Ilustrasi:
Seorang umat Hindu di Singapura, dengan pipih dan tubuh tertembus paku baja, menjalani prosesi Thaipusam, 21 Januari 2000. (Sumber: Time)
|
Konflik Hindu: Perselisihan umat Buddha belum usai, terdengar kabar umat Hindu terlibat bentrok di Sumatera. Gara-gara ritual yang menyiksa tubuh.
DALAM keadaan kesurupan (trance), sejumlah lelaki Tamil mencucuk (menusuk) tubuh, wajah, dan lidah mereka dengan besi. Darah pun mengalir. Lalu, masih dengan bertelanjang dada, mereka berjalan di atas bara sembari mengucapkan doa-doa.
Jangan
salah. Ini bukan pertunjukkan debus. Ini adalah cara penganut Hindu tadi
melaksanakan ritual Timeri dalam upacara Aadhi
Tiruvisha di Kuil Sri Mariyamman di Desa Bulucina, Deli Serdang, Sumatera
Utara, Ahad pekan lalu.
Namun
suasana khidmat tak berlangsung lama. Tiba-tiba datang sekelompok orang pria
pimpinan Naransami dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sumatera Utara.
Mereka minta acara itu dihentikan. “Kegiatan menyiksa diri semacam itu bukan
bagian dari ritual agama Hindu,” tegas Naransami, Sekretaris PHDI Sumut.
Permintaan
itu ditolak oleh Forum Komunikasi Umat Hindu (FKUH) Sumatera Utara, penyelenggara
ritual tersebut. Terjadilah perdebatan sengit berbuntut bentrok. Keadaan pun
gaduh. Untung pihak keamanan cepat bertindak, dan keadaan dapat segera diatasi.
Pihak
FKUH juga sewot bila ritual Timeri itu dibilang kegiatan penyiksaan diri.
Menurut sekretarisnya, Thina Thayalan, acara ritual itu merupakan tradisi dalam
agama Hindu sejak ribuan tahun lalu. Ritual itu dimaksudkan sebagai syukuran
atas limpahan rahmat atau sebagai ungkapan terima kasih setelah permintaan
(nazar) seseorang dikabulkan Tuhan. “Jadi ritual itu bukan penyiksaan diri dan
bukan sadistis,” katanya.
Kegiatan
Timeri, menurut Thina, dilaksanakan sekali setahun, yaitu tiap penanggalan Aadhi Masem yang biasanya jatuh sekitar
Juli atau Agustus. Artinya, tidak dilakukan di sembarang waktu.
Syarat-syaratnya juga berat. Seseorang yang hendak mengikuti ritual ini harus
berpuasa 41 hari. Selama itu ia tidak boleh makan makanan berbau amis dan
dianjurkan makan sayuran. Bagi yang telah menikah juga dilarang bercampur
dengan istrinya. Setelah berpuasa seperti itu, barulah seseorang bisa mengikuti
prosesi Aadhi Tiruvisha.
Dalam
mengikuti upacara ritual tersebut, sebagai perlindungan dari hal-hal gaib,
tangan peserta dipasangi gelang berupa kunyit yang telah dikeringkan, dan
mereka mengenakan pakaian warna kuning. Peserta dan pengunjung tidak boleh
memakai alas kaki. Bila itu sudah dipenuhi, prosesi dimulai dari pinggir
sungai. Peserta dimandikan dan disyarati dengan mantra sampai kesurupan.
Ilustrasi: Festival Berjalan di atas bara api oleh umat Hindu di Singapura. (Sumber: The Straits Times). |
Sebetulnya,
upacara seperti itu sudah berlangsung sejak 1970-an. Namun karena dinilai
banyak penyimpangan di dalamnya, pada 6 Januari 1976 Dirjen Bimas Hindu dan
Buddha mengeluarkan surat edaran pelarangan penyelenggaraan upacara tersebut.
Aturan itu diperkuat lagi dengan Surat Keputusan Menteri Agama 10 April 1979,
yang melarang upacara Timeri atau pijak api, salah satu bagian dari Aadhi Tiruvisha. Dan sejak itu pula,
kegiatan menyiksa tubuh itu hilang sama sekali.
Bagi
kalangan FKUH, yang percaya bahwa ritual itu sebagai bagian dari ajaran Hindu,
pelarangan itu dianggap sebagai pengekangan. Apalagi di masa Orde Baru
pemerintah hanya mengakui PHDI. Makanya, begitu era reformasi bergulir, FKUH
kembali didirikan, termasuk penyelenggaraan ritual Timeri itu.
“PHDI
arogan dengan memaksakan kehendak lewat intimidasi segala macam. Padahal Menag
Malik Fadjar sendiri sudah mengatakan bahwa agama sudah harus dikembalikan
kepada pemeluknya,” tutur Thina berapologi.
Namun
pihak PHDI tetap merasa benar dengan pelarangan itu. Menurut Ketua PHDI Sumut
Shri Ramlu, ajaran Hindu mengajarkan bahwa pelaksanaan upacara keagamaan harus
berdasarkan nilai-nilai etika-moral. Yang paling pokok dalam Hindu adalah
kebenaran (satya), kebajikan (dharma), kasih sayang (prema), kedamaian (shanti), dan hidup tanpa kekerasan (ahimsa).
Oleh
karena itu, praktek Timeri jelas bertentangan dengan nilai etika-moral Hindu. “Jika
tetap dipaksakan, Timeri justru akan menodai upacara Mahapuja,” katanya.
Meski
begitu, pihak PHDI sebenarnya membolehkan Timeri dilaksanakan seperti halnya debus,
barongsai, asal diselenggarakan di tempat terbuka, bukan di kuil dan ada izin dari
PHDI selaku majelis tertinggi agama Hindu. “Kalau demikian, mereka kita perbolehkan,
asal praktek itu tidak dikait-kaitkan dengan upacara keagamaan Hindu seperti yang
selama ini mereka lakukan,” tegas Naransami. ■ NASRULLAH ALIEF, ABDI PURMONO (DELI SERDANG)
0 Komentar