Kondisi Danau Ranupani pada Minggu, 1 April 2018. Foto-foto: ABDI PURMONO |
Danau Ranupani terancam punah dalam tempo lima hingga 20 tahun jika masalah sedimentasi serta perkembangbiakan Salvinia molesta dan tumbuhan liar lainnya tidak ditangani secara masif, komprehensif, dan berkelanjutan.
SEBUAH danau diingat Markasan dulunya dipenuhi air bening membiru yang dingin dan tenang. Danau dikelilingi perbukitan hijau nan subur hingga semua kehidupan tampak berlangsung selaras dengan alam sekitarnya.
Kelestarian danau mengundang kawanan burung belibis datang. Mereka sering kelihatan setengah tersembunyi dalam kabut pagi. Purnawan Dwikora Negara alias Pupung ingat betul pernah melihat kawanan unggas itu saat bersama kawannya mendaki Gunung Semeru pada 1988.
Kehadiran belibis juga ada dalam
ingatan Sutono, 35 tahun. Saat masih kecil ia dan kawan-kawannya sering melihat
belibis bermain di perairan jernih danau. Sutono kecil biasa mandi di sana sepulang
sekolah. Orangtuanya sering menyuruh dia mengambil air danau demi memenuhi
kebutuhan dapur dan
menyirami tanaman.
“Jelas sekali dulu airnya sangat
jernih. Derajat kualitas air yang sangat baik juga ditandai dengan kemunculan
belibis. Tapi, sepuluh tahun terakhir enggak bisa ditemui lagi belibis-belibis itu.
Saya tidak tahu ke mana mereka pergi,” kata Pupung, Anggota Dewan Daerah Walhi Jawa Timur, pada Rabu siang, 16 Mei 2018.
Danau dimaksud bernama Ranupani.
Danau ini berlokasi
di kaki Gunung Semeru dalam kawasan Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Danau Ranupani secara
administratif berada di Desa Ranupani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang,
Provinsi Jawa Timur.
Namun, maaf, kini tiada lagi gambar indah untuk perubahan Ranupani. Gambaran permai air
yang bening membiru dan kawanan belibis yang bertingkah hanya ada dalam ingatan
kolektif Markasan, Pupung, Sutono, dan warga lainnya.
Kelestarian dan keasrian Ranupani
mulai memudar. Fakta kemalangan ini dapat dirujuk dari keheranan banyak
pengunjung yang sedang mengantre untuk mendaftarkan diri di Kantor Resor
Ranupani Balai Besar TNBTS atau biasa disebut Pos Ranupani.
Secara geografik, posisi Desa
Ranupani sangat strategis sebagai desa terakhir dan sekaligus pintu masuk bagi pendaki
Gunung Semeru, gunung api tertinggi di Pulau Jawa. Memang, tidak semua pengunjung
datang untuk mendaki. Banyak juga pengunjung yang datang untuk bernostalgia. Alfin
salah satunya. Ia datang dari Jakarta bersama istri dan kedua anaknya.
Saya sedang berdiri di tepi jalan
depan Kantor Resor Ranupani saat Alfin melambatkan laju mobil dan membuka kaca.
“Mas, danaunya ada di sebelah mana?” Alfin bertanya, Minggu, 1 April 2018.
Alfin
tampak kaget bukan kepalang setelah saya sebutkan letak Danau Ranupani berada di belakang
mobilnya.
Pria berusia 40 tahun ini sontak keluar dari mobil untuk memandang hamparan danau yang saat itu menyerupai hamparan rumput berwarna hijau kecoklatan.
Pembersihan Ranupani pada Minggu, 1 April 2018. |
“Lho…, saya kira itu lapangan sepak bola. Waktu saya masih mahasiswa
di Malang dan ke sini, danaunya masih kelihatan biru dan bersih,” kata Alfin.
Ia terakhir mengunjungi Ranupani pada medio Desember 2000.
Sekitar 350 meter dari posisi Alfin berdiri, Manajer Lapangan Japan International Cooperation System (JICS) Andi Iskandar Zulkarnain alias Andi Gondrong sedang sibuk mengkoordinir sekitar 25 tenaga sukarela—tiga orang di antaranya berkebangsaan Jepang—bekerja membersihkan Salvinia molesta yang telah menutupi hampir 95 persen permukaan Ranupani. Kondisinya makin jorok oleh banyaknya sampah anorganik, seperti botol plastik minuman, popok bayi, bungkus makanan instan, dan pembalut.
Sekitar 350 meter dari posisi Alfin berdiri, Manajer Lapangan Japan International Cooperation System (JICS) Andi Iskandar Zulkarnain alias Andi Gondrong sedang sibuk mengkoordinir sekitar 25 tenaga sukarela—tiga orang di antaranya berkebangsaan Jepang—bekerja membersihkan Salvinia molesta yang telah menutupi hampir 95 persen permukaan Ranupani. Kondisinya makin jorok oleh banyaknya sampah anorganik, seperti botol plastik minuman, popok bayi, bungkus makanan instan, dan pembalut.
Mereka ligat menyibak dan membelah gulma air yang mengambang dan mirip kasur setebal 20 sentimeter dengan garpu kayu. Saking tebal dan rapatnya salvinia, Sony dari Sahabat Volunteer Semeru (Saver) nyaris terjebak dan kepayahan menggerakkan ban karet yang dipakainya untuk mendorong Salvinia molesta ke tepi danau. Ia bisa menepi setelah meraih tali yang diulurkan kepadanya yang kemudian ditarik oleh dua rekannya.
Ada
pula sukarelawan yang nyemplung ke dalam air untuk memasang sekat pembatas yang terbuat
dari jalinan batang bambu. Sekat pembatas dipasang agar gambas air—sebutan lokal
untuk Salvinia molesta—lebih gampang
disibak, dibelah,
ditarik, dan diangkat.
Mereka harus bekerja ekstrakeras.
Ketebalan
dan kerapatan salvinia bersama tumbuhan lain sungguh menguras energi dan membuat para sukarelawan bercucuran
keringat dalam bekapan hawa sejuk Ranupani. Salvinia yang sudah diangkat
ditumpuk di sepanjang tepi danau. Sedangkan
sampah anorganik dikumpulkan terpisah dan sebagian dibakar.
“Kami
harus cepat mengangkatnya agar Salvinia molesta tidak kembali menyatu dan
mengambang keluar dari batas bambu,” kata Andi Gondrong.
Pembersihan dilakukan selama dua
bulan sejak pertengahan Maret 2018. Hari itu hari kesebelas mereka bekerja. Berikutnya
dilakukan pembersihan berskala cukup besar dengan melibatkan sejumlah komunitas
pencinta lingkungan yang dimotori Saver, Gimbal Alas Indonesia, dan didukung
Balai Besar TNBTS, pada 28-29 April dan 19-20 Mei tahun yang sama. Mereka bekerja
sukarela dari pukul 7 pagi sampai pukul dua siang.
Banyak warga menggeleng saat
ditanya kapan tumbuhan yang berkerabat dekat dengan kiambang dan eceng gondok itu muncul. Namun mereka kompak mengangguk sewaktu dikatakan kehadiran salvinia telah mengubah wujud molek Ranupani menjadi lebih mirip lapangan sepak
bola.
Dalam ingatan Herwanto, warga setempat berusia 39 tahun, salvinia diketahui hadir pada 2008 dalam kelompok-kelompok kecil dan belum merata sebarannya. Salvinia mulai jadi masalah serius dua tahun kemudian. Warga menyebutnya dengan nama suket kembang alias rumput bunga dan gambas air.
Dalam ingatan Herwanto, warga setempat berusia 39 tahun, salvinia diketahui hadir pada 2008 dalam kelompok-kelompok kecil dan belum merata sebarannya. Salvinia mulai jadi masalah serius dua tahun kemudian. Warga menyebutnya dengan nama suket kembang alias rumput bunga dan gambas air.
“Tapi saya enggak tahu dari mana datangnya,” kata Herwanto kepada saya, 1 Juni 2018.
Kondisi Danau Ranupani pada Minggu, 1 April 2018. |
Pembersihan pertama berskala
besar melibatkan petugas TNBTS dan anggota pencinta alam se-Jawa Timur pada
Agustus 2011. Berikutnya, pada 6-7 April 2012 dilakukan aksi pembersihan
besar-besaran yang melibatkan sekitar 700 orang dari berbagai elemen,
termasuk dari Japan International Cooperation Agency (JICA).
Belum lagi pembersihan secara sporadis oleh kelompok mahasiswa
yang sedang melakukan kuliah kerja nyata maupun penelitian.
Keterlibatan JICA pernah
dijelaskan JICA Chief Advisor Hideki Miyakawa kepada wartawan di Kota Malang,
Minggu, 4 Desember 2011. Miyakawa menyatakan proyek restorasi berfokus membuat pedoman restorasi di hutan yang rusak, khususnya di hutan
konservasi, untuk selama lima tahun sejak 2011.
Miyakawa menyebut kerusakan
Ranupani sudah sangat gawat. Debit air, misalnya, sudah berkurang 50 persen. Penurunan debit air sangat dipengaruhi oleh serangan
salvinia yang tumbuh pesat secara vegetatif.
“Fokus restorasi di sini untuk
mengembalikan Ranupani seperti sediakala, yakni bebas dari salvinia dan sedimentasi,” kata Miyakawa.
Baca juga: Berpacu Menyelamatkan Ranu Pani.
Emy
Endah Suwarni, Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNBTS saat itu, mengutarakan kegiatan restorasi Ranupani masuk dalam proyek nasional Pedoman Restorasi Ekosistem
Hutan Konservasi yang digagas JICA.
Proyek restorasi diberlakukan pada lima taman nasional: TNBTS yang mewakili restorasi
ekosistem danau, Taman Nasional Sembilang di Sumatera Selatan yang mewakili
restorasi ekosistem mangrove; Taman Nasional Gunung Ciremai di Jawa Barat yang mewakili
restorasi ekosistem hutan pegunungan; Taman Nasional Manupeu Tanah Daru di
Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang mewakili ekosistem
lahan kering, serta Taman Nasional Gunung Merapi yang mewakili
restorasi ekosistem kawasan konservasi pascabencana.
“Salah
satu keluaran dari proyek ini adalah kajian, peraturan pedoman rehabilitasi
atau restorasi serta penyusunan draf pedoman restorasi di kawasan konservasi,”
kata Emy.
Pembersihan Ranupani masih sangat
mengandalkan partisipasi
warga setempat yang berpuluh tahun sebelumnya terkesan tidak mempedulikan pentingnya Danau Ranupani bagi kehidupan mereka. Mereka baru tergerak
setelah menyadari kerusakan Ranupani bisa langsung mereka saksikan begitu membuka jendela kamar di pagi hari.
Memang
telat. Tapi kesadaran yang datang terlambat lebih baik daripada menonton saja. Kesadaran warga
tersambung dengan pembuatan jadwal kontrol dan
pembersihan yang melibatkan warga Sidodadi dan Besaran, dua dusun yang ada di
Desa Ranupani. Belakangan diketahui jadwal kontrol itu tidak lagi dipatuhi.
Alhasil,
ketidakteraturan aksi bersih-bersih hanya memberi
kesempatan bagi salvinia “mati suri” untuk kemudian hidup menyebar secara masif
dan cepat. Kecepatan tumbuh salvinia mengalahkan hasil kerja para pembasmi.
Salvinia mampu berbiak hanya dalam tempo lima hari. Mereka berbiak melalui rizoma atau rimpang yang menjalar. Rimpang berperan memerangkap nitrogen yang dibutuhkan salvinia untuk membesarkan dirinya.
Pembesaran
salvinia bisa sangat terbantu oleh hujan. Hujan menguntungkan dan bisa
merugikan para pembersih. Air hujan yang mengalir dari perbukitan mendorong sampah salvinia memasuki danau. Air hujan yang tidak tertampung di dalam danau meluap hingga sampah salvinia di pinggiran danau mengapung ke hampir semua permukaan
danau. Air hujan juga menyeret dan mengapungkan banyak sampah plastik dan sampah rumah tangga.
“Itu yang terjadi saat hujan
turun dalam dua hari terakhir kemarin,” kata Andi Gondrong, Jumat, 22 Juni
2018. Ia mengirim empat foto yang menggambarkan sampah salvinia mengambang bersama luapan air Ranupani.
Apa boleh buat. Hasil kerja keras selama dua
bulan yang berupa bersihnya 60-70 persen permukaan Ranupani rusak akibat gasakan hujan deras. ABDI PURMONO
Kondisi Danau Ranupani pada Minggu, 1 April 2018. |
Catatan:
Tulisan ini memotret kondisi Danau Ranupani sepanjang April-Juni 2018. Kondisi Danau Ranupani dilaporkan sudah bersih seluruhnya pada September tahun yang sama.
0 Komentar