Pemain dan ofisial timnas Indonesia melakukan selebrasi setelah memenangi laga final Piala AFF U-16 di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu, 11 Agustus 2018. ANTARA. |
KAWAN dan sedulur sekalian…
Kita sering menyamakan begitu
saja pengertian pekerjaan dengan profesi.
Tukang ojek itu pekerjaan, pilot
itu profesi: semua orang bisa mengendarai sepeda motor, tapi enggak semua orang
bisa jadi pilot. Tukang pijat itu pekerjaan, dokter itu profesi: semua orang
bisa jadi tukang pijat dan memijat, tapi enggak semua orang bisa dan berhak
menyuntik pasien. Tukang parkir sepeda motor itu pekerjaan, tukang parkir
pesawat itu profesi. Begitulah kira-kira gambarannya.
Bahkan, dalam konteks pekerjaan
wartawan, bila kode etik saja dianggap tidak cukup, bisa ditambahkan kode
perilaku. Kode etik bersifat lebih umum, kode perilaku lebih bersifat
operasional.
Dalam kasus cuitan Oryza
Ardiansyah, sejatinya ia harus bijak bermedia sosial walau media sosial itu
wilayah privat. Dalam konteks jurnalisme damai, cuitan Oryza tentu bisa—bukan
berarti pasti atau mutlak—dianggap ingin merawat rivalitas purba antarsuporter.
Padahal, mungkin maksudnya ingin mengkritisi penegakan regulasi pertandingan.
Namun, dalam momentum upaya
perdamaian di kalangan kelompok suporter, bejibunnya penonton hingga di pinggir
lapangan masih bisa dimaklumi karena laga Arema FC versus Madura United
merupakan pertandingan persahabatan atau laga amal. Masih bisa dimaklumilah.
Diskresi bolehlah berlaku, toh
rasa-rasanya enggak bakalan pertandingan berlangsung ricuh. Paling-paling
banyak penonton yang menjadi tidak nyaman karena berjubelnya penonton di tepi
lapangan. Tentu saja hal seperti itu haram terjadi bila pertandingan tersebut
merupakan laga resmi Liga.
Cuitan Oryza juga bisa saja
dikesankan—namanya juga kesan bukanlah hal yang mutlak pasti—sebagai opini yang
menghakimi, memberikan stigma, atau ingin menyudutkan pihak tertentu. Di sini
berlaku wilayah tafsir terhadap pilihan kata (diksi) dan kalimat, serta gambar
yang ditampilkan.
Apa yang dilakukan Oryza juga
berlaku umum di kalangan wartawan olahraga, khususnya para pewarta sepak bola.
Boleh sajalah wartawan menjadi suporter sebuah klub, tapi kepatuhan terhadap
kode etik sejatinya harus dinomorsatukan.
Begitu si wartawan mengerjakan
sebuah laporan hasil pertandingan, saat itu juga ia bukan lagi seorang
suporter. Ia seorang wartawan yang diikat dengan kode etik—di organisasi
wartawan tertentu malah berlaku kode etik dan kode perilaku—yang harus menjaga
sikap independen, membuat berita yang akurat, berimbang atau cover both side, tidak beriktikad buruk
untuk merugikan pihak lain, tidak mencampurkan fakta dan opini, dan hal-hal
lain yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.
Lantaran pekerjaan wartawan
merupakan profesi yang menuntut pemenuhan sejumlah kualifikasi seperti
kusebutkan di atas, maka kawan-kawan yang biasa mengurus halaman penggemar atau
fanpage maupun pengelola media sosial
fansbase sesungguhnya tidak patut
dianggap sebagai seorang jurnalis sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pers.
Ia lebih layak sebagai pengelola
media sosial, atau minimal disebut sebagai jurnalis warga. Tentu beda regulasi
dan aturan mainnya, termasuk sanksi hukum bila terjadi pelanggaran pemberitaan.
Lain soal bila kemudian para pengelola halaman suporter itu bertransformasi
membentuk badan hukum perusahaan pers dan berusaha memenuhi seluruh kualifikasi
itu.
Nah, kembali ke soal upaya
perdamaian antarsuporter. Wartawan tentu diwajibkan dan mempunyai kesadaran
etis untuk mendorong terjadinya perdamaian permanen di kalangan suporter. Kalau
pengelola halaman komunitas suporter enggak mutlak ada kewajiban serupa. Paling
banter hanya diharapkan kesadarannya saja.
Jurnalis harus mau dan mampu jadi
wasit yang berdiri di tengah, bukan memihak kubu sebelah. Jurnalis harus mau
dan mampu menjadi suluh penerang, bukan penyulut perang. Jurnalis harus mau dan
mampu menjadi juru damai, bukan juru tikai.
Wartawan sejak lama menjadi
profesi terbuka, tapi percayalah bahwa jadi jurnalis itu sungguh enggak gampang
tapi sekaligus sangat asyik bila kalau benar-benar dihayati dan ditekuni.
CATATAN TAMBAHAN:
1. Tulisan ini sebenarnya
saya buat untuk menanggapi obrolan di grup WhatsApp Playgroup Olga yang dihuni para wartawan olahraga, khususnya
pewarta sepakbola. Tema yang diobrolkan tentang cuitan Oryza Ardyansyah Wirawan,
wartawan yang menekuni peliputan sepak bola di media siber Berita Jatim, melalui akun Twitter pribadinya, yakni @oryza_wirawan.
2. Cuitan Bung Oryza
sebenarnya biasa-biasa saja, tapi jadi enggak biasa lantaran Oryza mencuit
begitu di saat banyak pihak seperti pengelola klub dan komunitas suporter
sedang berupaya mewujudkan perdamaian agar iklim sepak bola Indonesia menjadi lebih
beradab dan maju.
Seperti sudah diketahui secara luas lewat pemberitaan media massa dan
media sosial, sepak bola Indonesia dianggap banyak pihak sedang dalam situasi
gawat darurat karena berjatuhannya korban jiwa. Terakhir Haringga Sirla,
suporter klub Persija Jakarta tewas akibat pengeroyokan suporter Persib
Bandung, Minggu, 23 September lalu. Akibat kematian Haringga, PSSI memutuskan
menghentikan sementara Go-Jek Liga 1 sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Cuitan Bung Oryza juga sebenarnya biasa-biasa saja sebagai tulisan di
media sosial apabila dibandingkan dengan judul berita utama atau headline dua koran lokal di Malang yang vulgar
dan dan provokatif terkait rencana pertandingan antara klub Arema FC melawan
Persebaya Surabaya, maupun saat terjadi bentrokan antarsuporter kedua klub. Kalau
di media sosial orang lebih bebas berpendapat, tidak demikian halnya di media
massa karena ada kode etik yang harus ditaati wartawan.
Namun sebagai jurnalis yang berpikiran terbuka, Bung Oryza sebaiknya
lebih sensitif dan bijak menuliskan pesan di media. Ada konteks sosial dan
momentum yang harusnya diperhatikan supaya proses perdamaian di jagat sepak
bola nasional bisa lebih cepat terwujud.
3. Tulisan saya di grup
WhatsApp sejatinya tidak ditujukan secara khusus kepada Bung Oryza, melainkan
juga bagi semua wartawan yang jadi anggota grup Playgroup Olga dan wartawan
lain di luar grup. Tulisan Bung Oryza saya jadikan pintu masuk tulisan yang saya sesuaikan dengan konteks dan momentum yang saya maksudkan di atas.
4. Silakan bersaing,
tapi cukup saat pertandingan berlangsung di dalam stadion. Rivalitas bukan
alasan untuk bertindak rasis dan bahkan sampai melukai dan membunuh. Di luar
stadion tetaplah rukun. Jangan sampai jadi suporter barbar.
Suporter yang beradab turut mempengaruhi kemajuan dan prestasi persepakbolaan Indonesia seperti yang pernah diraih Tim Nasional U19 dan Tim Nasional U16 yang masing-masing jadi juara Piala AFF 2013 dan Piala AFF 2018. ***
Suporter yang beradab turut mempengaruhi kemajuan dan prestasi persepakbolaan Indonesia seperti yang pernah diraih Tim Nasional U19 dan Tim Nasional U16 yang masing-masing jadi juara Piala AFF 2013 dan Piala AFF 2018. ***
0 Komentar