Kopi dijemur di Dusun Sukosari, Desa Sukorejo, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang, Rabu, 14 Mei 2014. Naskah dan Foto: ABDI PURMONO
|
DESA
Taman Kuncaran sepi. Kebun kopi ada di mana-mana, tapi tiada tampak
warga memetik, menjemur, atau menggiling kopi.
“Musim
panen kopinya masih lama, Mas. Kalau Sampean mau lihat, ya antara Juli sampai Oktober nanti ke sini lagi,” kata Ngadiono, seorang warga desa, kepada
saya, Rabu siang, 14 Mei 2014.
Desa
Taman Kuncaran terdiri dari Dusun Krajan dan Dusun Taman Gilang. Suasana desa
seluas 676 hektare di Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu
tidak banyak berubah dibandingkan kunjungan saya pada awal Agustus 2012 (baca: Melacak Jejak Douwes Dekker di Malang).
Berada
di kaki Gunung Semeru, gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa (3.676 meter di
atas permukaan laut), Desa Taman Kuncaran dianugerahi tanah subur yang
ditumbuhi ratusan ribu pohon karet, kopi, dan cengkeh, yang tempo dulu dikelola
Handelsvereeniging Amsterdam dengan nama Perkebunan Wonokoyuo mulai tahun 1891.
Perkebunan
Wonokoyo dibumihanguskan oleh pejuang saat terjadi Agresi Militer Belanda II
pada 19 Desember 1948. Usai perang, Perkebunan Wonokoyo dinasionalisasi oleh
pemerintah Indonesia pada 1950-an dan kemudian menjadi tanah persil atau
menjadi obyek landreform yang dibagi-bagikan ke penduduk.
Sisa
kejayaan Perkebunan Wonokoyo masih berbekas, misalnya, pada irigasi dan dam yang
dulunya diduga menjadi saluran pembuangan limbah pengelolahan kopi. Tapi sebagian
besar bangunan sudah tinggal reruntuhan atau beralih fungsi. “Semua reruntuhan
pabrik dan infrastruktur sarana lainnya sudah tertutup tanah, bangunan rumah,
atau sawah dan ladang,” ujar H. Sukarto, Kepala Dusun Taman Gilang.
Menurut Untung Slamet, bekas sekretaris Desa Taman Kuncaran
yang kini menjadi staf Kecamatan Tirtoyudo, terdapat 282 hektare kebun kopi di
desa itu.
“Tempat ini merupakan salah satu sentra produksi kopi terbesar dan
terbaik di Jawa Timur. Dari zaman Belanda sampai sekarang, semua produk biji
kopi dijual di Dampit, sehingga produknya lebih dikenal sebagai ‘kopi dampit’. Padahal
asalnya dari desa kami,” kata Untung, sambil membentangkan peta desa.
Desa
Taman Kuncaran terpaut jarak sekitar 10 kilometer dengan pusat Kecamatan
Dampit. Sejak zaman rikiplik Belanda
sampai sekarang, semua hasil perkebunan dari Taman Kuncaran diangkut dengan cikar,
gerobak kayu yang ditarik sapi, kemudian dijual di pasar Dampit. Dampit berada
di jalur transportasi utama yang menghubungkan Kabupaten Malang dengan
Kabupaten Lumajang. Inilah yang membuat kopi dari Kabupaten Malang lebih
dikenal dengan sebutan “kopi dampit”, bukan “kopi tirtoyudo”.
Produksi kopi asal
Dampit sendiri sebenarnya sudah berkurang drastis akibat banyak lahan kopi jadi
permukiman dan bangunan usaha. Berada di jalur provinsi yang menghubungkan
Malang dan Lumajang, Dampit cepat berkembang jadi kota perniagaan di wilayah
selatan Malang. Peran Dampit lebih mirip pasar induk yang menampung beragam
hasil pertanian dan perkebunan, khususnya kopi.
“Hampir
semua hasil panen kopi di Kabupaten Malang dikumpulkan dan diperjualbelikan di
Dampit, meski lokasi penghasil kopi di tiap kecamatan itu berjauhan. Lalu dari
Dampit dikirim ke Malang atau daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk juga
diekspor dengan brand kopi dampit,”
kata Haryanto, Rabu, 14 Mei 2014.
Ia
mengusulkan, sebaiknya merek kopi dampit diganti dengan nama “kopi amstirdam” supaya
masyarakat di Ampelgading, Tirtoyudo, dan Sumbermanjing Wetan tidak cemburu. Nama kopi amstirdam lebih keren
dan marketable lantaran ejaan dan
pelafalan nama Amstirdam mirip banget dengan nama Amsterdam, Ibu Kota Kerajaan Belanda.
Puncak
kejayaan kopi amstirdam berlangsung sepanjang kurun 1950-1970,
lalu perlahan memudar dan benar-benar hancur pada awal 1990-an. Menurut Hariyanto,
kehancuran kopi amstirdam gara-gara pedagang lebih mementingkan untung
sesaat tanpa memikirkan nasib petani dan ogah menjaga kualitas kopi.
“Citra
dan harga kopi amstirdam itu hancur bukan karena tidak enak,
tapi dulu banyak dicampur atau dioplos dengan kopi luar Malang.
Sampai sekarang kami tetap konsisten mengirim pure origin Dampit atau pure origin Malang, tapi tidak bisa langsung
diterima pasar,” kata Hariyanto.
Asal
Jaya semula berstatus Usaha Dagang Asal Jaya yang berdiri pada 1960 dan
kemudian menjadi perseroan terbatas pada 1994. Sepanjang 1980-1993 Asal Jaya
bertindak sebagai pengumpul kopi sebelum dikirim ke daerah-daerah di
Indonesia. Di Jawa Timur ada 100-an eksportir kopi, tapi hanya sedikit
yang mendapat penghargaan sebagai eskportir berprestasi.
“Mulai
tahun 1994 kami mencoba memperkenalkan lagi merek kopi amstirdam ke buyer di
luar negeri. Awalnya, harga tetap murah dulu, baru pelan-pelan harga dinaikkan. Toh pasar
tetap menerima bila harga sesuai dengan kualitas. Karena kinerja kami, tiap
tahun kami dapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai
eksportir berprestasi,” kata dia.
Kopi yang
dieskpor dalam bentuk biji yang sudah dipanggang (roasted coffee) atau dijemur dan dalam bentuk masih berkulit, tergantung
permintaan pasar. Ekspor terbanyak ke Eropa, khususnya Jerman, serta Jepang dan
Singapura.
Namun,
hingga kini, jumlah produksi kopi dampit yang diserap tidak sebanding
dengan kapasitas pabrik. Rata-rata per tahun Asal Jaya mengekspor 55 ribu ton kopi,
sedangkan rata-rata produksi kopi Malang hanya 6.000-7.000 ton per
tahun. Mayoritas kopi yang dieskpor jenis robusta. Jenis arabika
hanya sekitar 300 ton.
Lantaran
produksi kopi di Malang kurang, Asal Jaya mendatangkan kopi dari
daerah lain, seperti Lampung dan Aceh. Bahkan, saat betul-betul paceklik, Asal
Jaya terpaksa mendatangkan kopi dari Vietnam, Laos, dan Timor Leste. Kopi
yang diimpor ditampung di gudang Asal Jaya di Gempol, Pasuruan.
“Terpaksa,
Mas. Yang penting seribu karyawan saya tetap bekerja. Kalau mereka nganggur,
yang rugi kami juga. Nasib karyawan tetap dibela, dan kepercayaan importir
harus dijaga,” ujar Hariyanto.
Untuk
menjaga loyalitas petani, Asal Jaya membeli kopi mereka seharga Rp 24.200 per kilogram. Harga pasaran kopi memang naik-turun tergantung
musim, tapi Asal Jaya berani mematok harga lumayan tinggi seperti yang diminta
petani. Kalau pas masa panen raya (Juli-Oktober), harga kopi turun di
kisaran antara Rp 19 ribu sampai Rp 22 ribu. Tapi Asal Jaya masih berani
mematok Rp 23 ribu per kilogram.
Suparno, petani kopi di Dusun Sukosari, Desa Sukorejo, Kecamatan Tirtoyudo, sekitar
10 kilometer dari Desa Taman Kuncaran, mengatakan rutin menjual kopi langsung
ke Asal Jaya dengan harga Rp 24 ribu per kilogram. Pria 56 tahun ini mempunyai
seperempat hektare kebun kopi yang menghasilkan 3-4 kuintal biji kopi.
“Kalau
sekarang belum musim panen. Tapi saya sedang butuh duit, makanya kopi yang
belum matang benar ini terpaksa saya panen. Harganya memang turun sedikit, tapi
itu masih lebih baik daripada dijual ke tengkulak,” kata Suparno yang ditemui
saat sedang menjemur kopi.
Sejumlah
warga dan pedagang di Tirtoyudo dan Dampit mengatakan, untuk meningkatkan pamor
dan harga, sekarang sedang digencarkan varian kopi luwak dampit. Harga
pasarannya berkisar Rp 70 ribu per 50 gram sampai Rp 650 ribu per 500 gram. “Kopi luwak
sedang ngetren di kalangan petani,” kata Zaini Ilyas, seorang petani sekaligus pedagang kopi di
Dampit.
Masalahnya,
kata Zaini, harga jual kopi Amstirdam ke luar Malang cenderung
menurun akibat masuknya kopi dari daerah lain lain yang kemudian diklaim
sebagai kopi amstirdam atau kopi dampit asli. Cilakanya,
harga kopi dari luar Malang lebih murah dari kopi asli
Malang, berselisih harga antara Rp 1.000 sampai Rp 2 ribu per kilogram. Selisih
harga ini sangat disukai tengkulak.
“Harus
ada intervensi pemerintah daerah, misalnya dengan melakukan sosialisasi tentang
cara pemupukan yang benar. Kalau tidak, citra dan kualitas kopi dampit bisa
kembali rusak dan bahkan hancur seperti dulu,” kata Zaini.
PEMERINTAH
Kabupaten Malang bertekad mengembalikan kejayaan kopi dampit, khususnya
jenis robusta yang cocok dengan topografi lahan.
Bupati
Rendra Kresna mengatakan,
Kabupaten Malang punya lahan kopi robusta dan arabika masing-masing seluas
13.568 dan 1.020 hektare. Seluruh lahan kopi robusta mencakup tanaman
yang sudah menghasilkan, tanaman belum menghasilkan, dan juga tanaman rusak.
Gerakan
intensifikasi penanaman kopi mencakup perluasan tanaman kopi dengan
menyediakan benih unggul, pendampingan dari sektor on farm hingga off
farm, serta pembinaan terhadap petani dengan menggunakan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Program
tersebut dicanangkan untuk merespons Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan
Mutu Kopi yang dicanangkan Pemerintah Pusat pada 2009 agar Indonesia tetap
masuk tiga besar produsen kopi dunia setelah Brasil dan Kolombia.
Rencana
perluasan lahan budidaya kopi di Kabupaten Malang dipusatkan di empat
kecamatan “Amstirdam”, dengan melibatkan 8.773 orang petani yang tergabung
dalam 200 kelompok tani, serta lima eksportir.
“Pengembangan
kopi di lereng Semeru telah diakui penikmat kopi dunia. Hal itu bisa dibuktikan
dengan adanya sertifikat 4C (Common Code for the Coffe Community) Association
untuk kopi dari daerah kami,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan
Tomie Herawanto.
4C
Association adalah sebuah asosiasi industri kopi dunia (produsen,
prosesor, trader, pemerintah, dan lembaga swadaya internasional),
yang berkantor pusat di Bonn, Jerman. Sertifikat 4C Association berlaku tiga
tahun dari Maret 2014 sampai Maret 2017.
Menurut
Tomie, meski jenis robusta yang paling sesuai dengan topografi Kabupaten Malang,
pemerintah daerah berusaha menggenjot produksi kopi arabika karena harganya lebih
mahal dan permintaan pasar dunia terus meningkat.
“Tren
ekspor kopi dari daerah kami sedang bagus. Kopi masuk sepuluh besar komoditas ekspor
andalan kami pada tahun lalu,” kata dia.
Tomie
mencontohkan, nilai ekspor pada triwulan ketiga 2013 mencapai sekitar US$ 215,8
juta atau setara Rp 2,5 triliun untuk 133 ribu ton kopi. Nilai ini naik 5,55 persen
dari periode serupa tahun 2012 yang hampir US$ 204,5 juta untuk sekitar 125 ribu
ton kopi. ABDI PURMONO
CATATAN:
Naskah asli artikel di atas diedit redaksi dan kemudian dimuat di halaman 9 Koran Tempo, Minggu, 18 Mei 2014, dengan judul yang sama.
0 Komentar