Abdul Manan (kiri) saat terpilih menjadi Ketua Umum AJI Indonesia bersama Revolusi Riza Zulverdi dalam Kongres X di Solo, 26 November 2017. Foto: ABDI PURMONO |
JAKARTA
— Peringatan
Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari dinilai sebagai salah satu tradisi
peninggalan Orde Baru di bidang pers yang masih dilaksanakan hingga kini.
Beberapa organisasi profesi jurnalis pun mengusulkan untuk merevisi tanggal
peringatan HPN tersebut.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan, usulan perubahan
tanggal HPN diajukan oleh AJI bersama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
setelah melalui dua seminar yang khusus membahas soal itu.
“Kami
menilai peringatan HPN dengan memakai tanggal lahir satu organisasi wartawan,
yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), tidaklah tepat dan kurang strategis.
Sebab, itu mengesankan HPN hanya milik organisasi wartawan itu saja. Faktor ini
juga yang membuat sejumlah organisasi enggan terlibat dalam peringatan HPN,”
kata Abdul Manan, Selasa, 17 April 2018.
Menurut
Manan, faktor lain yang tak kalah penting adalah soal pelaksanaannya. Seperti
layaknya peringatan hari besar nasional, pelaksanaannya tentu saja perlu
mencerminkan kondisi aktual dan tantangan kontemporer yang dihadapi pers
Indonesia.
Misalnya,
soal kebebasan pers yang masih terancam karena masih banyaknya Undang-undang
yang bisa memenjarakan jurnalis yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Tantangan
lainnya adalah masalah kesejahteraan jurnalis yang masih dalam taraf
memprihatinkan dan juga profesionalisme jurnalis yang masih jauh dari harapan.
Juga soal media yang masih berjibaku dengan masalah ekonominya akibat turunnya
media cetak dan belum ditemukannya model bisnis digital yang ideal.
“Sebagai
hari peringatan profesi jurnalis, seharusnya HPN membahas topik-topik yang
sedang dialami media dan jurnalis. Tapi dalam kenyataan, HPN tak banyak
membahas soal-soal penting itu,” ujar Manan.
Belum
lagi soal banyaknya organisasi yang kemudian memakai acara HPN untuk minta uang
ke pemerintah dan berbagai pihak, dengan alasan untuk ikut HPN. Perbuatan
tersebut tentu saja menodai profesi jurnalis. Sejumlah soal itulah yang
berkontribusi besar terhadap munculnya ide untuk merevisi HPN.
Rapat pembahasan
perubahan hari pers nasional
Dewan
Pers menjadwalkan rapat terbatas pada hari ini, Rabu, 18 April 2018, di Sekretariat
Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Agendanya membahas usulan perubahan
tanggal Hari Pers Nasional. Rapat terbatas tersebut mengundang seluruh
organisasi konstituen Dewan Pers.
“Dalam
rapat itu nantinya kami akan menyampaikan apa saja alasan utama kami sehingga
perlu mengusulkan perubahan tanggal peringatan HPN. Salah satunya adalah
kelemahan dari tanggal HPN yang mendasarkan pada kelahiran satu organisasi
wartawan, yaitu PWI. Selain faktor pelaksanaannya yang kami anggap kurang
mencerminkan harapan komunitas pers dari sebuah acara nasional yang diperingati
bersama. Kami juga akan sampaikan apa saja alternatif tanggalnya untuk
menggantikan HPN yang selama ini diperingati setiap tanggal 9 Februari itu,”
kata Manan.
Idealnya,
lanjut Manan, biaya pelaksanaan HPN harus ditanggung bersama. Kalau pun ada
sokongan dari pihak luar, itu bukan menjadi sumber pendanaan utama. Ke depan
perlu dipikirkan pelaksanaan HPN yang ditanggung bersama komunitas media dan
organisasi jurnalis, dan kegiatannya juga tak harus mewah sehingga memakan
biaya besar.
Manan
menegaskan, sebaiknya para pemangku HPN lebih mengutamakan substansi ketimbang
kemasannya. Lebih HPN dilaksanakan secara sederhana daripada dibikin
besar-besaran dan mewah, tapi manfaatnya kurang dan bahkan tidak dirasakan oleh
komunitas media, jurnalis, dan publik.
Tinimbang
menjadi pemborosan, lebih baik anggaran pelaksanaan HPN yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) diprioritaskan pengalokasiannya untuk memperbaiki fasilitas umum
yang belum bagus. ABDI PURMONO
0 Komentar