Anggrek Gastrodia bambu yang ditemukan LIPI. Foto-foto: DESTARIO METUSALA |
Gastrodia bambu merupakan anggrek endemik Pulau Jawa yang populasinya di alam sangat terbatas dan keberadaannya pun terancam punah karena habitatnya mengalami degradasi.
MALANG — Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Balai Konservasi Tumbuhan (BKT) Kebun Raya Purwodadi Destario Metusala mempublikasikan
temuan spesies baru anggrek holomikotropik.
Deskripsi taksonomi spesies baru anggrek bernama ilmiah Gastrodia bambu itu dipublikasikan Destario bersama Jatna Supriatna, peneliti biologi konservasi Universitas Indonesia, di jurnal ilmiah internasional Phytotaxa edisi 18 Agustus 2017 dengan judul “Gastrodia bambu (Orchidaceae: Epidendroideae, A New Species from Java, Indonesia”.
Penemuan Gastrodia bambu sekaligus menjadi kado bagi LIPI yang berulang tahun ke-50 pada 23 Agustus lalu.
Destario mengatakan, Gastrodia bambu pertama kali ditemukan di Turgo, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Yogyakarta, persisnya di lereng selatan Gunung Merapi, pada awal 2016. Sedangkan spesies serupa ditemukan di kawasan Gunung Pangrango, Jawa Barat, pada awal 2017.
Deskripsi taksonomi spesies baru anggrek bernama ilmiah Gastrodia bambu itu dipublikasikan Destario bersama Jatna Supriatna, peneliti biologi konservasi Universitas Indonesia, di jurnal ilmiah internasional Phytotaxa edisi 18 Agustus 2017 dengan judul “Gastrodia bambu (Orchidaceae: Epidendroideae, A New Species from Java, Indonesia”.
Penemuan Gastrodia bambu sekaligus menjadi kado bagi LIPI yang berulang tahun ke-50 pada 23 Agustus lalu.
Destario mengatakan, Gastrodia bambu pertama kali ditemukan di Turgo, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Yogyakarta, persisnya di lereng selatan Gunung Merapi, pada awal 2016. Sedangkan spesies serupa ditemukan di kawasan Gunung Pangrango, Jawa Barat, pada awal 2017.
“Berdasarkan catatan rekaman populasinya, spesies Gastrodia bambu merupakan
anggrek endemik di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Barat
dan Yogyakarta,” kata Destario kepada saya melalui aplikasi percakapan WhatsApp, Minggu, 27
Agustus 2017.
Ia menjelaskan, Gastrodia
bambu
termasuk dalam kelompok anggrek holomikotropik. Para peneliti anggrek di luar negeri acap menyebut kelompok anggrek holomikotropik sebagai anggrek hantu (ghost orchid). Penyebutan ini merujuk pada kemunculannya yang seringkali tidak terduga
dan tanpa memiliki organ daun (fase vegetatif).
Anggrek holomikotropik merupakan tumbuhan yang tidak
berklorofil sehingga tidak dapat berfotosintesis, namun tidak bersifat parasit.
Cara hidup seperti itu membuat Gastrodia
bambu menggantungkan seluruh daur hidupnya pada suplai nutrisi organik
melalui simbiosis dengan jamur mikoriza.
Umumnya, kata mahasiswa doktoral Departemen Biologi Universitas Indonesia itu, kemunculan anggrek holomikotropik berumur pendek
dalam satu tahun, antara dua sampai empat minggu. Perbungaannya secara
tiba-tiba akan muncul dari permukaan tanah atau serasah. Perbungaan akan layu
membusuk dan lenyap setelah 1-2 minggu kemudian.
Kombinasi warna bunga genus Gastrodia pun tidak pernah mencolok. Umumnya Gastrodia bambu berwarna putih,
kekuningan, hingga kecokelatan. Spesies baru ini terkesan angker terlebih
karena menyukai habitat yang gelap, lembap, dan selalu berdekatan dengan rumpun
bambu lebat yang sudah uzur.
Gastrodia bambu diduga
memerlukan kondisi ekologi yang sangat spesifik dan sensitif terhadap perubahan
lingkungan. Anggrek ini sangat peka terhadap kekeringan, intensitas cahaya
berlebih, dan juga perubahan pada media tumbuhnya. Gangguan pada habitatnya, seperti pembukaan
rumpun bambu, diduga akan berdampak terhadap perubahan kelembapan, intensitas
cahaya, dan juga sifat biologi pada media tumbuhnya, sehingga dapat mengganggu
pertumbuhan populasi anggrek Gastoria bambu.
“Karena sifat sensitifitasnya
yang tinggi, maka kelompok anggrek holomikotropik merupakan objek yang menarik
untuk diobservasi kerentanannya sebagai bagian dari komunitas
anggrek tropis terhadap dampak perubahan iklim,” kata Destario, yang di Kebun
Raya Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, dikenal sebagai peneliti spesialis botani, agronomi, dan
taksonomi anggrek.
Gastrodia bambu memiliki bunga berbentuk lonceng yang berukuran panjang antara 1,7 sampai 2 sentimeter dan lebar antara 1,4 sampai 1,6 sentimeter. Bunga didominasi
warna cokelat gelap dengan bagian bibir bunga berbentuk
mata tombak memanjang bercorak jingga. Pada satu perbungaan dapat menghasilkan
hingga 8 kuntum bunga yang mekarnya bergantian. Gastrodia bambu mengeluarkan aroma busuk
untuk menarik serangga polinator alias serangga penyerbuk. Perbungaan muncul
dari tanah berserasah di bawah rumpun-rumpun bambu tua pada ketinggian 800-900
di atas permukaan laut.
Lantaran berhabitat spesifik dekat rumpun-rumpun bambu
itulah maka spesies anggrek itu diberi nama belakang bambu.
Populasi Gastrodia bambu di alam sangat terbatas dan malah sedang menghadapi tekanan
degradasi habitat yang tinggi. Degradasi habitat terjadi seturut pengambilan rumpun-rumpun bambu oleh
masyarakat untuk dijadikan sebagai bahan bangunan. Habitatnya di kawasan Gunung
Merapi sejauh ini baru diketahui pada rumpun-rumpun bambu di tegalan milik
masyarakat yang berdekatan dengan batas terluar Taman Nasional Gunung Merapi.
Berbeda dengan tumbuhan anggrek umumnya, hingga sekarang spesies
Gastrodia bambu dan kebanyakan
anggrek holomikotropik lainnya belum dapat dibudidayakan maupun ditumbuhkan di
luar habitas aslinya.
“Hal itu menjadi misteri sekaligus tantangan utama dalam
upaya konservasinya,” ujar Destrio, alumni Jurusan Agronomi Universitas
Pembangunan “Veteran” Yogyakarta. “Penelitian terkait dengan kemampuan adaptasi
spesies ini dalam menghadapi perubahan iklim global masih terus kami lakukan
melalui analisis anatomi dan fisiologi.”
Kata Rio, panggilan karib Destario Metusala, penelitian Gastrodia bambu sejalan dengan prioritas
riset BKT Kebun Raya Purwodadi maupun indigenous
studies di Universitas Indonesia untuk mendukung penelitian dan konservasi
keanekaragaman hayati (biodiversitas), khususnya spesies endemik di Tanah Air. Karena
itu diperlukan peningkatkan kerja sama antara BKT dan
Universitas Indonesia dalam bidang konservasi biodiversitas.
Publikasi spesies baru itu juga tidak lepas dari
kontribusi organisasi kemahasiswaan Canopy, Departemen Biologi Universitas
Indonesia, dan BiOSC, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Canopy dan
BiOSC berperan besar membantu proses pengamatan habitat dan pencatatan record populasi. ABDI PURMONO
Artikel serupa diedit dan dipublikasikan oleh Tempo.co dengan judul Ilmuwan LIPI Temukan Spesies Baru Anggrek Hantu, Senin, 28 Agustus 2017, pukul 18.04 WIB.
Artikel Terkait:
Artikel Terkait:
1 Komentar
anggrek hantu??
Balashehehhee lucu namanya
semoga hantuya suka ya, namanya dijadikan nama anggrek
Dija baru tau, ada anggrek tapi gak punya daun