapus foto-foto di dalam handphone miliknya.
Nibras
membantah memotret massa yang menyeret terduga pencopet. Dia mencoba terus
berjalan ke arah halte, tapi malah didorong-dorong dan terus diikuti. Ketiga pemuda
itu berusaha “merampas” teleponnya. Saking kesalnya, dia menegaskan dirinya sebagai
wartawan berhak mengambil gambar.
Penegasan itu
justru membuat pelaku semakin beringas dan memaksa dia menyerahkan telepon. Nibras
kian mempercepat langkah ke halte dan tiga pemuda itu menghentikan langkah saat
Nibras tiba di halte Transjakarta.
“Alhamdulillah,
saya tidak luka-luka pas dorong-dorongan itu. Tapi saya
merasakan betul intimidasi mereka karena maksa merebut handphone,”
kata dia.
Kekerasan yang dialami Satria
Kusuma lebih memprihatinkan. Ia dipiting
dan kedua tangannya dipegangi beberapa orang saat memvideokan peristiwa. Para pelaku
memaksa Satria menghapus rekaman. Karena terus dipaksa dan makin banyak orang
mengerumuninya, Satria terpaksa memenuhi permintaan mereka.
Namun para pelaku tidak puas.
Satria lalu dibawa ke ruangan VIP mereka. Ada belasan dan mungkin puluhan orang
berpakaian putih di dalam tenda. Seperti diberitakan Detik.com, intimidasi terus berlangsung di dalam tenda. Adu mulut
terjadi lagi saat mereka meminta kartu pers Satria untuk difoto. Satria bergeming
dengan cuma menunjukkan kartu pers tanpa bisa difoto.
Selain mengalami intimidasi
verbal, Satria juga sempat dipukul dan diminta berjongkok.
Intimidasi sedikit mereda saat
Satria menyatakan pernah meliput kegiatan FPI yang membantu korban bencana
Palu. Sikap pelaku juga melunak saat mereka mengetahui Satria bukan wartawan bodreks dan terlebih lagi saat Satria berkomitmen menghapus semua video di
dalam telepon genggamnya. Grup Whatsapp di dalamnya pun dipaksa dihapus dengan
dugaan agar Satria tidak bisa berkomunikasi dengan teman-temannya.
Satria kemudian dilepas usai
diajak berdiskusi oleh salah seorang dari mereka, yang mengaku dari pihak
keamanan Malam Munajat 212 dan berasal dari Bogor alias satu daerah dengan
Satria. Tapi Satria dilepas setelah menyerahkan jaminan berupa kartu pelajar,
bukan kartu pers maupun kartu tanda penduduk seperti diminta pelaku.
Satria langsung menuju kantornya
dan pimpinan Detik.com melaporkan
penganiayaan yang dialami Satria ke Kepolisian Resor Jakarta Pusat dan
melakukan visum. Detik.com mengutuk
keras kekerasan terhadap jurnalis dan menilai tindakan tersebut melanggar kemerdekaan
pers yang dilindungi dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers.
Sedangkan Walda Morison justru mengalami
kekerasan dan kehilangan telepon genggam saat berusaha melerai keributan.
Kegiatan Munajat 212 diadakan
oleh kelompok Alumni 212 di Lapangan Monas mulai pukul 18.00 hingga pukul 23.00
WIB. Kegiatan ini ditujukan untuk menyambut kontestasi pemilihan umum 2019. Umat
Islam diajak mendoakan Pemilu 17 April 2018 berjalan aman, damai, dan rukun.
AJI Jakarta Mengutuk
Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Jakarta mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan oleh massa FPI terhadap para
wartawan yang sedang menjalankan tugasnya.
AJI menilai tindakan Laskar FPI
menghapus rekaman video maupun foto dari kamera jurnalis sebagai perbuatan
melawan hukum.
Pasal 8 UU Pers menerakan bahwa
dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum.
Laskar FPI telah
menghalang-halangi wartawan melakukan kegiatan jurnalistik untuk memenuhi hak
publik memperoleh informasi. Kegiatan jurnalistik ini mencakup mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan (6M) informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis saluran yang tersedia.
Perbuatan pelaku bisa dijerat
dengan Pasal 18 UU Pers yang bersanksi pidana penjara dua tahun atau denda Rp
500 juta, serta dijerat dengan pasal pidana yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
Tindak kekerasan terhadap
jurnalis yang melibatkan massa FPI tidak hanya terjadi kali ini. Sebelumnya, jurnalis
Tirto.id Reja Hidayat dipukul di
Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat, pada Rabu, 30 November 2016.
Sehubungan dengan kejadian itu,
AJI Jakarta menyerukan dan menyatakan:
1. Mengecam keras
tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan massa FPI terhadap para
jurnalis yang sedang liputan Munajat 212.
2. Mendesak aparat
kepolisian menangkap para pelaku dan diadili di pengadilan hingga mendapatkan
hukuman seberat-beratnya agar ada efek jera sehingga kasus
serupa tak terulang di masa mendatang.
3. Mendesak aparat
kepolisian mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis sebelumnya.
Sebab, hingga kini belum ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tuntas
sampai pengadilan.
4. Mengimbau masyarakat
agar tidak melakukan intimidasi, persekusi dan kekerasan terhadap jurnalis yang
sedang melaksanakan tugasnya. ABDI PURMONO
0 Komentar