Aksi damai wartawan menentang kekerasan terhadap jurnalis, 3 Oktober 2016 Naskah dan Foto: ABDI PURMONO |
SAYA bukan ahli hukum. Dalam pengalaman praksis selama ini, beberapa kali saya dan kawan-kawan malah berkewajiban membantu teman jurnalis yang mengalami perkara hukum yang berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik. Ya, tentu saja kami dibantu pakar hukum.
Saya pribadi sering mendapat pertanyaan tentang hukum pers saat menjadi narasumber sejumlah kegiatan pendidikan dan latihan jurnalistik, forum diskusi, atau pas kongko di warung kopi, juga saat di dalam ruang kuliah.
Pengalaman itu memaksa saya untuk banyak belajar membaca, memahami, dan menulis tentang hukum media massa. Nah, dengan agak nekat, saya bagikan salah satu tulisannya. Yang keliru-keliru mohon dikoreksi ya...
PADA dasarnya menjadi saksi merupakan kewajiban hukum yang diatur undang-undang. Hal ini bisa dibaca di Pasal 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 112 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) alias Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Sebelumnya kita ketahui dulu pengertian saksi. Definisi
saksi tiada dalam KUHP. Ia ada di dalam KUHAP. Pasal 1 (Bab I Ketentuan Umum)
angka/poin 26 KUHAP mendefinisikan saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Poin 27-nya menyebutkan, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa perkara pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya itu.
Pasal 224 KUHP menyebutkan “Barangsiapa dipanggil
sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak
memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus
dipenuhinya, diancam: 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan; 2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama
enam bulan.”
Pasal 112 KUHAP (Bab XIV Penyidikan, Bagian Kedua:
Penyidikan), menyatakan, Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan
menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan
saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah
dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan
hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
Itu bunyi ayat 1 dengan penjelasan
bahwa pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan surat panggilan yang sah,
yaitu surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.
Pada ayat 2 disebutkan orang yang dipanggil wajib
datang kepada penyidik dan jika tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi,
dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Pasal 113 KUHAP: “Jika seorang tersangka atau saksi
yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang
kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat
kediamannya.”
Peluang menolak jadi saksi ada pada Pasal 170 KUHAP (Bab
XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Bagian Ketiga: Acara Pemeriksaan Biasa).
Pasal ini menyatakan, “Mereka yang karena pekerjaan, harkat, atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka
(ayat 1). Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan
tersebut (ayat 2).”
Pasal 322 KUHP (Bab XVII: Membuka Rahasia) juga dapat
dijadikan alasan penguat bagi jurnalis untuk menolak jadi saksi: “Barangsiapa
dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencariannya, baik yang sekarang maupun yang terdahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan
ribu rupiah.”
Lebih tegas dan spesifik lagi, alasan wartawan untuk
menolak jadi saksi tersedia dalam Pasal 4 ayat 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers: dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum,
wartawan mempunyai Hak Tolak.
Hak Tolak adalah hak
wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas
lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya (Pasal 1 butir kesepuluh UU
Pers).
Pasal 4 ayat 4 UU Pers tadi disertai penjelasan bahwa tujuan
utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi,
dengan cara menolak menyebutkan indentitas sumber informasi. Hal tersebut dapat
digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau
diminta jadi saksi di pengadilan. Hak Tolak dapat dibatalkan demi
kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh
pengadilan
Nah, tolong
dicamkan, sampai di situ diketahui bahwa hakim boleh mencabut Hak Tolak seorang
jurnalis apabila menyangkut perkara yang berhubungan dengan kepentingan dan
keselamatan negara atau ketertiban umum.
Jurnalis memang harus sangat berhati-hati jika
dimintai keterangan sebagai saksi. Bukan tidak mungkin seorang jurnalis yang
jadi saksi justru menjadi tersangka. Misalnya, lantaran ia mengetahui tapi
tidak melaporkan tindak pidana yang diketahuinya; membantu melakukan tindak
pidana; terlibat melakukan tindak pidana, atau bisa juga membujuk melakukan
tindak pidana.
Begitu seorang jurnalis menjadi saksi di bawah sumpah
dalam sidang di pengadilan, maka saat itu juga ia dilarang melindungi sumber
informasinya. Di depan hakim, seorang jurnalis tak boleh berbohong mengenai
identitas narasumbernya jika takut dipenjara.
Seorang jurnalis bisa dipenjara selama tujuh tahun bila
terbukti sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan
atau tulisan, baik secara pribadi maupun oleh kuasanya. Ini jelas tertulis pada
Pasal 242 ayat 1 KUHP (Bab IX: Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu).
Lain lagi ceritanya andai sang jurnalis bersikap teguh
seperti keteguhan Judith Miller yang lebih rela dipenjara untuk melindungi
narasumbernya. Dia bergeming tetap menggunakan Hak Tolak sehingga hakim
menganggap dia telah melawan perintah pengadilan.
Wartawati The New York Times itu pantas menjadi salah
satu teladan keteguhan dan integritas seorang jurnalis. Dia tetap menolak
mengungkap jatidiri informan yang membocorkan identitas Valerie Plame sebagai agen
Central Intelligence Agency atau CIA kendati hakim memerintahkan dia untuk
membuka kerahasiaan sumber berita.
Kisah Judith Miller diadaptasi ke dalam film Nothing but the Truth (2008). Kate Beckinsale memerankan tokoh utama Rachel Alice Amstrong, wartawan The Capital Sun Times.
Kisah Judith Miller diadaptasi ke dalam film Nothing but the Truth (2008). Kate Beckinsale memerankan tokoh utama Rachel Alice Amstrong, wartawan The Capital Sun Times.
Sedangkan kisah nyata Valerie Plame dituangkan dalam film Fair Game (2010). Diperankan Sean Penn (Joseph Wilson) dan Naomi Watts (Valerie Plame), melalui film berdurasi 1 jam 47 menit ini diketahui identitas Valerie pertama kali dipublikasikan di The New York Times pada 14 Juli 2003. Lewis "Scooter" Libby, Kepala Staf Kantor Wakil Presiden Amerika Serikat, diduga sebagai sumber konfidensial yang dikutip Judith Millier. Waktu itu wakil presiden Amerika Serikat adalah Dick Cheney.
Ketua Dewan Pers (Periode 2016-2019) Yosep Adi Prasetyo menyatakan pemanggilan oleh penyidik terkait diperlukannya keterangan seorang wartawan sebagai saksi adalah salah. Alasannya, apa pun yang diketahui wartawan bisa dilacak dari berita yang ditulis. Yang bisa dipanggil penyidik adalah pemimpin redaksi dari media yang memberitakan.
Penugasan dan berita yang diketahui wartawan telah
dilaporkan sebagai berita yang terbuka kepada publik. Semua pekerjaan jurnalis
sepatutnya diketahui pemimpin redaksi. Apabila ada wartawan dipanggil polisi
untuk dimintai keterangan sebagai saksi, bisa bersurat kepada Dewan Pers dengan
melampirkan surat panggilan. “Dewan Pers akan menyurati pemimpin redaksi yang
bersangkutan dan penyidiknya sekaligus,” kata Stanley, sapaan karib Yosep Adi
Prasetyo, melalui Facebook.
Jadi, menyambung pernyataan Stanley, pemanggilan oleh
polisi kepada wartawan yang diminta jadi saksi seharusnya ditujukan kepada
pemimpin redaksi atau penanggung jawab, bukan langsung kepada wartawan
berstatus bawahan.
Hal itu merujuk pada Peraturan Dewan Pers Nomor 05/Peraturan-DP/IV/2008
tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan: dalam perkara yang menyangkut
karya jurnalistik, perusahaan pers diwakili oleh penanggung jawabnya; dalam
kesaksian perkara yang menyangkut karya jurnalistik, penanggung jawabnya hanya
dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan. Wartawan dapat menggunakan
Hak Tolak untuk melindungi sumber informasi.
Siapa yang dimaksud penanggung jawab? Dalam penjelasan
Pasal 12 UU Pers disebutkan, penanggung jawab adalah penanggung jawab
perusahaan yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Biasanya pemimpin
redaksi merangkap sebagai penanggung jawab.
Jelaslah, penyidik tak usah repot-repot memanggil wartawan
sebagai saksi. Sebagai contoh, dalam kasus pencemaran nama baik, penyidik cukup
menjadikan karya jurnalistik sang wartawan—dipublikasikan melalui media cetak, media
penyiaran, dan media siber atau media online—sebagai
alat bukti untuk memprosesnya.
Seumpama ada polisi yang bersikeras menjadikan
wartawan sebagai saksi, maka sang wartawan bisa menggunakan Nota Kesepahaman
antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Koordinasi
dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Kemerdekaan Pers
sebagai “senjata” untuk membela diri.
Nota Kesepahaman yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Bagir Manan dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo itu berlaku selama lima tahun sejak ditandatangani di Jambi pada Kamis, 9 Februari 2012.
Namun, dalam pendekatan legal formalitas, penyidik,
jaksa, dan hakim biasanya malas-malasan dan ogah membedakan antara kebenaran
hukum dan kebenaran jurnalistik. Dalam jagat jurnalistik tidak boleh dan tidak
pada tempatnya disyaratkan berita baru boleh diturunkan bila kebenaran suatu berita sudah dipastikan. Tidak ada kebenaran mutlak
dalam dunia jurnalistik.
Jika kebenaran mutlak dan kebenaran hukum yang
dituntut, maka pers telah mati sejak lahir. “Kebenaran” dalam dunia jurnalistik
berkembang dari hari ke hari, khususnya dalam peliputan investigasi atau investigative
reporting.
Mengenai breaking news yang
menyangkut kepentingan publik, mustahil “kebenaran” atau semua aspek dari
berita itu dapat seketika dan sekaligus terungkap. Mustahil dan tiada media
yang karena itu tidak menurunkan breaking
news. Justru jika media tak segera memberitakan breaking news, media telah melalaikan kewajibannya
menyampaikan dan menyebarluaskan informasi.
Dalam pendekatan legal formalitas bahwa telah memenuhi cover
both sides sekalipun tidak
meniadakan unsur kesengajaan ketika berita tetap diturunkan.
Jika dengan menerbitkan berita yang sudah memenuhi
standar profesi jurnalistik dan kode etik, terutama sudah cover both
sides, pers tetap disalahkan karena berita itu “tidak benar”, maka benar
pers akan mati sebelum lahir. Tidak ada sesuatu yang bisa diberitakan yang
menyangkut kepentingan umum dan tokoh publik sebelum bisa “dipastikan” bahwa
berita itu benar atau mutlak benar.
Keberadaan unsur kesengajaan semestinya harus
dibuktikan dari ada atau tidak adanya niat jahat atau malice menurunkan
berita yang bersangkutan, bukan dari kenyataan bahwa berita tetap
diturunkan meski pihak yang dimintakan konfirmasi sudah membantah dan
bantahannya sudah jelas dipublikasikan.
Ada preseden bagus mengenai hal tersebut. Yurisprudensi
Mahkamah Agung (Putusan Nomor 3173 K/Pdt/1993) dalam kasus suratkabar harian Garuda, Y. Soeryadi, Syawal Indra, dan
Irianto Wijaya, Yayasan Obor Harapan Medan melawan Anif, menyatakan bahwa kebenaran yang diberitakan oleh pers
merupakan suatu kebenaran yang elusif yang berarti sukar dipegang kebenarannya,
di mana kebenaran yang hendak diberitakan sering berada di antara pendapat dan
pendirian seseorang dengan orang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok
lain. Oleh karena itu kebenaran yang elusif tidak mesti merupakan kebenaran
yang absolut.
Masih dalam putusan yang sama, Mahkamah Agung
menyatakan pula bahwa berhadapan dengan
kenyataan kebenaran elusif yang dimaksud, apa yang hendak diulas dan
diberitakan oleh pers, tidak mesti kebenaran absolut, jika kebenaran absolut
yang boleh diberitakan, berarti sejak semula kehidupan pers yang bebas dan bertanggung
jawab sudah mati sebelum lahir.
Lebih lanjut Mahkamah Agung menjelaskan bahwa yang dituntut ialah kebenaran berita atau
ulasan yang mempunyai sumber yang jelas, meskipun disadari adanya kemungkinan
perbedaan pendapat antara pihak yang terkena pemberitaan dengan pihak pers yang
memberitakan.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung itu, dapat
disimpulkan bahwa dalam perkara pers yang harus dibuktikan apakah pers
melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur kerja pers dan Kode Etik
Jurnalistik, terlepas dari benar-tidaknya isi berita yang dipermasalahkan.
Mohon diingat pula, pembelaan terhadap jurnalis yang
terlibat perkara hukum janganlah membabi buta. Tidak semua wartawan patut
dibela atau mendapat bantuan advokasi. Hanya mereka yang terlibat perkara hukum
karena profesinya, karena karya jurnalistiknya, yang sangat pantas dan harus
dibela. Pembelaan dilakukan lantaran adanya ancaman terhadap kemerdekaan pers.
Pembelaan ini pun harus dilakukan secara profesional dan proporsional.
Jika sang jurnalis anggota organisasi profesi wartawan, tanpa diminta pun organisasinya berkewajiban membelanya. Jurnalis yang bukan anggota organisasi profesi wartawan apa pun masih layak dibela.
Jurnalis yang ditahan aparat penegak hukum dalam perkara kriminalitas, seperti merampok dan memeras, atau terlibat dalam tindak pidana umum lainnya, alias tidak berhubungan dengan kegiatan jurnalistik, tidak pantas dibela. Itu menjadi tanggung jawab pribadi yang bersangkutan.
Jika sang jurnalis anggota organisasi profesi wartawan, tanpa diminta pun organisasinya berkewajiban membelanya. Jurnalis yang bukan anggota organisasi profesi wartawan apa pun masih layak dibela.
Jurnalis yang ditahan aparat penegak hukum dalam perkara kriminalitas, seperti merampok dan memeras, atau terlibat dalam tindak pidana umum lainnya, alias tidak berhubungan dengan kegiatan jurnalistik, tidak pantas dibela. Itu menjadi tanggung jawab pribadi yang bersangkutan.
BERIKUT
tips bagi jurnalis yang dipanggil jadi saksi:
1. Mengirim surat balasan berisi
penolakan jadi saksi, dengan menggunakan dasar aturan Pasal 4 UU Pers dan Pasal
170 KUHAP.
2. Konsultasikan dengan pengacara
jika polisi memaksa. Jurnalis dan pengacaranya bisa saja melakukan upaya hukum,
meminta putusan hakim soal pemaksaan jadi saksi.
3. Jika panggilan
sebagai saksi tak bisa ditolak, misalnya dalam situasi represif, tegaskan dalam
berita acara pemeriksaan/BAP bahwa Anda mempunyai Hak Tolak dan Anda menolak
dijadikan sebagai saksi agar tercatat dalam BAP.
4. Tegaskan juga bahwa sejauh
menyangkut pemberitaan yang bertanggung jawab itu pemimpin redaksi sesuai
mekanisme pertanggungjawaban.
5. Katakan “tidak” ketika di
persidangan Anda ditanya apakah bersedia atau tidak bersedia menjadi saksi.
Pernyataan ini akan dicatat panitera pengadilan.
6. Penolakan jadi saksi sebaiknya
dilakukan dalam kasus penghinaan pejabat negara atau pencemaran nama baik (defamasi/defamation/libel). Ingat,
sekali jadi saksi, jurnalis mudah tergelincir jadi tersangka.
7. Dengan pertimbangan nurani dan
bukan karena tekanan siapa pun, sebaiknya jurnalis bersedia jadi saksi apabila kasusnya
menyangkut kepentingan publik yang sangat luas dan besar, serta kesaksian jurnalis
memang sangat diperlukan.
8. Pemanggilan sebagai saksi
sebaiknya juga dipenuhi jika hal itu menyangkut keselamatan narasumber atau keselamatan
jurnalis.
9. Melapor ke Dewan Pers
dan organisasi profesi wartawan.
Referensi:
1. Panduan Hukum untuk Jurnalis, Jajang Jamaludin dkk, Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Jakarta, Desember 2005.
2. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) dan AusAID, Januari 2009.
3. Materi Uji Kompetensi Jurnalis Aliansi Jurnalis Independen (UKJ AJI), 2012.
3. Materi Uji Kompetensi Jurnalis Aliansi Jurnalis Independen (UKJ AJI), 2012.
4. Laman Dewan Pers. ABDI PURMONO
0 Komentar