Ilustrasi jurnalisme investigasi dalam film Spotlight (2015). Sumber: Google |
Jurnalisme investigasi bertujuan membongkar kejahatan dan menunjuk pelakunya.
ISTILAH investigasi
sering serampangan dipakai oleh media massa terlebih oleh koran atau majalah
yang terbit di daerah. Merujuk pengalaman, pemaikaian istilah investigasi lebih
ditujukan untuk mendongkrak gengsi dan reputasi, atau malah untuk gagah-gagahan
belaka.
Padahal liputan penyelidikan (investigative reporting) tidak segampang
itu. Dalam praktiknya terbukti liputan penyelidikan lebih berat ketimbang
rata-rata pekerjaan jurnalisme sehari-hari lantaran wartawan investigasi tidak
bekerja berdasarkan agenda peliputan reguler.
Ambil contoh laporan panjang yang dilakukan
koran terbitan Surabaya dan Malang. Harian Surya
edisi Jumat, 3 Oktober 2003, menurunkan laporan panjang di rubrik Malang Raya
yang berjudul Warga Batu sulit air di
gelimang sumber air—penulisan judul asli demikian. Surya mewartakan kesulitan warga Kota Batu mendapatkan air justru
di daerah yang sebenarnya memiliki sumber air melimpah. Memang sebuah ironi.
Ini kenyataan yang menyerupai kiasan “bagai ayam semaput di lumbung padi.”
Dalam pengantarnya redaksi Surya menyebutnya laporan investigasi
oleh M. Taufiq Zuhdi, wartawan gres.
Penabalan istilah investigasi untuk laporan itu tidak tepat.
Sebenarnya Surya sudah mempunyai rubrik Liputan Khusus yang terbit hampir
saban hari. Temanya beragam, namun kebanyakan berhubungan dengan isu-isu
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kalau tak salah ingat, koran Malang Post juga sempat melakukan hal
serupa selama tahun 2002, yang dimuat di halaman 2. Diberi nama “News Indepth”
(perhatikan ejaannya). Malang Post
mencoba menyoroti berbagai persoalan yang dinilai aktual dan faktual dalam
tulisan sepanjang setengah bahkan pernah satu halaman. Lepas dari kualitas
penulisannya, isu yang diangkat Malang
Post lumayan menarik.
Antara lain, isu penyeragaman batik yang
diwajibkan bagi setiap sekolah dasar (Sabtu, 7/9); rebutan aset antara
Pemerintah Kabupaten Malang dan Pemerintah Kota Batu (Jumat, 13/9); relokasi
pedagang buku di Jalan Majapahit alias Blok M (Senin, 23/9 dan Selasa, 31/12);
televisi lokal (Senin, 30/9), serta maraknya peristiwa pencurian kendaraan
bermotor (Senin, 7/10).
Lepas dari kualitasnya, apa yang dilakukan Surya dan Malang Post lebih cocok disebut indepth
reporting. Artinya, berita yang dibuat tidak benar-benar menyajikan
penelusuran dan penyelidikan wartawan, melainkan semata mengungkap,
mengorganisasikan, dan menganalisis fakta-fakta yang telah diketahui banyak
orang dan tidak dirahasiakan lagi.
Yang membedakan investigative reporting dari indepth
reporting adalah motif dan tujuan peliputan. Pada investigative reporting, seorang atau lebih wartawan memutuskan
untuk melakukan liputan investigasi lantaran mengendus adanya pelanggaran atau
penyelewenangan yang merugikan kemaslahatan masyarakat, namun sengaja hendak
ditutup-tutupi, serta ketidakberesan ini memang dianggap layak dan penting
untuk diketahui masyarakat.
Mantan pemimpin redaksi majalah Tempo, Goenawan Mohamad, menyebut investigative reporting sebagai
jurnalisme “membongkar kejahatan”. Jurnalis yang baik, akan mencoba mempelajari
dokumen-dokumen bersangkutan dan membongkar tindak kejahatan di belakangnya.
Majalah Tempo sendiri sudah
menambahkan rubrik Investigasi setelah terbit kembali pada 6 Oktober 1998.
Adanya pelanggaran hukum bukan menjadi unsur
utama dalam indepth reporting.
Tujuan indepth reporting lebih
terfokus untuk mengangkat suatu masalah secara mendalam, seperti masalah anak
jalanan, pengangguran, dan nasib petani yang tak kunjung ceria. Indepth reporting biasanya disajikan
dalam bentuk feature dalam satu
tulisan atau lebih, sebagaimana dicontohkan Kompas
lewat rubrik Fokus.
Investigative
reporting bermula dari suatu anggapan atau kecurigaan
bahwa something is wrong, that someone
has done something wrong, yang biasanya bersumber dari informasi rahasia
atau berdasarkan pengamatan seorang reporter yang jeli. Sedangkan indepth reporting umumnya berasal dari
suatu diskusi rapat redaksi yang memutuskan untuk menulis suatu laporan yang
mendalam dan utuh mengenai suatu hal supaya dapat dimengerti secara lebih
objektif.
Liputan penyelidikan terlanjur identik dengan
pembongkaran kasus-kasus besar, semisal korupsi miliaran rupiah, skandal tokoh
sekelasa menteri dan presiden, serta sindikat narkotika. Padahal, sebenarnya
jurnalisme investigasi juga bisa diterapkan untuk hal-hal yang tidak terlalu
besar tapi penting dan terlebih bila menyangkut kepentingan publik yang sengaja
dirahasiakan.
Ada tujuh tahapan yang diperlukan dalam
melakukan investigative reporting.
Pertama, smelling
a story. Seorang wartawan patut curiga dan mencium adanya ketidakberesan
yang pantas diketahui publik. Setelah itu penentuan subjek; apa memang layak
diselidiki, apakah menyangkut kepentingan umum, seberapa besar magnitude-nya, menarik perhatian
masyarakat atau tidak, bagaimana feasibility-nya,
serta apakah didukung atasan—karena menyangkut dukungan dana, waktu, dukungan
moral, penyediaan tempat (space) buat
tulisan hasil investigasi. Dalam tahap ini perlu pemastian apakah liputan itu
mau dikerjakan oleh perseorangan atau tim. Biasanya laporan investigasi
merupakan hasil kerja tim. Apabila dikerjakan tim, lazimnya ditentukan
pembagian tugas dan wewenang, serta penanggung jawab (project officer).
Tahap berikutnya adalah perencanaan (planning), mencakup semua aspek yang
mungkin timbul. Lebih baik didahului dengan diskusi maupun adu pendapat (brainstorming). Jika oke, maka dibuatlah
outline. Outline merupakan kerangka dari apa yang akan diselediki, diawali
dengan suatu hipotesis atau asumsi dasar dari persoalan yang dipilih. Hipotesis
sangatlah penting untuk membantu wartawan memfokuskan dirinya dalam suatu
investigasi. Pun dalam outline
disebutkan rencana pembagian tulisan. Misalnya apakah perlu pembuatan sidebars atau boks untuk memudahkan
penulisan dan sekaligus memudahkan pembaca, disertai uraian singkat rencana isi
masing-masing bagian.
Outline
hendaknya disertai rencana waktu pengerjaan serta
penentuan narasumber, termasuk narasumber cadangan jika sumber utama gagal
diperoleh. Jika investigasi dikerjakan keroyokan, maka dalam outline diuraikan secara jelas pembagian
kerjanya.
Berikutnya melakukan riset kepustakaan dan
riset lapangan. Riset sebenarnya sudah bisa dilakukan sebelum perencanaan.
Riset amat diperlukan agar selain membantu menguasai permasalahan, seorang
wartawan terbantu mengetahui dan memilah mana sumber primer, mana sumber
skunder. Riset juga akan memperkaya hasil laporan dengan data-data yang
diperlukan, bisa bersumber dari kepustakaan, klipingan, atau dari internet.
Setelah semuanya mantap, baru turun ke
lapangan. Sekalipun sudah menguasai permasalahan, seorang wartawan tidak bisa becus bekerja jika tidak menguasai keterampilan jurnalistik—news gathering dan news writing—termasuk teknik wawancara dan menembus narasumber.
Yang selalu perlu diingat, sang wartawan
harus terus-menerus melakukan melakukan check,
double check, dan triple check terhadap informasi dan data
yang diperoleh di lapangan. Barulah setelah semua informasi tergali, tinggal
menulis. Tulisan mesti otoritatif, objektif, nonpartisan, fair, impartial, serta
tentu saja yang manusiawi dan enak dibaca.
Untuk mempermudah seorang investigator dalam
mengatur sistematika pekerjaannya, Direktur Philippines Center for
Investigative Journalism, Shella Coronel, membagi proses investigasi ke dalam
dua kali tujuh bagian. Bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan
dasar. Sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian
investigasi.
Bagian pertama terdiri: petunjuk awal (first lead), investigasi pendahuluan (initial investigation), pembentukan
hipotesis (forming an investigative
hypothesis), pencarian dan pendalaman literatur (literature search), wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli (interviewing experts), penjejakan
dokumen-dokumen (finding a paper trail),
serta wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi (interviewing key informants and sources).
Bagian kedua terdiri: pengamatan langsung di
lapangan (first hand observation),
pengorganisasian file (organizing files), wawancara lebih
lanjut (more interview), analisis dan
pengorganisasian data (analyzing and
organizing data), penulisan (writing),
pengecekan fakta (fact checking),
pengecekan pencemaran nama baik (libel
check).
Begitupun, secara umum ada beberapa teknik
yang biasa dipakai seorang investigator. Pertama, riset dan reportase yang mendalam
dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan
hipotesis.
Kedua, pencarian jejak dokumen (paper trail) yang berupa upaya pelacakan
dokumen publik maupun pribadi untuk mencari kebenaran-kebenaran untuk mendukung
hipotesis. Ketiga, wawancara yang mendalam dengan pihak-pihak yang terkait
dengan investigasi baik para pemain langsung maupun mereka yang bisa memberikan
background terhadap topik
investigasi.
Keempat, pemakaian metode penyelidikan polisi
dan peralatan anti-kriminalitas, termasuk melakukan penyamaran (undercover). Sedangkan alat-alat bisa
termasuk kamera tersembunyi atau perekam. Kelima, pembongkaran informasi yang
tidak diketahui publik maupun informasi yang sengaja disembunyikan.
Jelaslah, investigative
reporting itu njelimet banget.
Teori dan praktik sama-sama merepotkan sehingga dibutuhkan orang-orang pilihan, bukan tipe manusia memble, untuk dipercaya
menjadi wartawan investigasi.
Wartawan investigasi harus siap fisik dan
mental. Betapa besar tantangan dan risiko yang harus diterima dan dihadapi
wartawan investigasi; berbeda dengan wartawan yang biasa mengerjakan laporan
reguler. Wartawan penyelidik lebih sering menjadi target ancaman, jebakan,
pelecehan, penipuan, dan tuntutan pencemaran nama baik. Belum lagi ancaman diputus
pacar, bosan, rusaknya perkawinan, lama membujang, frustrasi, rekan kerja yang sirik, bos yang rewel, redaktur yang
penakut, dan macam-macam.
Asyiknya, disadari atau tidak, dalam bekerja,
seorang wartawan investigasi bisa mirip seorang peneliti, atau hakim atau
detektif, atau seorang filsuf, sekaligus.
CATATAN
Disampaikan dalam Pendidikan dan Latihan
Jurnalistik Tingkat Dasar se-Malang yang diadakan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa
(UKPM) Universitas Merdeka, Malang, Kamis, 9 Oktober 2003.
0 Komentar