Ilustrasi: Jembatan Kuning di Kota Palu, 6 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO |
BEBERAPA kali saya menerima pesan lewat grup media
sosial yang menyebutkan kejadian bencana alam merupakan azab dari Allah SWT
akibat banyaknya maksiat dan kezaliman yang dilakukan manusia di suatu tempat.
Terus ada pesan bernarasi “jangan percaya prediksi
gempa karena hanya menjauhkan kita dari ketakwaan dan mendekati kekufuran”.
Cukup banyak pesan sejenis lainnya. Pesan-pesan itu sukses membuat jidat saya
berkerut dan mata sipit saya jadi mirip mata ikan bandeng.
Wahai pembuat dan penyebar pesan yang budiman,
janganlah engkau menyamakan prediksi gempa yang dibuat berdasarkan sains dan
teknologi dengan prediksi gempa pakai bakar dupa dan kemenyan. Enggak ada pula
hubungannya antara gempabumi dengan politik kecuali kamu tidur di atas punggung
keledai.
Tafsir azab versimu berlebihan. Tidak semua bencana
atau malapetaka merupakan siksaan dari Allah SWT. Bisa saja bencana merupakan
berkah dari Sang Al-Khaliq (Maha Pencipta) sebagai penawar dosa; serta
bisa juga merupakan cara Sang Al-Wahhab (Maha Pemberi) mengangkat
derajat hamba-hambanya dengan memberikan berkah kepada para korban hidup yang
bersabar menerima musibah alias menjadi ujian bagi orang yang bertakwa.
Kamu dan aku pada dasarnya tidak tahu mana opsi yang
diberikan Sang Al-Alim (Maha Mengetahui) kepada para korban hidup dan
meninggal dalam bencana alam. Dan kita jelas bukan Sang Maha Penentu (Al-Kahar).
Lantas, dari mana kamu tahu dan bagaimana caramu
memastikan bahwa bencana alam di Lombok, Palu, dan Banten merupakan azab?
Memangnya kamu mendapat wangsit dari langit saat makan mie pangsit? Apakah Sang
Maha Pemberi Petunjuk (Ar-Rasyid) menurunkan wahyu saat engkau sedang
menonton tayangan Azab di sebuah stasiun televisi?
Kamu dan orang-orang yang mempercayai pesan kalengan
itu sesungguhnya gagal bersikap adil dan berempati terhadap duka para korban.
Sudahlah sengsara kehilangan keluarga dan harta, masih juga kena sangkaan
sedang diazab. Sungguh tak berperasaan dirimu dan orang-orang yang begitu saja
mempercayainya. Naudzubillah.
Jangan sembarangan memakai teks kitab suci sebagai
dalil untuk membenarkan tafsir azabmu. Seimbangkan tafsir azabmu dengan logika
(mantiq) yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Jangan sampai mantiq
jadi mentok.
Jika kamu seorang mubalig, misalnya, latihlah daya
nalar jemaahmu dan bukan memanipulasi emosi mereka. Seimbangkan emosional dan
rasional dalam dakwahmu. Tiada salahnya kamu tahu tentang mitigasi bencana
selain fasih bicara tentang azab.
Mari doakan saja para korban yang hidup supaya tetap
tegar dan kuat, serta husnulkhatimah bagi yang meninggal. Ayolah, kita
kedepankan empati dan saling menolong. Jangan menghakimi mereka dengan menyebut
mereka sedang diazab.
Itu cuma saran. Manalah bisa kularang kamu menolak saranku,
terlebih jika kamu fans garis keras tontonan Azab maupun jadi seorang
yang begitu fanatik sehingga tega-teganya menyebarluaskan pesan tentang azab
dan laknat untuk menyerang lawan politikmu—politisasi bencana—dalam bentuk
penyebarluasan hoaks data bencana yang dikait-kaitkan dengan hoaks nasihat
pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Paling-paling aku hanya bisa membantinkan tiga kata:
kamu sungguh terlalu!
Begitupun kudoakan semoga kamu dan keluargamu sehat
dan bahagia selalu. Semoga kamu percaya bahwa Azab hanya ada di salah
satu stasiun televisi. ***
CATATAN:
CATATAN:
-------------------------------------------
ARTIKEL TERKAIT:
1. Dange Enak Dilupakan Jangan, Rabu, 23 Mei 2018.
2. Menikmati Minggu Pagi di Kota Palu, Minggu, 27 Mei 2018.
VIDEO:
1. Dange Enak Dilupakan Jangan, 24 Mei 2018.
2. Menikmati Minggu Pagi di Kota Palu, 26 Mei 2018.
0 Komentar