Kegiatan Sastra Purnana untuk mengenang 13 tahun wafatnya pejuang HAM Munir Said Thalib. Foto: ABDI PURMONO |
MALANG
— Puluhan aktivis mahasiswa yang tergabung dalam beberapa lembaga mengikuti
acara orasi dan kesusastraan untuk mengenang dan menghayati perjuangan pejuang
hak asasi manusia Munir Said Thalib alias Munir yang wafat karena diracun pada
7 September 2004.
Acara
tersebut dihelat di Lantai 3 Kafe Literasi Oase, Kelurahan Merjosari, Kecamatan
Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, Selasa malam, 5 September 2017. Acara bertajuk
Sastra Purnama Edisi Munir itu dimulai pukul 20.00 dan berakhir pada pukul 23.00
WIB.
Selain
dari Malang kota dan kabupaten, peserta berasal Kota Batu, Pasuruan, Blitar, Surabaya, Probolinggo, Tulungagung, dan
Jember. Peserta juga berasal dari beberapa perguruan tinggi di Malang, seperti
Universitas Brawijaya, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim,
Universitas Muhammadiyah Malang, dan Universitas Islam Malang.
Menurut
Al Muiz Liddinillah, salah seorang aktivis Gusdurian, penyelenggaraan acara Sastra
Purnama digagas oleh komunitas Gubuk Tulis dan Sabda Perubahan, Malang. Sastra
Purnama diagendakan untuk menjadi poros perkumpulan umat manusia dan
mengembalikan peran sastra itu sendiri. Sengaja diadakan saat kemunculan bulan
purnama supaya sajak-sajak yang dilantunkan bisa lebih bernyawa, bisa
menggerakkan hati dan pikiran umat manusia.
Penyelenggaraan
Sastra Purnama bermisikan untuk membumikan sastra di tengah kekacauan politik
sekarang ini, di saat Indonesia terancam mengalami ketidakharmonisan dalam
berbangsa dan bernegara yang ditandai dengan aksi-aksi radikalisme dan
merajalelanya hoaks alias kabar dusta. Sastra harus bisa bermanfaat bagi
manusia dan kemanusiaan.
“Sastra
merupakan produk kebudayaan yang harus bisa menjawab tantangan kemanusiaan. Di
edisi kedua ini kami ingin mengambil spirit perjuangan Munir bagi penegakkan
nilai-nilai kemanusia atau HAM. Munir harus tetap dikenang untuk merefleksikan
kondisi kehidupan kita yang makin kompleks,” kata Muiz.
Dosen
sekaligus pengamat sosial-politik dari Universitas Brawijaya, Haris El Mahdi, menyebut
Munir sebagai seorang pejuang HAM yang juga mencintai seni sastra. Dari obrolan
dengan Suciwati, kata Haris, dirinya mengetahui bahwa Munir memiliki sejumlah
puisi yang, seingat Haris, bertema perlawanan terhadap penindasan dan
ketidakadilan. Puisi Munir mengingatkan ungkapan yang disampaikan oleh Presiden
John F. Kennedy bahwa jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya; jika
politik bengkok, sastra akan meluruskannya.
Puisi
karya Munir beberapa kali dipublikasikan oleh Suciwati di akun Facebook. “Kalau
Mbak Suci sudah pasang puisi Cak Munir di Facebook, itu tandanya Mbak Suci
sedang kangen pada Cak Munir,” kata Haris.
Haris
pernah mengusulkan kepada Suciwati dan beberapa sahabat Munir supaya
menerbitkan puisi-puisi karya Munir maupun karya sastra yang mungkin pernah
dibuat Munir supaya dimensi maupun sisi-sisi humanisme seorang Munir makin
diketahui secara luas.
“Munir
juga hampir selalu membawa Mbak Suci di tiap acara yang diikuti Mas Munir. Saya
kira, kepribadian Munir sebagai suami dan ayah perlu juga dipublikasikan agar
jadi teladan bagi kita semua,” kata Haris.
Acara
Sastra Purnama Edisi Munir diisi pembacaan dan musikalisasi puisi, pembacaan
cerita pendek, permainan musik oleh Petika Romantik dengan lagu-lagu Efek Rumah
Kaca, testimoni tentang Munir, serta doa lintas-agama (Islam, Katolik, dan
Buddha) untuk Munir. ABDI PURMONO
Catatan:
Artikel serupa dipublikasikan oleh Tempo.co dengan judul Para Aktivis Mahasiswa Mengenang Munir Melalui Sastra, Rabu, 6 September 2017, pukul 21.51 WIB.
2 Komentar
Kalau mampir ke Malang, aku pengen ke rumah Munir, mas
BalasTerima kaish tulisannya
@Rach Alidah Bahaweres: ya, silakan, tapi sampai sekarang belum sempat ke sana ya termasuk pas hadiri wisuda di UB. Semoga terwujud...
Balas