Seekor kucing besar yang diduga antara harimau jawa atau macan tutul terekam kamera jebakan di dalam Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Provinsi Banten, yang dirilis Balai TNUK pada 25 Agustus 2017. |
Status punah perlu ditinjau ulang untuk kemudian semua pemangku kepentingan bekerja sama demi masa depan harimau jawa dan perbaikan kondisi hutan-hutan di Pulau Jawa.
PARA aktivis lingkungan yang tergabung dalam Tim Pembela dan Pencari Fakta
Harimau Jawa (TPPFHJ) meyakini harimau jawa belum punah. Opini bahwa kucing
besar bernama ilmiah Panthera tigris sondaica itu telah punah merupakan opini yang pesimistis dan justru mengancam eksistensi harimau jawa.
Foto
kemunculan seekor kucing besar yang mengarah pada sosok macan tutul (Panthera pardus) yang dirilis Taman
Nasional Ujung Kulon (TNUK) pada 25 Agustus 2017 sebaiknya disikapi positif
bahwa foto tersebut bisa jadi petunjuk sekaligus harapan besar terkait
keberadaan harimau jawa.
“Kita
jangan gampang bersikap pasrah dan menyerah terkait lodaya (nama lokal bahasa Sunda untuk harimau jawa),” kata Sofyan,
aktivis yang aktif di Badan Pekerja Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang juga
pegiat TPPFHJ, kepada saya, Sabtu, 30 September 2017.
Menurut
Sofyan, kendati telah dinyatakan punah oleh International Union for
Conservation of Nature (IUCN) pada 1973, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) pada 1989, dan World Wildlife Fund (WWF) pada 1996, serta beberapa
peneliti hewan karnivora besar, tidak harus serta-merta menyurutkan optimisme untuk mengetahui keberadaan harimau jawa. Apalagi sudah cukup banyak data dan informasi yang mengindikasikan masih hidupnya harimau jawa.
Sikap
optimistik itu mengemuka dalam acara talkshow “Mendialogkan Kembali Harimau Jawa dan Masa Depan Hutan
Jawa” yang diadakan di Kedai Jatam, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jakarta,
Jumat, 29 September 2017.
Dalam
acara yang sama, peneliti harimau jawa Didik Raharyono menyampaikan, sebaran
habitat macan loreng—sebutan karib dari
masyarakat tepian hutan Jawa untuk harimau jawa—bukan hanya di Taman Nasional
Merubetiri, tempat terakhir harimau jawa terlihat, tapi juga di banyak hutan lainnya
di Pulau Jawa.
Sejak
1997 Didik melakukan pengumpulan data dan informasi harimau jawa secara
terstruktur. Pengumpulan data dan informasi harimau jawa diawali dengan ekspedisi
Pendidikan Lingkungan untuk Kelompok Pecinta Alam (PL Kapal). Didik dan
kawan-kawan tidak hanya menunggu, tapi juga menjemput informasi dari berbagai
sumber.
Menelusuri
hutan-hutan, memasang kamera penjebak, mengumpulkan bukti, sampai mendengarkan
dengan tekun aneka cerita dan kesaksian orang-orang menjadi bagian dari proses
panjang untuk membuktikan keberadaan sang raja hutan Jawa. Semua data dan
informasi tersebut terdokumentasi dengan apik; mulai dari feses, gip jejak kaki, bulu/rambut, kulit,
taring, kuku, maupun foto-foto cakaran serta rangkaian kalimat dari pelbagai
sumber.
“Kita
selama ini terkungkung, terjebak dalam opini punah, di mana opini punah ini
menyebabkan semua data, informasi, dan bukti yang kami kumpulkan dan mengarah
pada keberadaan harimau jawa hanya dianggap sebagai rumor, sebagai sebuah
kemustahilan dan sering dikaitkan dengan klenik,” kata Didik.
Menurut
Direktur Peduli Karnivor Jawa itu, berbagai argumentasi kerap dikeluarkan beberapa
“ilmuwan yang pesimistis” untuk menepis bukti-bukti yang ia ajukan tanpa mau
berusaha melakukan penelitian ilmiah lebih lanjut terhadap keberadaan sruni atau lareng, sebutan lain harimau jawa. Mereka justru tidak berani saat
ditantang untuk membuat pernyataan terbuka mengenai kepunahan si macan gembong.
Para
aktivis yang berswadaya mengumpulkan dan menyajikan informasi keberadaan
harimau jawa kerap mendapat respons negatif berupa argumentasi yang
menyudutkan dan menganggap hasil kerja mereka tidak pernah ada alias percuma.
Didik
menuturkan, “Setiap infomasi tentang harimau jawa dari mana pun datangnya
sangatlah berharga. Masyarakat pinggiran hutan jelas memiliki pengetahuan lebih
dalam membedakan spesies. Apalagi para pemburu. Mereka bisa membedakan spesies
didasarkan atas harga, demikian juga si pembeli. Enggak mungkin penjual atau
pembeli bertransaksi dengan barang yang salah.”
Pernyataan
Didik tadi mengonfirmasi beragam informasi keberadaan harimau jawa di banyak
tempat. Sebagai contoh, pada 2012 ia memperoleh tentang seorang pemburu yang mendapatkan
harimau jawa di Jawa Timur, serta informasi penangkapan harimau jawa pada 2014.
Untuk
membuktikan masih ada-tidaknya harimau jawa tidak melulu harus mengandalkan
foto. Berbagai temuan yang ada sekarang sudah lebih dari cukup untuk dijadikan
dasar analisis. Selain meneliti rambut lewat tes asam deoksiribosa nukleat alias
deoxyribonucleic acid (DNA), analisis
dapat juga dilakukan terhadap jejak kaki yang ukurannya mengarah pada harimau
jawa, yakni besar jejak melebihi 14x16 sentimeter, atau bekas cakaran berukuran
lebih dari 180 sentimeter pada pohon di hutan dengan ketinggian hingga dua
meter dari permukaan tanah.
Sumber: Didik Raharyono |
Didik
mencontohkan salah satu foto bekas cakaran harimau jawa di hutan Merubetiri tahun
1997, dengan ketinggian hingga 2 meter dari permukaan tanah. Foto ini dianggap
Didik paling detail sebagai penunjuk bekas aktivitas harimau jawa. Hingga sekarang
belum ada pihak yang berani menyanggah bekas cakaran itu milik harimau jawa.
“Belum
ada yang berani menyanggahnya karena mereka tidak mau menelitinya. Padahal hasil
penelitian sudah pernah kami serahkan kepada beberapa otoritas keilmuan,” ujar
Didik.
Dari
perjalanan panjang yang dilakukan TPPFHJ diketahui keberadaan harimau jawa
teridentifikasi di hutan-hutan Jawa Barat (Ciamis, Gunung Ciremai, Garut
Selatan, dan Tasikmalaya), Jawa Tengah (Gunung Slamet, Pegunungan Dieng-Banjarnegara,
Blora), serta Jawa Timur (Gunung Lawu, Gunung Semeru, Bojonegoro, Gunung
Argopuro, Gunung Raung, Merubetiri, dan Alas Purwo).
Didik
menekankan, hal utama dalam melindungi dan menyelamatkan harimau jawa adalah
menghilangkan asumsi punah. Apabila penilaian subjektif ini ada di kepala
pemegang kebijakan atau orang-orang yang berwenang, maka bisa menghambat upaya
pihak-pihak yang ingin membuktikan keberadaan harimau jawa seperti kesulitan
mengakses data dan informasi yang diperlukan dari pihak pemegang kebijakan dan
wewenang tersebut.
Karena
itu, pengerahan tim TNUK untuk melacak keberadaan harimau jawa sangat
patut diapresiasi sebagai langkah awal untuk dikembangkan ke wilayah-wilayah
lain yang terindentifikasi menjadi habitat harimau jawa. Upaya ini pun didukung Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sebagai
top predator, keberadaan harimau jawa
dapat menentukan keberlanjutan hutan-hutan di Pulau Jawa. Kondisi hutan-hutan saat
ini mengalami tekanan degradasi yang luar biasa. Hutan Gunung Slamet, misalnya,
sekarang mengalami tekanan akibat pembangunan pembangkit listrik tenaga panas
bumi atau geotermal. Pembukaan hutan untuk pembangunan energi bersih seolah
melegalkan perusakan dan mengabaikan dampak buruk yang bisa ditimbulkan, mulai
mengganggu fungsi hidrologi sampai risiko terjadinya bencana hidrometeorologi
seperti banjir dan longsor, serta terganggunya habitat harimau jawa.
Hasil
penelitian yang dilakukan Didik dipublikasikan melalui laman Peduli Karnivor Jawa dan dijabarkan dalam buku Berkawan Harimau Bersama Alam yang diterbitkan Komunitas Pecinta
Alam Pemerhati Lingkungan (Kappala) Indonesia dan The Gibbon Foundation pada
2002.
Siti
Maimunah, salah seorang peserta Ekspedisi Harimau Jawa 1997, juga mengingatkan kondisi
Taman Nasional Meruberitiri yang saat ini mengalami gangguan eksploitasi
tambang emas. Status punah bagi harimau jawa bisa saja jadi salah satu
alasan menurunkan status kawasan hutan untuk kemudian melegalkan aktivitas penambangan yang
merusak fungsing-fungsi ekologis kawasan.
Pada
akhirnya, seperti dikatakan Melir dari Lingkar Yogyakarta, peserta talkshow sepaham bahwa harimau jawa
masih ada. Bukti-bukti yang disampaikan Didik Raharyono kian menguatkan keyakinan
itu. Mereka sangat berharap bisa bahu-membahu dengan para pemangku kepentingan sesuai
dengan keahlian masing-masing untuk bersama-sama berupaya melindungi dan
menyelamatkan harimau jawa dan habitatnya.
Sehubungan
dengan keyakinan itu, mereka meminta status kepunahan harimau jawa ditinjau
ulang. Opini punah justru mengancam keberadaan harimau jawa lantaran membuat publik,
terutama para pemangku kepentingan, bisa bersikap tidak peduli atau apatis dan pasif.
Kata
Sofyan, keyakinan itu akan mereka tindaklanjuti dengan melakukan talkshow serupa di Yogyakarta pada 8
Oktober nanti, serta diagendakan bisa digelar di Surabaya, Malang, dan Jember. Setelah
itu baru dilakukan ekspedisi pencarian harimau jawa di TNUK pada akhir Desember
tahun ini bersama para aktivis pecinta alam, seperti ekspedisi yang dilakukan
di Merubetiri pada 1997 dan Gunung Slamet pada 1999.
“Doakan,
Mas, semua rencana itu berjalan lancar. Yang terpenting nantinya publik paham
dulu untuk kemudian tetap optimistik bahwa harimau jawa belum punah,” ujar
Sofyan. ABDI PURMONO
5 Komentar
Desas desus adanya harimau jawa di sekitar TNBTS juga belum terbukti ya Pak Abel?
BalasTerima kasih @Wawa Yasaruna sudah mau mampir. Ya, mari sama-sama berharap dan berdoa, semoga harimau jawa di sekitar TNBTS itu bukan desas-desus.
BalasAaminnn
BalasBelum punah.
Balaspernah dengar cerita harimau jawa di kaki gunung salak yng ada kaitan mistisnya ?
Balas