SAYA
mendapat kesempatan mengunjungi Kota Palu saat menjadi penguji Uji Kompetisi
Jurnalis yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Ibu Kota
Provinsi Sulawesi Tengah, pada Sabtu-Minggu, 5-6 Mei 2018.
Di
hari kedua, saya bersama dua orang penguji jalan-jalan pagi untuk penyegaran.
Kami berangkat dari lokasi penginapan di Kelurahan Kabonena, Kecamatan Ulujadi,
hingga Jembatan Palu IV atau Jembatan Ponulele di Kelurahan Lere, Kecamatan
Palu Barat.
Sebenarnya
kami ingin melihat kemunculan buaya-buaya di perairan Teluk Palu sebagaimana
ramai diberitakan oleh media massa. Karena lokasinya cukup jauh dan kami hanya
punya waktu 2 jam sebelum pelaksanaan UKJ hari kedua, maka kami selingi
perjalanan kami kami dengan menumpangi taksi online hingga Jembatan Palu IV. Kami
belum beruntung karena tak seekor pun buaya tampak.
Selebihnya,
meski sebentar, kami bisa melihat Masjid Apung Palu yang bernama asli Masjid
Arqam Bab Al Rahman yang dibangun pada 2011, spot
Anjungan Nusantara yang mengingatkan saya pada Pantai Losari, serta kebiasaan warga
kota yang mandi-mandi di pantai.
Kata
Ochan, penduduk Palu, biasanya banyak orang mandi di tepian perairan Teluk
Palu. Tapi sejak kemunculan banyak buaya, orang yang mandi-mandi tidak sebanyak
dulu.
Lihat videonya: Menikmati Minggu Pagi di Kota Palu.
Lumayanlah
pengalaman yang kami dapat walau sasaran utama tidak dijumpai. Selama di kota “kaledo”
ini saya merasakan arus lalu lintas lancar-lancar saja, tidak seperti yang
alami di beberapa kota, termasuk kota tempat saya menetap. Kota seluas 395
kilometer persegi ini dihuni penduduk kurang dari 350 ribu jiwa, jadi wajar
juga kalau kotanya lebih tenang dan lengang dibanding Kota Malang yang saya
tempati.
Penduduk
kota yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Donggala pada 1994 ini bersikap ramah,
hangat, dan terbuka. Kota penghasil telur ayam terbanyak di Provinsi Sulawesi
Tengah ini adalah sebuah melting pot,
tempat berbaurnya penduduk asli dan penduduk pendatang. Sebagian besar penduduk
berasal dari wilayah selatan seperti suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Merekalah
yang menguasai hampir 80 persen perekonomian di Kota Palu.
Baca juga: Dange Enak Dilupakan Jangan.
Keragaman
suku di Kota Palu adalah berkah karena bisa menjadi modal besar untuk memajukan
kota bila semuanya kompak bekerja keras. Seperti watak kota lainnya, Kota Palu bukan
hanya milik kelompok tertentu, tapi milik semua orang, termasuk para pendatang.
Pemerintah daerah setempat pun harus mampu bersikap adil terhadap setiap
golongan dan kelompok masyarakatnya.
Hal
itulah yang saya pikirkan saat berada di Jembatan Palu IV sambil menatap permukaan
laut yang keruh.
Permukaan
laut yang keruh cukup luas dan itu sempat saya lihat dari jendela pesawat yang
menerbangkan saya dari Makassar ke Palu. Dari beberapa cerita kawan, kekeruhan
air berasal dari kegiatan penambangan pasir dan batu (sirtu) di hilir.
Permukaan
tanah Palu yang labil mengandung potensi pasir dan batu (sirtu). Terdapat
jutaan meter kubik sirtu yang tersebar di seluruh sungai yang mengalir di Palu,
sungai kering maupun sungai aktif. Sejak lama potensi ini dieksploitasi dan
"diekspor" atau diantarpulaukan oleh pihak swasta dan kemudian
diambil alih Pemerintah Kota Palu.
Informasi
yang saya terima, limbah penambangan sirtu yang memasuki perairan Teluk Palu
bukan lagi dari wilayah Kota Palu, melainkan dari aktivitas penambangan sirtu
di wilayah Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala.
Sayang
sekali teluk yang indah bergaris pantai 43 kilometer dengan luas perairan
10.066 hektare itu sampai tercemar limbah. Pemerintah kota setempat harus mampu
mengatasinya. ABDI PURMONO
0 Komentar