Pengungkapan kasus pembunuhan Prabangsa menjadi tonggak penegakan dan perlindungan terhadap kemerdekaan pers. Sedangkan pemberian remisi kepada otak pembunuhan melukai rasa keadilan keluarga korban dan jurnalis Indonesia.
ORGANISASI Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Indonesia meminta Presiden Joko Widodo mencabut remisi yang diberikan
kepada I Nyoman Susrama, terpidana kasus pembunuhan wartawan Radar Bali Anak Agung Narendra
Prabangsa.
Dasar hukum pemberian remisi bagi
Susrama tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian
Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara. Keputusan
ini bertanggal 7 Desember 2018. Dalam daftar 115 narapidana penerima remisi,
Susrama berada di nomor urut 94.
Susrama
ditahan sejak 26 Mei 2009 dan kasusnya kemudian disidangkan
di Pengadilan Negeri Denpasar. Pada 15 Februari 2010 hakim menyatakan Susrama terbukti
bersalah menjadi otak pembunuhan sehingga divonis penjara seumur hidup.
Prabangsa dibunuh dua bulan setelah
memberitakan tindakan korupsi yang dilakukan Susrama. Prabangsa dijemput
anak buah Susrama saat berada di rumah orangtuanya di Desa Taman Bali,
Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, pada 11 Februari 2009.
Prabangsa lantas dibawa ke
halaman belakang rumah Susrama di Desa Banjar Petak, Kecamatan Bebalang, Kabupaten
Bangli. Di sanalah Prabangsa disiksa Susrama dan anak buahnya. Dalam kondisi sekarat,
Prabangsa dibawa ke Pantai Goa Lawah di Dusun Blatung, Desa Pesinggahan,
Kabupaten Klungkung. Tubuh Prabangsa kemudian dibawa naik perahu dan dibuang ke
laut. Lima hari berselang, mayat Prabangsa yang mengapung ditemukan oleh awak
kapal yang melintasi perairan Teluk Bungsil.
Merujuk data AJI, kasus Prabangsa
merupakan satu dari sembilan kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia. Kasus Prabangsa
diproses hukum sampai para pelakunya dipenjara. Sedangkan 8 kasus pembunuhan maupun
kematian lainnya belum diusut tuntas.
Dari sisa delapan kasus, antara
lain, kasus pembunuhan Fuad M. Syarifuddin, wartawan Bernas Yogyakarta (1996); wartawan Harian Bernas Yogyakarta (1996); Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006); kematian Ardiansyah
Matrais, wartawan tabloid Jubi dan Merauke TV
(2010), serta pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan tabloid mingguan Pelangi di Pulau Kisar,
Maluku Barat Daya (2010).
Susrama divonis penjara seumur
hidup. Sedangkan delapan anak buah Susrama yang terlibat dihukum penjara antara
5 sampai 20 tahun. Upaya banding mereka ditolak Pengadilan Tinggi Bali pada
April 2010. Keputusan ini diperkuat oleh hakim Mahkamah Agung dengan menolak kasasi
yang diajukan Susrama pada 24 September tahun yang sama.
Delapan tahun berselang, pada
Desember 2018 Presiden Joko Widodo memberikan keringanan hukuman kepada
Susrama. Keputusan Presiden ini dikecam AJI.
Dalam pernyataan sikap AJI Indonesia 23 Januari 2019 yang ditandatangani Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan dan
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim disebutkan bahwa perbuatan
Susrama dan anak buahnya berkategori pembunuhan keji dan merupakan pembunuhan berencana.
Fakta persidangan jelas
menyatakan pembunuhan terkait berita yang dibuat Prabangsa. Susrama pun sudah
dihukum ringan karena jaksa penuntut umum sebenarnya menuntut Susrama dengan
hukuman mati.
Pemberian remisi dinilai AJI melukasi rasa keadilan tidak hanya bagi diri keluarga korban, tapi juga
jurnalis di Indonesia. Karena itu AJI meminta Presiden Joko Widodo mencabut keputusan
pemberian remisi bagi Susrama.
“Kami menilai kebijakan pemberian remisi tidak
arif dan memberikan pesan yang kurang bersahabat bagi pers Indonesia. AJI
menilai, tidak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk
juga memberikan keringanan hukuman bagi para pelaku,
akan menyuburkan iklim impunitas. Para pelaku
kekerasan takkan jera dan itu bisa memicu terjadinya kekerasan-kekerasan berikutnya,” ujar
Abdul Manan.
Sebelumnya, 22 Januari 2019, AJI Denpasar
menyampaikan sikap serupa. AJI Denpasar sangat menyayangkan pemberian remisi—sebelumnya
disebut grasi—kepada Susrama. Pemberian remisi merupakan langkah mundur pemerintah
terhadap perlindungan kemerdekaan pers.
Ketua AJI Denpasar Nandhang R. Astika mengatakan, pengungkapan kasus pembunuhan Prabangsa menjadi tonggak
penegakan dan perlindungan kemerdekaan pers di Indonesia karena selama ini belum
pernah ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang diungkap dan diusut tuntas,
apalagi sampai pelakunya dihukum berat.
AJI
Denpasar bersama sejumlah advokat dan aktivis tahu
benar bagaimana susahnya aparat kepolisian Bali mengungkap kasus pembunuhan
Prabangsa. Butuh waktu berbulan dan energi berlebih untuk mengungkapnya.
Pemberian remisi dari seumur
hidup menjadi 20 tahun bisa melemahkan penegakan kemerdekaan pers. Bisa saja
setelah remisi nantinya Susrama menerima pembebasan bersyarat. Seharusnya, ada
catatan maupun koreksi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta tim
ahli hukum sebelum remisi diberikan.
Karena itu, AJI Denpasar menuntut
pemberian remisi kepada Susrama dicabut atau dianulir. ABDI PURMONO
0 Komentar