Foto-foto: ABDI PURMONO |
Iksan Skuter dikenal sebagai musikus balada. Tapi sebenarnya ia tak menentukan satu aliran musik karena yang terpenting seniman harus berkarya. Ia pernah jadi pekerja alih daya (outsourcing), office boy, dan tukang cat.
LEBIH
dari 5 ribu orang menyaksikan Folk Music Festival 2017 di Lapangan Kusuma
Agrowisata, Kota Batu, Jawa Timur, Sabtu, 15 Juli 2017. Penonton datang dari
banyak daerah di Indonesia.
Penonton datang dari banyak daerah di Indonesia, tapi mayoritas penonton berasal dari wilayah Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu).
Ada
14 penampil selama 14 jam durasi perhelatan yang dimulai pukul 10 pagi. Salah
satu penampil yang disambut meriah penonton adalah Mohammad Iksan alias Iksan Skuter.
“Skuter
itu Vespa butut buatan 1977 milik saya. Oleh kawan-kawan saya skuter itu
dijadikan singkatan ‘seniman kurang terkenal’ dan saya sadar diri hingga
sekarang memang enggak terkenal, ha-ha-ha...”
kata Iksan kepada saya di Warung Srawung, Selasa malam, 5 Desember 2017. Kami mengobrol sampai hari Selasa berganti Rabu.
Warung
Srawung beralamat di Jalan Parangtritis, Kelurahan Oro-oro Dowo, Kecamatan
Klojen, Kota Malang. Warung Srawung didirikan Iksan pada 2013, setelah jenuh merantau di Jakarta selama tujuh tahun.
Sebelum
menjadi solois balada, Iksan menjadi gitaris dan penulis lagu di Putih Band
sepanjang 2000-2010. Putih Band awalnya homeband
Universitas Brawijaya. Iksan dan kawan-kawan pindah ke Jakarta setelah 5 tahun
(2000-2005) berkiprah di Kota Malang. Selama di Malang mereka menghasilkan tiga
karya, yakni album kompilasi bersama band-band Malang yang berjudul Mboyl Pos
(2002), Putih Mini Album (2002), dan
album Cerita Sahabat (2003).
Debut Putih Band di Jakarta dimulai 2006. Mereka
memasuki industri musik di bawah naungan produser besar. Di tahun pertamanya
Putih Band merilis album perdana yang berjudul Apa Kabar Cinta. Pada 2008 Putih Band merilis album kedua yang
berjudul Gelombang Cinta, disusul
rilis album ketiga berjudul Yang Ketiga pada
2009. Album Yang Ketiga menjadi album
terakhir Putih Band.
Putih Band bubar pada 2010 dan setelahnya Iksan bersolo
karier hingga sekarang. Dari aliran pop, Iksan beralih genre balada meski ia sendiri tidak merasa begitu. Musikus folk atau balada umumnya berciri
idealis, independen, dan kritis baik lewat sikap keseharian maupun melalui
karya-karyanya.
Iksan sudah menghasilkan 6 album dan sedang menggarap
album ketujuh. Dari enam album dibuat, satu album berisi lagu anak-anak. Album
ketujuh yang sedang dalam proses penggarapan pun merupakan album lagu
anak-anak.
“Indonesia sedang mengalami darurat lagu anak-anak.
Anak-anak terlalu cepat dewasa sebelum waktunya. Banyak sekali anak-anak,
termasuk keponakan saya, yang lebih hafal lagu cinta-cintaan orang dewasa dan
mars sebuah partai yang sebenarnya tidak pantas buat mereka,” ujar Iksan, peraih
titel Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada 2004.
Hampir 20 tahun Iksan berkarya. Iksan mengaku sampai tak
ingat seluruh karyanya, baik saat bersama Putih Band maupun selama bersolo
karier, apabila tiada orang yang mendokumentasikannya.
Cukup banyak kontribusi Iksan buat jagat musik
Indonesia, terutama untuk aliran folk
yang minoritas. Sebagai contoh, ia sangat mendambakan Indonesia yang bebas korupsi,
makanya ia rela berunjuk rasa untuk mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan menciptakan lagu Partai Anjing.
Lagu ini masuk album kompilasi lagu-lagu antikorupsi yang dirilis Indonesia
Corruption Watch (ICW).
Kiprahnya juga jadi perhatian host Andy F. Noya sehingga Iksan diundang tampil dalam program
ternama “Kick Andy” di MetroTV. Waktu
itu temanya “Musik Perangkap Tikus”, yakni musik-musik yang mengangkat isu
korupsi.
Kendati ia menekuni genre balada, Iksan tetap berkarya di luar genre aslinya. Tidak heran karyanya jadi bejibun. Pada 2014, misalnya, Iksan membuat lagu tema (theme song) serial animasi Malaysia, Boboiboy, yang dibawakan Kotak Band.
Setahun kemudian, ia membuat original
soundtrack film Boboiboy the Movie
yang dibawakan D’Massiv. Lalu di tahun yang sama, Iksan menciptakan dua lagu
untuk album grup Musikimia, yang notabene
berisi empat personel eks-Padi Band.
“Masih banyak lagi karya saya, Mas, tapi saya tak ingat semuanya. Perlu pendokumentasian yang baik,” Iksan, bungsu dari tujuh
bersaudara, yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 30 Agustus 1981.
Iksan orang yang suka melucu, ceria dan bersemangat. Saking
bersemangatnya, ia suka memberi jawaban yang panjang-panjang atas pertanyaan pendek.
Kadang, saat menjelaskan, ia seperti sedang mendongeng. Namun, dengan begitu,
kentaralah bahwa Iksan seorang seniman tulen sekaligus seorang ayah yang berkarakter kuat.
Oh ya, satu hal pasti, Iksan seorang Pancasilais yang
sangat membenci koruptor dan politikus busuk. Dan, inilah hasil obrolan kami.
Saat mengisi acara Liberasi "Seni Merawat Indonesia Raya" di Warung Srawung, Jumat malam, 22 Desember 2017. |
Bagaimana awalnya Sampean
menjadi musikus?
Saya senang ngeband
sejak SMP dan SMA di Blora. Saya sudah tidak ingat berapa band yang pernah saya
ikuti sejak SMP hingga kuliah di Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya.
Kapan mulai serius ngeband?
Sejak mulai kuliah. Tepatnya pada 2000 saya gabung di homeband Universitas Brawijaya bernama
Putih Band. Saya gabung sampai 2010. Lalu saya bersolo karir sejak 2011 hingga
sekarang. Sudah hampir 20 tahun saya di musik. Lumayan panjang, lumayan kesel kalau diceritain, ha-ha-ha...
Sampean
seorang sarjana hukum. Kenapa memilih jalur musik ketimbang mencari pekerjaan
yang sesuai dengan titel sarjana?
Ilmu
hukum itu mencakup semua aspek. Di industri musik pun berhubungan dengan
kontrak dan legalitas. Ilmu hukum akhirnya tetap berguna bagi karier bermusik
saya.
Kenapa Sampean memutuskan total bermusik?
Karena saya tipikal manusia yang tidak bisa menjadi
buruh. Saya harus menjadi tuan atas apa pun yang saya lakukan. Kata Bung Karno,
kita harus berani berdikari.
Lalu, apa tujuan Sampean
berkesenian?
Tujuan berkesenian untuk hidup dan kehidupan itu
sendiri karena hidup itu ada bagian dari seni. Dalam berkesenian, “hidup”
ibarat bisnis. Sedangkan “kehidupan” berarti kesenian yang saya tekuni harus
berguna bagi lingkungan dan berfungsi sosial.
Alasan bersolo karier?
Saya memutuskan bersolo karir mulai 2011 karena Putih
Band vakum dari panggung musik dan dapur rekaman. Pada 2010 Putih Band bubar
setelah menghasilkan tiga album lewat label besar di Jakarta.
Selama 2006-2010 berkiprah di Jakarta, kami sangat
merasakan ketidakbebasan. Hampir segala sesuatunya diatur produser. Lirik
diatur, genre musik pun diatur.
Pokoknya kami harus jadi band yang mainstream
pop. Saat tanda tangan kontrak, saya
merasa tidak ada bedanya kami dengan buruh outsourcing,
seperti pengalaman saya dulu.
Apakah gara-gara pendiktean oleh produser itu yang membuat Putih Band tidak
kompak, muncul sikap pro-kontra di antara personel, sampai kemudian Putih Band
vakum dan bubar?
Tidak sepenuhnya faktor tersebut. Melainkan faktor
internal dan personal juga sangat berpengaruh. Detailnya tidak bagus untuk
diceritakan.
Tapi dari label tersebut saya banyak belajar manajemen
bisnis, cara menggarap produksi, belajar mengaransemen, dan hal lainnya yang
terkait dengan industri musik.
Sampean murni seorang vokalis sekaligus
gitaris?
Oh
tidak. Saya aslinya gitaris dan song writer
(penulis lagu) di Putih Band. Saya mulai jadi vokalis merangkap gitaris sejak
bersolo karier. Saya agak nekatan jadi vokalis karena suara saya enggak
bagus-bagus amat.
Tapi
alasan sebenarnya adalah saya kesulitan mendapatkan vokalis yang bisa menjiwai
lagu-lagu yang mengandung kritik sosial, kepekaan dan kepedulian terhadap
lingkungan, serta hal-hal lain yang Sampean
tanyakan tadi. Karena enggak dapat-dapat, saya tak punya pilihan lain kecuali
menjadi vokalis juga meski vokal saya agak cempreng, ha-ha-ha...
Lirik-lirik lagu seorang
Iksan dikenal mengandung kritik sosial, melawan penindasan, keprihatinan
terhadap kondisi masyarakat, dan kepedulian terhadap lingkungan dan kemanusiaan.
Ada yang berlirik lugas dan banyak pula yang bergaya satire. Apakah Sampean memang sudah begitu sejak di
Putih Band?
Putih
Band beraliran pop. Waktu itu ngangkat
isu-isu sosial lewat jelas enggak marketable.
Tapi saya pribadi juga menulis lirik-lirik lagu bertema hal-hal yang Sampean tanyakan. Teman-teman di Putih
Band tahu kebiasaan saya itu. Saya menulisnya berdasarkan apa yang saya lihat,
saya rasa, dan saya dengar. Istilahnya, waktu di Putih Band, saya sudah nabung lirik lagu dan sebagian besar
sudah jadi lagu yang saya nyanyikan sendiri.
Berapa banyak lagu
bertema alam dan lingkungan?
Sangat
banyak, Mas. Seperti Lagu Kita, Uang Tak Bisa Dimakan, Nyanyian Pagi, Rumput Berburu Tanah, Tumbuh
dan Tergesa, serta Papua Kucinta.
Saya terinspirasi dari apa yang saya lihat, saya dengar, dan rasakan langsung.
Atau
dari berbagai persoalan paling aktual dan panas. Seperti kematian Salim Kancil
di Lumajang, saya tergerak mendokumentasikan tragedi Salim Kancil lewat karya.
Punya pengalaman
pribadi yang melatari dan mempengaruhi kekritisan Sampean melalui lagu?
Banyaklah. Saya pernah jadi buruh outsourcing;
pernah jadi office boy, dan juga
pernah jadi tukang cat. Kerja-kerja ini saya lakoni pasca-lulus kuliah.
Persisnya dari awal 2004 sampai 2005 sebelum saya ke Jakarta. Khusus kerja ngecat dan kerja lainnya itu di Jakarta.
Saya benar-benar harus bekerja keras untuk hidup.
Lho, Sampean kan sudah ngeband di masa
itu...
Sudah,
memang. Tapi kerja-kerja itu nyata saya lakoni karena hidup di dunia musik tak
seperti bayangan orang-orang. Selebihnya enggak usah detail ya; banyak kalau
diceritakan ha-ha-ha...
Pastinya
pengalaman-pengalaman itu sangat berguna dan turut mempengaruhi sikap dan
kepribadian saya sekarang ini. Jadi begitulah, lagu-lagu saya buat berdasarkan
dari apa yang saya lihat, saya rasakan, dan saya dengar.
Namun,
tanpa saya sadari, di luar ekspektasi saya, apa yang saya rasa ternyata
dirasakan pula oleh banyak manusia yang tidak bisa bersuara dan punya medium
untuk menyampaikan keluh-kesahnya.
Boleh
dibilang, musik saya adalah musik curhat tentang
cinta, harapan, impian, kenyataan pahit dan kenyataan manis, dan juga
kemarahan.
Tema-tema lagu Sampean identik dengan karakteristik
musik folk atau balada. Musikus folk umumnya dikenal idealis,
independen, dan kritis. Meski folk
tidak marketable seperti yang
Sampean bilang, tapi kok justru Sampean tekuni...
Saya
sebenarnya tidak menentukan genre
atau aliran musik yang saya mainkan. Sebutan folk untuk musik saya berasal dari teman-teman dan fans saya. Ada
juga penilaian dari musisi lain.
Tapi
apalah itu, yang jelas saya sengaja mengangkat isu-isu sosial dan lingkungan
karena ingin mengembalikan fungsi musik yang sebenarnya bukan cuma untuk
menghibur dan bersenang-senang.
Dalam
sejarah kita sudah terbukti, sejak zaman Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan
Demak, seni musik juga bisa difungsikan sebagai media dakwah seperti yang
dilakukan Sunan Kalijaga dengan tembang Lir
Ilir, serta pemersatu nasionalisme seperti yang dilakukan W.R. Supratman
dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Lalu, di zaman Orde Lama dan Orde Baru, seni musik
banyak digunakan sebagai alat propaganda partai politik. Jadi, fungsi musik dan
lagu tidak hanya buat hiburan karena fungsinya bisa juga ditentukan oleh
kondisi sosial-politik di zamannya.
Saya mempelajari dan merasakan, hampir di tiap periode
sejarah, selalu saja ada tren keseragaman taste
musik. Untuk era sekarang, keseragaman musik dan lagu itu terasa banget, yang umumnya didominasi tema
cinta-cintaan yang pemaknaannya sempit hanya sebatas hubungan asmara manusia.
Padahal makna cinta sangat luas dan bersifat universal.
Saya ingin mengangkat tema-tema berbeda, tidak mainstream, agar lebih gampang dikenali
dan diingat seperti lagu-lagu Iwan Fals. Tidak seorang pun di Indonesia yang
tidak kenal Iwan Fals. Mas Iwan juga punya lagu cinta, tapi kan enggak mendayu-dayu, tidak mellow, dan enggak lebay.
Tentang genre, jadi apa
sebenarnya aliran musik yang Sampean
usung?
Saya sebenarnya makan semua genre. Sebutan folk itu penilaian
teman-teman dan pengamat musik. Jujur saja, menerima brand sebagai penyanyi folk
sangat berat karena genre folk sangat
anti-mainstream. Secara umum, folk identik dengan pemberontakan,
perlawanan, dan kegelisahan sosial.
Makanya, sebagai contoh, saya buat lagu berjudul Lagu Petani di album kelima yang saya
rilis pada 2016. Lagu ini saya dedikasikan untuk para petani Kendeng yang terus
berjuang menentang pembangunan pabrik semen di kampung mereka.
Di album itu juga ada lagu yang terilhami kisah nyata
Salim Kancil. Judulnya Kisah Kakek dan
Cucu. (Salim Kancil adalah warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian,
Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Ia menjadi korban pembunuhan pada 26
September 2015 setelah bersama beberapa kawannya menentang penambangan pasir di
desa mereka.)
Tapi Sampean sendiri sudah menentukan aliran musik lewat album Folk Populi Folk Dei. Apa tema album ini?
Iya, juga sih...
Folk Populi Folk Dei itu album kedua
yang saya dirilis pada 2013. Sedangkan album pertama saya berjudul Matahari.
Sekitar 70 persen dari album kedua berisi tentang
kecemasan saya terhadap munculnya sektarianisme, intoleransi, dan merajalelanya
korupsi. Itu tahun 2013, tapi kita bisa lihat kemudian mulai Pilpres (pemilihan presiden) 2014 yang
saya cemaskan terjadi, seperti banyaknya ujaran kebencian dan hoax yang hampir merusak kerukunan dan
toleransi beragama, hampir merusak kebinekaan kita.
Isu korupsi dalam album itu saya sampaikan lewat lagu
Hymne Koruptor. Saya pernah ikut aksi #SaveKPK di Jakarta, ya sekalian mentas. Salah satu lagu saya yang berjudul Partai Anjing ya cerita tentang korupsi
juga. Video Partai Anjing berlatar
aksi dukung KPK, tapi video itu pun bergaya satire.
Sampean sepertinya punya genre sendiri...
Genre saya adalah oseng-oseng kangkung, ha-ha-ha... Orang-orang bebas saja menyebut genre apa pun untuk musik dan lagu-lagu saya. Tapi saya perhatikan
semua genre berakar dari
“pemberontakan” untuk banyak hal dan tujuan.
Ketika semua industri musik mengarah ke metroseksual,
saya mengarah ke “agroseksual”, ke lingkungan dan manusia. Awalnya dari
kegelisahan personal, lalu jadi kegelisahan yang kompleks yang menyangkut
banyak aspek dan perspektif. Kita harus menyelamatkan lingkungan sebagai
ekosistem yang besar demi menghormati harkat manusia dan kemanusiaan, demi masa
depan Bumi, demi generasi pelanjut.
Lewat lirik lagu saya ingin berpesan hal-hal semacam
itu kepada para pendengar dan pemerintah. Tapi sebenarnya saya tidak pernah
mengkritik siapa pun. Saya hanya merekam dan menyuarakan apa yang saya lihat,
saya dengar, dan saya rasa. Kalaupun dianggap mengkritik, ya terserah saja dan
semoga itu baik bagi kita semua. Itu juga sebagai bentuk kecintaan saya kepada
Indonesia.
Oseng-oseng kangkung... Bercanda atau serius?
Itu hanya sebuah istilah karena saya tidak mau
dipusingkan urusan genre. Tugas
seniman berkarya. Apa pun bentuknya, itu tetaplah karya; karya yang merupakan
anak kandung seniman dari proses.
Lagi pula, istilah genre
di Indonesia terlalu didominasi istilah bule
sehingga kurang familiar di telinga, makanya saya bikin saja genre oseng-oseng kangkung. Bukan karena
saya sangat menggemarinya, tapi gampang diingat saja, ha-ha-ha...
Sudah berapa album solo karier yang Sampean
buat dan apakah album pertama Sampean
bertema kritik sosial dan lingkungan?
Ada 6 album yang saya buat sejak 2012. Enam album itu
berisi kurang-lebih 80 lagu. Dari enam album, ada satu album lagu anak-anak
yang berjudul Kecil Itu Indah. Album
lagu bocah ini berisi 8 lagu.
Album pertama berjudul Rumput Berburu Tanah (2012). Album ini intinya tentang perebutan
lahan di Jakarta. Sebagai kiasan, coba bayangkan, jangankan manusia,
kucing-kucing saja sudah kesulitan untuk boker
karena tanah-tanah sudah disemen.
Sekarang saya sedang persiapan merilis album ketujuh,
yakni album lagu anak-anak. Saya targetkan bisa dirilis pada Februari tahun
depan dengan judul Kecil Itu Indah Volume
2.
(Dalam album lagu-lagu anak Volume 2 itu terdapat 9 lagu: Anak
Indonesia, Desaku, Doa untuk Ayah, Anak Rajin dan Pintar, Baca
Buku, Hati-hati di Jalan Raya, Nanti Tuhan Marah, Terima Kasih Petani, dan Waktunya
Tidur.)
Menarik sekali. Kenapa Sampean
membuat album lagu buat anak-anak?
Lagu anak-anak sangat minim di negeri kita. Album lagu
anak-anak pertama yang saya buat dilatari kegelisahan saya bahwa negeri kita
sedang mengalami darurat lagu anak. Sungguh memprihatinkan saat mendapati kids zaman now lebih hafal lagu-lagu orang dewasa yang temanya
didominasi cinta-cintaan melulu. Mereka belum waktunya untuk nyanyi begituan.
Album lagu anak-anak yang kedua saya buat setelah saya
mendengarkan seorang keponakan saya lebih hafal lagu mars sebuah partai politik
ketimbang lagu-lagu nasional dan lagu-lagu anak. Selain itu, saya masih sering
menjumpai anak-anak yang menyanyikan lagu cinta-cintaan. Anak-anak sekarang
terlalu cepat dewasa sebelum waktunya. Imajinasi mereka hampir sepenuhnya
dikuasai imajinasi orang dewasa.
Semua lagu Sampean sendiri yang
ciptakan?
Iya. Saya masih punya stok lirik lagu yang dulu saya
tabung saat masih bersama Putih Band. Ada yang masih sebatas lirik dan ada pula
yang sudah diberi aransemen nada meski harus disempurnakan lagi.
Apa saja temanya?
Tentang lingkungan. Karya saya yang berjudul Lagu Petani berdasarkan pemikiran bahwa
saya ini seorang ayah dengan satu anak. Saya ingat leluhur saya berpesan kepada
orangtua saya supaya mewariskan hal-hal yang sangat bermanfaat bagi generasi
pelanjut.
Sebagai gambaran, Malang 10 tahun ke depan jadi
seperti Bandung dan Bogor. Bandung dan Bogor 10 tahun ke depan jadi seperti
Jakarta. Jakarta 10 tahun ke depan mungkin sudah jadi seperti Mars yang
gersang. Lalu anak-cucu kita nanti mau dapat apa?
Manusia terlalu serakah hingga tidak bisa mewariskan
apa pun untuk generasi penerus. Hal-hal semacam ini yang bagi saya harus
diangkat. Kita harus menyelamatkan lingkungan sebagai ekosistem yang besar.
Kita harus mengkritisi regulasi-regulasi yang kontroversial dan merugikan
lingkungan. Banyak regulasi yang berdampak destruktif terhadap lingkungan dan
manusia, bahkan sampai jatuh korban manusia seperti Salim Kancil.
Saya kasih contoh yang terdekat. Tiap kali hujan deras
turun, di jalanan dekat warung saya ini pasti air menggenang cukup tinggi,
sudah banjir. Pasti ada yang salah, entah di regulasinya atau orang-orang yang
harusnya melaksanakan regulasi dengan amanah.
Contoh lainnya adalah Hutan Kota Malabar. Hutan ini merupakan hutan kota terakhir di Kota Malang yang hendak dipermak sebagai taman kota. Padahal, Hutan Kota Malabar simbol ekologi terakhir Kota Malang yang berdiri di atas gunung sehingga harus dipertahankan.
Secara teori dan teknis, menurut saya dan kawan-kawan, konsep dan hakikat hutan dan taman kota itu berbeda banget. Kami protes, jangan sampai simbol terakhir ekologi itu dihancurkan. Tapi ada media lokal yang terkesan mengopinikan protes kami sebagai sikap menantang dan menentang pembangunan. Lebay betul beritanya sehingga kami membuat selebaran Suar Malabar untuk menyajikan sikap objektif kami.
Padahal, sesungguhnya kami tidak menentang
pembangunannya karena hal itu keniscayaan; pembangunan pasti terjadi. Tapi
pembangunan itu prosesnya harus transparan dan partisipatif; desainnya harus
berperspektif lingkungan. Yang terjadi awalnya kan tidak begitu.
Saya menonton beberapa video klip Sampean di kanal Youtube. Semua buatan Sampean?
Tidak semua. Beberapa video klip yang justru dibuatkan
oleh fans. Gratis. Contohnya lagu Doakan
Ayah (Oktober 2016). Saya enggak ingat berapa jumlahnya, tapi yang jelas
fans begitu sangat membantu. Saya tidak menyangka cukup banyak fans saya yang
militan, agak fanatik begitu.
Cerita dong proses kreatif Sampean
dalam berkarya...
Saya lebih banyak mendapatkan ide berkarya saat jalan
kaki ke mana saja dan terutama saat saya naik Vespa butut kepunyaan saya. Itu
Vespa buatan 1977. Pokoknya, ide-ide itu justru muncul saat saya tidak pegang
alat musik. Kebanyakan ide itu saya simpan atau rekam di kepala.
Berapa lama tiap lagu saya buat, ya tidak tentu. Saya
seorang seniman, terkadang cepat-tidaknya penciptaan satu lagu tergantung mood. Tapi minimal dalam satu tahun saya
harus bisa melahirkan satu album.
Salah satu contohnya lagu berjudul Doa di Mana-mana (2005). Kalau didengar
dan diperhatikan liriknya, Sampean
bisa mengerti maksud saya bahwa doa itu memang ada di mana-mana; bahwa berdoa
pun bisa dilakukan di mana saja, tidak harus selalu dilakukan di tempat ibadah,
dan dapat dilakukan dalam kondisi apa pun. Siapa pun boleh berdoa dengan
caranya sendiri.
Di setiap kaki tukang becak mengayuh rejeki
Itu doa, ada doa
Di setiap lengan-lengan kuli-kuli bangunan
Itu doa, ada doa
Di setiap bahu-bahu kekar buruh memanggul
Itu doa, ada doa
Di balik merahnya gincu dan gelapnya prostitusi
Ada doa, ada doa
Doa itu di mana-mana
Ada di kolong selokan
Ada di balik jamban
Ada di setiap nafasnya pengangguran
Jangan mengajari orang miskin berdoa
Jangan mengajari preman-preman jalanan berdoa
Doa itu di mana-mana
Ada di balik penjara
Ada di setiap tetes air mata
Ada di setiap nafasnya manusia
Doa-doa mengisi alam semesta
Ada di hutan-hutan rimba
Ada di letusan gunung
Ada di gemuruh badai yang menggila
Berapa lama waktu untuk membuat satu karya?
Tidak tentu, Mas. Saya seorang seniman, terkadang
cepat-tidaknya penciptaan satu lagu tergantung mood. Tapi mood bukan
satu-satunya alasan untuk berkarya. Minimal dalam satu tahun saya harus bisa
melahirkan satu album.
Saya harus punya target. Saya bukan jenis seniman yang
baru bisa berkarya kalau mood-nya
sedang bagus maupun kalau sudah dapat wangsit atau ilham. Sekarang saya sedang
mempersiapkan satu album lagu anak-anak seperti yang saya ceritakan tadi.
Selain Iwan Fals, siapa saja tokoh atau musisi yang ikut mempengaruhi Sampean dalam bersikap dan berkarya?
Sawung Jabo, Franky Sahilatua, Leo Kristi, Gesang
(Martohartono), dan Slamet Abdul Sjukur. Kalau Jabo, Franky, Leo, dan Slamet, Sampean sudah tahulah siapa mereka.
Tapi mungkin Sampean heran kenapa
saya pun menyebut Gesang sebagai salah satu inspirator. Saya mengagumi
vitalitasnya sebagai seniman. Energinya luar biasa. Meski sudah sepuh, ia masih
berkarya meski lagu-lagunya “aman-aman” saja.
Dari luar Indonesia, saya mengidolakan Woody Guthrie
(musisi legendaris lagu-lagu rakyat Amerika Serikat) karena lagunya This Land is Your Land. Pengaruh Woody tidak hanya di negaranya, tapi
juga menginspirasi gerakan keadilan sosial di banyak negara.
Selain Woody, saya menyukai Bob Dylan, dan John Lennon, juga menggandrungi Bob Marley. Bob Marley seorang seniman yang sangat istimewa
karena mampu mendamaikan dua kubu yang bertikai di Jamaika. Bahkan, lagu
ciptaan Bob yang berjudul Zimbabwe
dijadikan lagu kebangsaan oleh rakyat Zimbabwe.
Hebatnya lagi, selain bisa mendamaikan negaranya pada
1978, di tahun yang sama lagu ciptaannya turut mempengaruhi gerakan kemerdekaan
negara lain, yakni Zimbabwe merdeka dari jajahan Inggris. Bob Marley dan reggae masih dikenang hingga sekarang.
Karena saya mengagumi Bob Marley, maka ada juga lagu saya yang bergaya reggae, seperti Berburu Tanah.
Indonesia juga punya dua karya yang begitu monumental
dan berpengaruh hingga sekarang, yaitu lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan
W.R. Supratman dan lagu mars gerakan mahasiswa Darah Juang (ciptaan John Tobing). Lagu Darah Juang sudah jadi lagu ikonik reformasi dan sudah seperti jadi lagu
wajib yang dinyanyikan mahasiswa, terutama oleh mahasiswa yang sedang berunjuk
rasa.
Apakah pernah merasa terancam atau diancam akibat kekritisan Sampean?
Tidak pernah. Toh saya sebenarnya tidak mengkritik
siapa pun. Seperti saya sampaikan tadi, saya hanya menyampaikan apa yang saya
lihat, saya rasa, dan saya dengar lewat lagu. Kalau saya dianggap getol
mengkritik, itu terserah pada persepsi masing-masing; orang bebas menilainya.
Tapi saya punya pengalaman manggung yang bikin saya gelisah. Suatu saat saya tampil di JCC
(Jakarta Convention Center) tahun 2013. Saya mainkan lagu Partai Anjing. Lagu ini
masuk album kompilasi lagu antikorupsi yang dirilis ICW.
Pas bagian refrain,
semua penonton bernyanyi dan meneriakkan kata “anjing”, sedangkan saya diam
sambil tetap main gitar. Saat itu saya merasa gimana ya, syerrr...
agak-agak gelisah gimana, tapi tetap
senang juga karena ternyata lagu itu tetap mendapat apresiasi yang besar.
Paling-paling saya kena kritik. Misalnya, saya pernah
dikritik menjual kemiskinan. Padahal itu fakta yang saya saksikan. Intinya,
seperti saya katakan tadi, saya hanya menceritakan apa yang saya lihat, saya
dengar, dan saya rasakan. Kemiskinan itu nyata, ada di mana-mana.
Dari mana ide pembuatan lagu Partai Anjing?
Saya
serap dari obrolan di warung-warung kopi dan di banyak tempat saya nongkrong.
Tiap kali ada berita korupsi di koran atau televisi, respons orang-orang hampir
selalu bilang, “Asu wong iki” (anjing
orang ini). Responnya terkesan kasar, tapi itulah ekspresi orang-orang yang
sudah geram pada korupsi. Karena bahasa sopan sudah tidak mempan.
Saat
itu saya berpikir bahwa seniman memang tidak harus selalu bercerita tentang
cinta dan keindahan, tapi ia juga harus mau merespons keadaan dan lingkungan
demi kehidupan dan kemanusiaan yang lebih baik. Karena korupsi merupakan
kejahatan luar biasa, makanya saya buatkan lagu Partai Anjing.
Aku punya ide bikin partai baru
Namanya partai anjing
Namanya partai anjing
Logo gambar partai garis segilima
Tengahnya gambar anjing
Tengahnya gambar anjing
Punya program kerja korupsi terang-terangan
Yang tak mau korupsi jangan masuk partai kami
Yang tak mau korupsi jangan masuk partai kami
Kuasai suara di dewan rakyat yang terhormat
Korupsi yang banyak biar modal balik lagi anjing anjing anjing juga
Korupsi yang banyak biar modal balik lagi anjing anjing anjing juga
Orang-orang brengsek suka makan duit rakyat
Masuk ke partai anjing
Yang suka korupsi dan pandai mengumbar janji
Bergabung ke partai anjing anjing anjing juga
Masuk ke partai anjing
Yang suka korupsi dan pandai mengumbar janji
Bergabung ke partai anjing anjing anjing juga
Punya tujuan mulia menjual aset negara
Merekrut anggota yang rakus seperti hhuukk hhhukk
Merekrut anggota yang tak malu tak punya muka
Karena semua anggotanya harus keturunan anjing
Merekrut anggota yang rakus seperti hhuukk hhhukk
Merekrut anggota yang tak malu tak punya muka
Karena semua anggotanya harus keturunan anjing
Orang-orang jujur singkirkan perlahan-lahan kerjanya
partai anjing
Habisin anggaran pajak dari uang rakyat biar kaya partai anjing
Main perempuan dan yang suka jalan-jalan merapat ke partai anjing
Bikin undang-undang biar rakyat kebingungan
Habisin anggaran pajak dari uang rakyat biar kaya partai anjing
Main perempuan dan yang suka jalan-jalan merapat ke partai anjing
Bikin undang-undang biar rakyat kebingungan
Sampean cukup lama bermusik di Jakarta.
Kenapa kembali ke Malang bila di Jakarta lebih prospektif buat karir bermusik?
Kompetisi di Jakarta sangatlah kuat, tekanan hidup
yang tinggi. Dan saya pikir, di zaman yang serba cepat dan terbuka, serta
modern seperti sekarang, untuk berkarir di dunia musik tak harus ke Jakarta. Di
Malang saya merasa lebih bebas dan mandiri berkarya. Saya menikmati berkarya di
jalur indie.
Karena ingin bebas dan mandiri berkarya pula yang mendorong Sampean beralih dari pembuatan single ke album? Seberapa penting arti album bagi Sampean?
Saya punya tiga alasan beralih ke album. Pertama,
album itu sebagai bukti dokumentasi karya. Di era modern sekarang membuat album
itu tidak sulit. Saya bisa manfaatkan peranti lunak iTune untuk berpromosi dan
berjualan di Amazon. Atau saya bisa pasarkan lewat website pribadi maupun lewat media sosial lainnya. Dengan itu
semua, minimal karya saya bisa jadi warisan buat anakku.
Kedua, saya merasa lebih gampang merekam dan
mengampanyekan ide, gagasan, dan impian saya dalam bentuk album.
Saya memproduksi dan memasarkan karya-karya saya
secara indie, dari kata independen.
Kalau mengutip kata Bung Karno, indie
bisa berarti berdikari atau mandiri. Dengan indie,
berarti seorang musisi harus bisa menjadi tuan atas karya-karyanya sendiri.
Selama ini banyak seniman justru jadi buruh atas karya yang dibuatnya.
Padahal karya itu anak kandung seniman, maka saya
harus jadi bapak yang baik untuk anak-anak saya. Kalau tidak menempuh jalur
independen, itu seperti menitipkan anak di panti asuhan atau malah bisa jadi
seperti anak yang tidak diinginkan. Kalau tidak pakai jalur independen, saya
seperti orang tua yang tidak bertanggung jawab.
Ketiga, dengan membuat album, saya telah membuktikan
diri sebagai pelaku industri kreatif yang membuka lowongan kerja. Proses
pembuatan album melibatkan banyak orang dari hulu ke hilir, berbeda saat saya
menggarap single. Membuat album lebih
sulit daripada menggarap single.
Alasan ingin mandiri pula yang mendorong Sampean mendirikan Warung Srawung? Warung ini bisa menjadi salah
satu kantong kebudayaan di Malang.
Basic-nya, saya suka ngopi,
suka nongkrong. Akhirnya terpikir
untuk membuat warung kopi sendiri pada 2014, enggak lama setelah hijrah dari
Jakarta. Di Srawung ini kami membuat komunitas musik bernama Sanak Kadang yang
berkedudukan di Kota Malang.
Selain bisa ngopi
sendiri, Warung Srawung bisa saya jadikan titik temu dalam bertukar atau berbagi ide, membentuk
jaringan, dan apa pun yang berkaitan dengan aktivitas saya.
Di Warung Srawung saya bisa secara bebas dan fokus
membahasakan atau mengekspresikan pengalaman-pengalaman batin saya untuk
dijadikan sebuah karya. Warung ini rumah sekaligus kantor bagi saya. Di sini
saya bebas berkarya, nongkrong, dan
berkontemplasi, dan lain-lain.
Kalau bahasa Sampean
tadi, ya semoga Warung Srawung bisa menjadi salah satu kantong kebudayaan di
Malang.
Selain itu, Warung Srawung juga merupakan upaya
diversifikasi usaha saya agar tetap eksis dan berkembang maju; untuk
mengekspresikan hasrat dan cita-cita.
Saya sudah membuat beberapa usaha, ya bisa dibahasakan
sebagai “Srawung Group”, yakni Srawung Media yang berfungsi sebagai media online; Srawung Record untuk perekaman
lagu; Srawung Store untuk tempat jualan compact
disk dan merchandise (barang dagangan)
lainnya; Visualectica, ini semacam usaha penyewaan dan pembuatan karya berbasis
fotografi dan video; Srawung Sound untuk penyewaan perangkat sound system buatan lokal.
Untuk Srawung Record, misalnya, tahun depan kami mau
rilis band Remissa. Personelnya dari beberapa daerah. Tahun depan saya mau
bikin Srawung Event yang bergerak di bidang event
organizer atau EO (penyelenggara acara).
Banyak juga bidang kerjaan yang Sampean
garap di Srawung...
Saya sekalian menerapkan kemampuan saya sebagai penyanyi,
penulis lagu, komposer, arranger
musik, dan gitaris. Saya sedang menerapkan ilmu manajemen industri musik
yang saya dapat selama di Jakarta.
Ada bentuk usaha lain yang Sampean
lakukan seperti mendirikan Srawung?
Sebelum mendirikan Warung Srawung, saya lebih dulu
mendirikan sekolah musik nonprofit di Depok, Jawa Barat. Sekolahnya bernama
Institut Musik Jalanan (IMJ).
IMJ saya buat berdasarkan kegelisahan saya atas fakta
bahwa karya-karya musisi jalanan tidak dapat panggung di dunia hiburan. IMJ juga sebagai
bentuk perlawanan terhadap personal
branding di industri hiburan bahwa seniman atau artis harus cantik dan
ganteng. Industri hiburan di Indonesia itu sangat “main fisik”, beda misalnya
di Amerika. Di sana bukan fisiknya yang utama, tapi otak dan kemampuan
senimannya yang terpenting.
Melalui
IMJ saya dan kawan-kawan mengajari recording,
merekam lagu-lagu mereka sampai diproduksi dalam bentuk CD (cakram padat) dan
dijual. Musisi jalanan juga harus belajar meningkatkan personal branding lewat karya-karya bermutu.
Ujung-ujungnya,
lewat IMJ, dengan personal branding
yang berkualitas, mereka bisa berhenti menjual karya-karya orang lain, berhenti
jadi marketing atas karya-karya orang
lain yang mereka mainkan. Sebaliknya, mereka harus mau dan mampu menjual atau
melakukan marketing karya-karya
sendiri.
Ketika
nanti mereka mampu mandiri, mereka diharapkan sangat responsif terhadap
lingkungan di sekitar mereka, responsif terhadap bahaya korupsi, peka terhadap
kemiskinan, dan lainnya. Yang jelas lagi, mereka bisa merdeka dari tema
cinta-cintaan yang mainstream melulu.
Kerja keras Sampean mulai berbuah manis. Sampean makin dikenal, terbukti dengan banyaknya penggemar atau pengikut Sampean di media sosial seperti Instagram.
Ha-ha-ha... Ya, lumayanlah buat
jual suara pas pilkada. Enggak, saya guyon saja, Mas. Enggaklah, saya belum
terkenal. Yang mengikuti saya itu hanyalah orang-orang khilaf ha-ha-ha...
(Hingga
wawancara ini ditulis, pengikut atau follower Iksan Skuter di Instagram berjumlah
20 ribu orang, dan akun Twitter-nya diikuti hampir 4 ribu orang).
Tahun 2018 dan 2019
merupakan tahun politik. Adakah pihak-pihak yang mendekati Sampean untuk kepentingan ekonomi-politik mereka?
Memang
ada pihak yang mendekati saya, tapi saya tolak secara halus. Sekali saja saya
ikut mereka, bisa habislah karier saya karena masyarakat takkan percaya pada
saya lagi. Ini karena kondisi dan citra politik kita masih dipenuhi kekotoran.
Tapi
bukan berarti saya anti-politik. Seniman harus paham politik, tapi jangan
sampai main politik praktis, misalnya jadi anggota partai politik. Seniman harus
tetap netral.
Terakhir, nama asli Sampean adalah Mohammad Iksan. Dari
mana ceritanya punya nama panggung Iksan Skuter?
Ha-ha-ha.... Nama panggung saya
itu berasal dari kawan-kawan saya. Secara berguyon mereka bilang ke saya bahwa
saya ini kan seniman kurang terkenal
dan suka pakai Vespa butut warna abu-abu. Nah, Vespa biasa disebut skuter. Lalu
kawan saya buatkan singkatan dari nama skuter menjadi seniman kurang terkenal...
Dan,
nama Iksan Skuter itu rasanya cocok banget
dengan karakter dan hobi, serta status kesenimanan saya. Saya sadar betul kok
kalau sampai sekarang saya kurang dan bahkan belum terkenal. Saya kalahlah sama
para selebs yang suka muncul di
televisi dan media sosial.
Penampilan Sampean
khas dengan kaus oblong, gitar kopong, ditambah topi hijau bergambar satu
bintang merah ala topi kelas pekerja di Cina dan Vietnam.
Sekarang eranya orang
gampang paranoid. Enggak khawatir disebut kekiri-kirian atau dituding sebagai orang
komunis hanya gara-gara pakai topi model begitu?
Ha-ha-ha... Enggaklah, topi itu hanyalah
ikonik saya. Cuma buat fesyen saja. Selebihnya, saya tetaplah Pancasilais
sejati, tetap Merah Putih bendera kebangsaanku, dan tetaplah Indonesia Raya
lagu kebangsaan saya.
Beberapa
lagu saya ciptakan karena kerinduan dan kecintaan saya pada negeri kita yang
kaya raya ini. Coba Sampean dengarkan lagu Shankara yang saya
rilis tahun 2016. ABDI PURMONO
Dari kanan ke kiri: Iksan Skuter bersama Kristanto Budi Prabowo (Presidium Gusdurian Jawa Timur) dan Andy Shafik (produser dan penulis naskah film Wage) saat mengisi acara Liberasi. |
0 Komentar