Majalah PANJI MASYARAKAT Nomor 33 Tahun IV, 6 Desember 2000
|
Menjadi salah satu Sinode Agung paling bersejarah sejak HKBP didirikan pada 1861. (Foto-foto: ABDI PURMONO) |
Sinode Agung HKBP ke-56 menyepakati rekonsiliasi di antara dua kelompok yang bertikai. Para pimpinan jemaat malah bersikap arogan dan sarat privilese. Mengapa?
SIDANG Pleno Sinode Agung Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) di auditorium HKBP di Desa Simanungkalit, Kecamatan Sipoholon,
Kabupaten Tapanuli Utara, tampaknya bakal dikenang sebagai hari bersejarah.
Maklumlah, perhelatan kali ini terhitung paling besar sejak Sinode ini berdiri
di Sipirok, 7 Oktober 1861.
Sedikitnya, 1.359 Sinodestan dari 440 resor,
plus 22 anggota Majelis Pusat dan 18 praeses menghadiri rapat pleno itu. Menariknya,
para peserta ini datang dari dua kelompok yang bertikai. Selain itu, baru
sekarang pula kegiatan ini menghadirkan tokoh-tokoh agama Islam dari Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama, yaitu Andi Jamaro, pakar sosiologi Universitas Airlangga
Hotman M. Siahaan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut B. Pandjaitan,
dan Menteri Pertanian Bungaran Saragih.
Menurut Jubil Raplan Hutauruk, ada dua hal
penting yang patut dicatat dalam Sinode kali ini. Selain menunjukkan bahwa HKBP
sebagai gereja yang terbuka, inklusif dan dialogis yang bersumber dari firman
Allah, tak kalah pentingnya adalah sebagai tempat untuk menyempurnakan proses
rekonsiliasi yang tengah berlangsung di tubuh HKBP. Maklumlah, berdasar Sinode
Agung dua tahun lalu, rekomendasi rekonsiliasi dilakukan di tingkat jemaat,
resor, distrik, dan lembaga, termasuk rekonsiliasi antarjemaat.
“Selain itu, Sinode ini pun dimaksudkan untuk
mengevaluasi seluruh kinerja HKBP pascakrisis 1992-1998, sekaligus menetapkan
kebijakan dan merancang program umum HKBP dua tahun ke depan,” kata eforus HKBP
ini kepada Panji.
Sejauh ini, cukup banyak hambatan yang
mendera HKBP untuk mengembangkan diri. Hal ini terutama menyangkut persoalan
ikatan tradisi, visi dan misi, kedisiplinan, dan perilaku berorganisasi. Salah satu
yang menonjol adalah keengganan untuk menerima apalagi memulai sesuatu yang
baru. Ketika Garis-garis Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan (GBKPP) masih
dalam proses penyusunan, misalnya, ada sebagian pendeta yang melontarkan isu
bahwa pimpinan HKBP hendak mengubah nama HKBP, dan GBKPP sengaja disusun untuk
menghilangkan hamomion (misteri)
gereja sehingga pengelolaannya dilakukan dengan manajemen terbuka.
Isu ini memang disengaja dikembangkan. Itu terjadi
karena sebelum GBKPP disahkan pada Sinode Agung ke-49 (1988), selama berpuluh
tahun pendeta HKBP berada dalam posisi yang sentralistik dan sarat privilese
dalam kehidupan berjemaat. Apalagi, hubungan antara pendeta dan pimpinannya pun
mirip hubungan antara camat dan bupati, sehingga memunculkan hubungan
formalitas yang mengaburkan objektivitas.
Kekurangan lainnya bertumpu pada persoalan
intern organisasi. Program yang dicanangkan HKBP lewat Sinode Agung 1988 sudah
mensahkan GBKPP, tapi dalam prakteknya banyak yang tidak menggubrisnya. Sementara
hambatan eksternal yang dialami HKBP menyangkut kebebasan beragama, politik
perizinan, dan intervensi kekuatan konglomerat (kasus PT Inti Indorayon Utama),
dan pembungkaman pers sehingga pers tak mampu bicara lebih jujur mengenai HKBP.
Ironisnya, Sinode yang dilangsungkan 21-24
November ini terusik ketika ratusan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP
Pematang Siantar di bawah pimpinan Marolop Sitinjak melakukan demontrasi. Walaupun
sempat terjadi ketegangan, tapi tidak sampai pada perbuatan anarkis.
Dalam pertemuan dengan Sekretaris Jenderal
HKBP Willem Tumpal Pandapotan Simarmata, para mahasiswa menyampaikan delapan
aspirasi kepada pucuk pimpinan HKBP dan Sinodestan. Di antaranya menuntut agar
pelayanan gereja HKBP paa milenium ketiga difokuskan kepada pembenahan
struktural dan fungsional; eksodusnya muda-mudi HKBP ke Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) dan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) supaya
ditanggapi secara serius oleh pemimpin HKBP.
Namun, persoalan itu akhirnya bisa
diselesaikan oleh pihak HKBP. Mereka berjanji akan menuntaskan masalah ini
dalam waktu dekat. Sementara dari sidang Sinode sendiri, ada tiga hal pokok
yang mengemuka.
Pertama,
HKBP harus lebih proaktif dalam menjalin kerangka dalam menjalin kerja sama dengan
agama-agama lain, terutama dengan Islam dalam kerangka hubungan yang inklusif,
terbuka, dan dialogis. Kedua, pendeta harus mampu menjadi penafsir sosial (yang aktual) dan tidak lagi melulu
mengandalkan tafsir teologis alias dogmatis. Pendeta tak cukup bergelut dalam
ritus-ritus ibadah belaka. Ketiga, konstitusi HKBP mestinya makin memberikan peluang bagi jemaat untuk
berpartisipasi aktif dan konstruktif, dalam pola kemitraan yang bottom up dan bukan top down.
“Inilah paradigma baru HKBP ke depan,” kata
Willem Tumpal Pandapotan Simarmata. ■ ABDI
PURMONO (MEDAN)
0 Komentar