Dakwah Salafi: Gerakan ini ingin menghidupkan kembali ajaran salafi dengan segala atributnya. Satu gerakan pemurnian yang sangat ketat, mirip dengan wahabi.
SEKITAR seribuan orang bergamis berkumpul di
lapangan Masjid Salafi, Medan, Ahad pekan lalu. Mereka datang dari Medan,
Pematang Siantar, Asahan, Langkat, dan Langsa (Aceh Timur). Dengan khusyuk
mereka bertadarus sambil menggelar pengajian bertajuk “Dakwah Salaf, Dakwahnya
Para Ulama Ahli Hadis.”
Pemandangan seperti itu kini ramai muncul di
Medan menandai semangat jamaah dakwah salafi, yang ingin kembali menghidupkan
ajaran-ajaran ulama salaf atau ulama terdahulu. Ini dilakukan karena ajaran-ajaran
ulama salaf banyak ditinggalkan.
“Umat nyaris tak lagi mengendal akidah salaf.
Misalnya, kini sukar kita jumpai pria berpakaian gamis dan kaum wanita memakai
hijab. Jamaah salaf selalu salat lima waktu berjamaah di masjid, kecuali ada
uzur,” papar Jamaluddin Al-Batahany, pembina jamaah Dakwah Salafi.
Ustaz Ja’far Umar Thalib, direktur Pondok
Pesantren Ihya’us Sunnah, Yogyakarta, juga melihat manhaj salaf telah lama terkubur karena berbagai penyelewengan kaum
yang melampaui batas syariat, seperti kaum Khawarij, Syiah, dan Muktazilah. Akibatnya,
terjadi perpecahan di kalangan umat Islam. “Karena itu, manhaj Salafi harus dihidupkan kembali,” katanya seraya menjelaskan
dia sudah keliling ke Singapura, Malaysia, dan Indonesia untuk mendakwahkan hal
serupa.
Untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran
salaf itu, Ja’far—mengutip Ibnu Taimiah—menekankan agar umat Islam benar-benar
mengenal dan mengamalkan ajaran Islam dengan merujuk Al-Quran dan hadis serta
meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar dan segala bid’ah. Umat Islam
juga harus banyak belajar dari kitab-kitab salaf dan ulama-ulama salaf.
Dalam prakteknya, jamaah dakwah salaf
membahas sejumlah kitab ulama salaf dengan metode pengajian tradisional. Misalnya
Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiha; Zadul Ma’ad karya Ibnu Katsir; Syarhus Sunnah karya Al-Barbahary; Al-Ajwibah Mufidah karya Shalih Fauzan; Ta’zhimus Sunnah karya Syekh Shalih
Suhaimy; kitab Aqidah Salaf Ashhabul
Hadits karya Abu Ismail Ash-Shabuny, dan lain-lain.
Ada juga pengajian setiap hari. Khusus malam
Jumat dan Sabtu, peserta pengajian umum yang digelar setiap malam Ahad di
Masjid Al-Muhajirin di Pulobrayan rata-rata diikuti seratusan orang. Di luar
ini, hanya 20-an orang saja yang ikut, terdiri atas remaja dan orang dewasa. Sementara
pengajian khusus ibu-ibu (ummahat)
dan remaja putri (akhwat) diadakan
setiap Ahad pagi di rumah salah seorang jamaah.
Yang menarik, dakwah salafi rupanya mulai
masuk ke perguruan tinggi. Rio Bravo, mahasiswa Politeknik Elektro Universitas
Sumatera Utara, mengaku diajak temannya mengikuti pengajian tersebut. “Mulanya
saya tak peduli. Tapi saat saya memulainya, saya mendapatkan ‘sesuatu yang
selama ini asing bagi saya’. Saya putuskan untuk bergabung dan sekarang sudah
hampir setahun,” katanya.
Kegiatan dakwah salafi sendiri di Indonesia,
menurut Jamaluddin, sudah ada semasa Perang Paderi di Sumatera Barat, yang
dipelopori sejumlah ulama Minangkabau seperti Haji Sumanik, Haji Miskin, dan
Haji Piabang, disusul kemudian Haji Nan Renceh. Namun kegiatan itu oleh Belanda
dirintangi dengan cara mengadu domba masyarakat sehingga muncul dikotomi Kaum
Tua dan Kaum Muda.
Sifat dakwah salafi mencakup berbagai bidang
kehidupan (akidah, ibadah, muamalah). Menurut Jamaluddin, doktrin salafi yang
menonjol antara lain: pintu ijtihad terbuka sepanjang masa; taklid tanpa
mengetahui sumbernya diharamkan; perlu kehati-hatian dalam berijtihad dan
berfatwa; perdebatan teologis dihindarkan; ayat Al-Quran dan hadis yang mutasyabihat (tidak jelas menunjuk pada
satu arti) diartikan dengan cara tafwidh
(menyerahkan) kepada yang ahli, bukan ditafsirkan dan ditakwilkan.
Adapun para ulama salaf yang dijadikan panutan
oleh dakwah salafi ini antara lain Ibnu Taimiah, Ibnu Qayyim Al-Jauziah dan
Muhammad ibn Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afgani, Syekh Muhammad Abduh, dan Syekh
Muhammad Rasyid Ridha, serta Sayid Ahmad Khan. Sedangkan tokoh sekaligus ulama
salaf sekarang adalah Syekh Al-Bani (Yordania), Syekh ibn Baz dan Syekh
Husaimin (Arab Saudi), dan Syekh Muqbil ibn Hadi Al-Wadi’i (Yaman), guru Ja’far
Umar Thalib.
Di Indonesia, menurut Jamaluddin, memang
belum ada ulama Salafi. Namun, untunglah ada tokoh-tokoh seperti Ja’far Umar
Thalib, Muhammad Umar Sewed, dan sejumlah alumnus Jami’ah Islamiyah Al-Madinah.
“Insya Allah, pendidikan tadribud du’at
(pendidikan kader) yang kini digiatkan akan menghasilkan tokoh-tokoh salafi
yang baru,” katanya. ■ NASRULLAH
ALI-FAUZI, ABDI PURMONO (MEDAN)
0 Komentar