Majalah Horison nomor perdana kenangan (Juli 1966) dan edisi cetak terakhir (Juli 2016). Foto: ABDI PURMONO |
MAJALAH
Horison genap berusia 50 tahun pada
26 Juli 2016. Majalah sastra ini didirikan oleh Mochtar Lubis, PK Ojong, Zaini,
Arief Budiman, dan Taufiq Ismail, serta pertama kali diumumkan terbit di Balai
Budaya Jakarta di Jalan Gereja Theresia, Menteng, Jakarta Pusat, 26 Juli 1966.
Kelahiran
Horison menandai era kebebasan
kreatif pada masa pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru. Jagat sastra menikmati masa
gemilang sampai kemudian melahirkan W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko
Damono, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Arifin C. Noer, Teguh Karya, Sutardji
Calzoum Bahri, Danarto, Budi Darma, Hamsad Rangkuti dan sastrawan besar yang
lain.
Semasa
berjaya, Horison menerima bantuan
dari banyak pihak. Kompas, Tempo, Femina, dan Sinar Harapan,
misalnya, rutin memberikan suntikan fulus. Seturut perkembangan zaman, banyak
media menyediakan rubrik sastra. Kemunculan banyak rubrik sastra di media lain mulai
menggerus pasokan tulisan sastra bermutu ke Horison.
Tantangan
yang dihadapi Horison lebih besar besar
di era milenium baru, sebuah era yang ditandai oleh dominasi teknologi internet.
Horison pun kesulitan membeli kertas
yang kian mahal lantaran hampir 100 persen isi kocek Horison bersumber dari sponsor.
Sebagai
media cetak, Horison mengalami
senjakala. Sebelum kolaps dan tamat riwayatnya, pengelola Horison bersiasat dengan mengakhiri wujud fisiknya hingga edisi
Juli 2016. Majalah Horison bersalin rupa
dari bentuk cetak menjadi Horison Online tepat
di usia setengah abad. Sebagai media siber, Horison
kini hanya bisa dibaca di www.horison-online.com.
Dalam
peringatan bertajuk “50 Tahun Horison” di Taman Ismail Marzuki, Selasa, 26 Juli 2016, Taufiq
Ismail menyampaikan bahwa Horison Online
sejatinya sudah ada sejak beberapa tahun silam. Horison berformat digital itu digagas oleh Amin Sweeney (13
Desember 1938-10 November 2010).
Ahli bahasa Melayu keturunan Irlandia itu meyakinkan
Taufiq tentang betapa pentingnya dunia “dalam jaringan” alias online bagi masa depan Horison. Sejujurnya Taufiq mengaku kala
itu tak paham dan kurang bersemangat.
Sebelum
meninggal, Sweeney sempat memimpin Horison
Online beberapa lama. Horison Online
sempat vakum beberapa bulan. Salah satu penyebabnya: administratur meninggal
dan password yang tidak diketahui lagi. Jadilah
Horison Online yang sekarang sebagai
tampilan baru sebagaimana dinyatakan Sastri Sunarti, Pemimpin Redaksi Horison Online.
Rubrik Budaya Harian Waspada, Jumat, 14 Februari 1997. |
Nah, selain catatan di atas, 19 tahun silam catatan saya tentang majalah Horison dimuat di rubrik Budaya harian Waspada edisi Jumat, 14 Februari 1997. Sebuah catatan sederhana yang agak tergesa saya tulis. Semoga berguna…
ADA mahasiswa bertanya
perihal Horison. Lugu terasa. Agak
kaget juga, memang. Namun setidaknya dia jujur menyatakan ketidaktahuan dan
peduli. Saya pun awas. Jangan-jangan dia berlagak pilon kayak Sokrates (470-399
Sebelum Masehi), tokoh Athena paling sarat teka-teki dan setengah sedeng dalam seluruh babad filsafat. Mungkin.
Dan terima kasih. Lantaran
dia—pemain teater—saya merasa perlu membagi informasi seputar majalah sastra
tersebut. Inilah hasilnya, yang leceh-leceh begini. Mudah-mudahan memberi
banyak manfaat.
Jakarta 1966. Orde Baru
mulai mengesot. Di masa-masa runyam
seperti ini, Horison dilahirkan. Pada
nomor perdana, sajak Karangan Bunga karya
Taufiq Ismail menjadi pilihan dekor sampul depan. Alhamdulillah, sampai sekarang tetap hidup meski napasnya sudah
lama tersengal-sengal. Separo tahun lagi, tepatnya di bulan Juli nanti, Horison berusia 31 tahun. Usia yang
cukup matang bagi sebuah majalah sastra dan budaya, yang tidak mengkhususkan
diri pada pemuatan-pemuatan berita aktual dan bersifat sensasional. Apalagi sebelumnya
di Indonesia pernah terbit majalah Poedjangga
Baroe, Kisah, Sastra, dan lain-lain.
Horison bermula dari
kongko-kongko menggagas dan menjangkau kemungkinan-kemungkinan pemikiran baru,
khususnya dalam perspektif seni dan kebudayaan. Adalah Mochtar Lubis (7 Maret
1922), Petrus Kanisius Ojong alias Auwjong Peng Koen (pendiri Kompas, 25 Juli 1920-31 Mei 1980), Zaini
(1924-1977), Soe Hok Djin/Arief Budiman (3 Januari 1941, orang Indonesia
pertama yang mendapat gelar profesor di Universitas Melbourne, Australia) yang
mendirikan Horison sebagaimana
tercantum dalam masthead (boks
susunan redaksi).
Sampai hari ini, Mochtar
Lubis dipercayakan sebagai pemimpin umum/pemimpin perusahaan. Orang baru di
jajaran pengelola, Ati Ismail dan Arwan Hamir, masing-masing diserahi mandat sebagai
direktur eksekutif dan wakil. Dan pemimpin redaksi dipegang Hamsad Rangkuti.
Wajah lawas seperti Hans
Begue Jassin (Gorontalo, 31 Juli 1917), Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri,
menempati posisi redaktur senior dan dewan redaksi (DR). Untuk DR ditambah satu
nama lama: Ikranegara, dan muka anyar: Aant S. Kawisar, Fadli Zon, dan Jamal D.
Rahman. Sementara penyantun/penasihat didukung oleh Jakob Oetama/BMKN (Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional).
Sebelum diberedel, Tempo pernah tercatat selaku donatur Horison. Begitu pula dengan koran Suara Pembaruan, yang terbit sore hari. Kini
cuma Kompas dan Pia Alisjahbana (direksi
Femina Group) yang masih mensubsidi dengan setia.
“Tak ada yang permanen
dalam hidup ini kecuali perubahan itu sendiri,” kata Heraclitus (kira-kira
540-480 SM), filosof asal Epheseus di Asia Kecil. “Segala sesuatu terus
mengalir.” Enaknya omongan kita: perubahan itu abadi.
Begitulah. Pers Indonesia
mengalami banyak perubahan dalam segi-segi kehidupannya. Mencakup segi
kelembagaan, pembinaan idiil dan pembinaan pengusahaan pers, sampai kepada
sistem kebebasan pers. Yang paling heboh, ketika lembaga perizinan yang semula
berbentuk Surat Izin Terbit (SIT) ditukar menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP).
Lembaga perizinan ini,
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Penerangan No. 01/PER/MENPEN/1984
tanggal 31 Oktober 1984, mengandung sifat restriktif (serba membatasi) dan
protektif (serba melindungi). (Baca: Sistem
Pers Indonesia, Drs. T. Atmadi, 1985:35). Dan nyata, ada beberapa
penerbitan pers yang rontok.
Apa boleh buat. Horison lekas berbenah diri dan
mengajukan permohonan SIUPP. Pada 3 Juni 1986, Horison mendapatkannya dengan No. 184/SK/MENPEN/SIUPP/D.1/1986.
Di samping itu, di jagat
penerbitan dikenal istilah ISBN (International Standart Book Number) atau Nomor
Baku Buku Internasional, dan ISSN (International Standart Serial Number) atawa
Nomor Baku Berkala Internasional. ISBN bersifat khusus untuk satu judul buku
saja. Ada tapinya, satu judul buku bisa mempunyai dua ISBN. Untuk hal ini,
sedikit lebih ruwet diterangkan di sini. Mau contoh, sebaiknya, kunjungilah
toko buku. Jika tak bengong melulu,
banyak manfaat yang didapat di sana.
Sedangkan ISSN adalah
nomor pada terbitan berkala seperti suratkabar dan majalah, baik majalah umum
maupun jurnal ilmiah. Contoh: ISSN Waspada
0215-3017, Republika 0854-3968, Kompas 0215-207X; ISSN Islamika 0854-7653, Al-Hikmah 0854-24114. ISSN digunakan pada setiap nomor penerbitan
berkala tersebut, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. Horison sendiri ber-ISSN 0125-9016.
Ada kabar lain yang
cukup menarik. Dalam format baru, Horison
kini memiliki rubrikasi yang populer. Malah mulai No.
8-11/Agustus-November/1996 (di ujung Bulan Bahasa dan Sastra), majalah yang
diterbitkan Yayasan Indonesia ini mengaktifkan kembali rubrik lama “Apresiasi”
ke dalam bentuk baru, yakni suplemen Kakilangit.
Inilah kontribusi Horison untuk
mengatasi masalah “sastra yang tidak sampai pada siswa-siswa kita”, sebagaimana
ditulis Taufiq Ismail di halaman Catatan Kebudayaan. Sisipan setebal 16 pagina
itu dirancang spesial untuk siswa SMU, madrasah aliyah dan pesantren. Jadi,
mohon didukung dan didoakanlah.
Di edisi Desember 1996,
tercantum alamat baru Horison: Jl.
Daksinapati Barat II No. 5, Rawamangun, Jakarta Timur (13220). Berjiran dengan
IKIP Jakarta, yang disewa Rp 1,7 juta per bulan. Kepindahan ini dimungkinkan
dari kerjasama bagi hasil dalam pameran lukisan di Taman Ismail Marzuki (TIM),
September tahun lalu (sumber: tabloid Adil,
25-31 Desember 1996).
Dan Mochtar Lubis pernah
“mengeluh”. Di edisi Mei-Juli 1996 terungkap bahwa Horison seakan tak pernah bergerak dari hitungan 3.000 tiras,
bahkan terkadang cuma 500 eksemplar. Belum lagi iklan yang sungkan mendaftarkan
diri.
Tetapi, di bawah
manajemen Ati Ismail selaku direktur eksekutif, oplah Horison sudah melewati angka sepuluh ribu. Suatu peningkatan yang
signifikan.
Soal harga? Masih Rp
5.000. Terbilang murah, karena terbit sekali dalam sebulan. Apalagi jika
dibandingkan dengan kebutuhan merokok dalam kurun waktu yang sama. ABDI PURMONO
0 Komentar