Berfoto bersama Ketua Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo, Sabtu, 5 Agustus 2017. Foto: SYOFIARDI BACHYUL |
Wartawan Indonesia juga membutuhkan sebuah kode perilaku yang berlaku secara nasional bagi semua wartawan seperti halnya Kode Etik Jurnalistik yang lebih dulu diberlakukan Dewan Pers sejak Maret 2006.
SENYUM Suwarjono terlihat lebar. Terkandung
lega di sana.
“Sangat
sukses sekali,” jawab saya sengaja menambah kata yang tak efektif untuk
melegakan hatinya.
Suwarjono
pantas saya berikan hiburan laporan yang mengurangi bebannya. Kenapa tidak,
sebentar lagi ia akan menghadapi acara yang besar: Malam Resepsi 23 Tahun AJI
di Aryaduta, Jakarta, 7 Agustus.
Tetapi
setelah saya menyaksikan acara resepsi itu, semuanya berjalan sempurna.
Acaranya luar biasa. Tak ada basa-basi yang tak perlu. Pemerintah yang berkuasa
dikritik. Para intoleran dikritik. Orang-orang yang menerima penghargaan adalah
orang-orang biasa yang pantas. Menteri hadir tanpa berpidato. Karlina Leksono
Supelli tampil memukau mengorasikan Menolak
Intoleransi, Merawat Indonesia, Tantangan bagi Media dengan kata-kata
bercahaya.
Suwarjono
gembira karena acara kami, “Pertemuan Nasional Majelis Etik AJI” yang
berlangsung dua hari di Hotel Ibis Senen, Jakarta Pusat, 5-7 Agustus 2017,
berlangsung lancar. “Singa-singa kota” seperti Insany Syahbarwaty, Abdi Purmono, Maimun Saleh, dan Ochan Sangadji yang dikhawatirkan bisa
menimbulkan kerepotan, ternyata memperkuat misi.
Misi itu
adalah menyempurnakan draf “Kode Perilaku Anggota AJI”. Draf ini mesti segera
dibawa ke Kongres AJI X di Surakarta, 24-25 November 2017 untuk disahkan. Kalau
drafnya enggak rampung, apa yang akan dibahas dan disahkan?
Apalagi
draf Kode Perilaku ini sudah memasuki draf kedua. Draf pertama telah melewati
lima focus group discussion atau FGD wilayah
(region), Sumatera, Jakarta-Jawa
Barat-Kalimantan Barat, Jawa Tengah-Jawa Timur-Kalimantan Timur, dan
Sulawesi-Maluku, dan Bali-Nusa Tenggara-Papua. Terakhir FGD tingkat nasional di
Pekanbaru. Hasilnya banyak bagian draf yang tidak disepakati dan akhirnya
ditulis ulang.
Terlepas dari
agenda draf Kode Perilaku, “Pertemuan Nasional Majelis Etik AJI” sendiri adalah
tonggak sejarah bagi AJI. AJI sudah berusia 23 tahun sejak dideklarasikan—Deklarasi
Sirnagalih—oleh Goenawan Mohamad bersama 55 jurnalis lainnya pada 7 Agustus
1994. Kini AJI memiliki 37 AJI kota.
Pengurus
AJI Indonesia (nasional) dilengkapi Majelis Etik (5 anggota). AJI kota juga
memiliki perangkat Majelis Etik (tiap kota 3 orang). Tugas Majelis Etik adalah
mengawasi dan menangani kasus etik profesi anggota sebagai jurnalis yang kini
jumlahnya hampir 2 ribu orang.
Tapi,
uniknya, Majelis Etik tak lebih hanya sebagai pelengkap tanpa kegiatan. Meski
ada juga berfungsi ketika ada kasus, itupun satu-dua.
Jadi
pertemuan di Ibis Senen dua minggu lalu itu adalah sejarah, karena pertama kali
ada pertemuan khusus untuk Majelis Etik AJI. Acaranya tingkat nasional lagi,
yang bisa menghadirkan hampir semua wakil majelis etik AJI kota, meski hanya
satu orang per kota.
Suasana diskusi Pertemuan Nasional Majelis Etik AJI. Foto: INSANY SYAHBARWATY |
PERTEMUAN Majelis Etik di Hotel Ibis Senen telah melahirkan satu langkah pemahaman
bahwa semua Majelis Etik AJI kota dan Majelis Etik AJI Indonesia harus bisa
bekerja efektif melakukan pengawasan dan penegakan etik anggota AJI
sehari-hari.
Ada dua
instrumennya yang sedang dalam proses penyempurnaan. Pertama adalah Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengawasan dan
Penanganan Kasus Pelanggaran Kode Etik Anggota AJI. Ini sudah dijadikan aturan
dan pertemuan telah menghasilan masukan berharga untuk perbaikan.
Kedua adalah draf Kode Perilaku. Kode Perilaku
akan dijadikan rujukan etika dan perilaku bersama Kode Etik Anggota AJI. Kode
Perilaku telah dirancang untuk bisa memperlihatkan seperti apa sosok jurnalis
AJI yang selama ini mengkampanyekan dirinya sebagai “jurnalis independen”, “memperjuangkan
kebenaran melalui karya jurnalistik”, “menjaga kebebasan pers”, “menjunjung
tinggi nilai-nilai demokrasi”, “toleransi”, “memberikan perhatian lebih kepada
isu ketidakadilan, dan sebagainya.
“Wartawan
Indonesia juga butuh Kode Perilaku. Kalau bisa AJI melahirkan Kode Perilaku
yang bisa kita pakai secara umum dan nanti tinggal kita bahas dan sahkan di
Dewan Pers,” kata Ketua Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo saat hadir memberikan
pandangan tentang sinergi penegakan etik antara Majelis Etik di organisasi
wartawan dengan Dewan Pers di awal pertemuan.
Tawaran
Stanley sangat menantang. Tapi selama dua hari pertemuan, kami masih fokus
melahirkan Kode Perilaku untuk anggota AJI.
Mulai
periode ini hingga ke depan, AJI akan fokus memfungsikan lembaga Majelis Etik.
Namun tentu saja kehadirannya tidak ingin menambah tekanan, mungkin derita,
kepada jurnalis anggota AJI.
Kita
tahu kondisi pers di Indonesia akhir-akhir ini memasuki masa pancaroba,
panas-dingin, yang berdampak pada kesejahteraan jurnalis. Media cetak mulai
berguguran dan media online lebih
banyak mencari arah bisnis.
Ignatius Haryanto yang juga Majelis
Etik AJI Jakarta membahas kondisi ini dalam satu sesi. Kondisi pers kini,
sedikit-banyak, berdampak pada penerapan etika jurnalis.
Tapi, kami
optimistis dalam kondisi apa pun jurnalis harus melakukan praktek sesuai etika.
Jurnalis telah diberikan kewenangan secara hukum untuk menggunakan kebebasan
mencari dan menyampaikan informasi kepada publik. Dan publik harus mendapatkan
jaminan bahwa kebebasan itu digunakan sesuai etika.
Mudah-mudahan
ini langkah yang baik. ***
Catatan: Tulisan ini ditulis oleh Anggota Majelis Etik AJI Indonesia Syofiardi Bachyul di laman Facebook-nya pada Selasa, 22 Agustus 2017.
0 Komentar