REMBULAN tampak cemerlang keemasan. Emanasinya
kudus dan syahdu. Karenanya siluet tersipu-sipu merayu. Rasai-rasai menggurat
pada rupanya yang kuyuh. Terpekur dalam sekunar bintang yang redup. Terguncang-guncang
di atas kirab mega yang biru kelam.
Pada Pembuat Anggur siluet berkata lirih. “Rabbi, aku mengadu padamu. Sepotong senja
tersisa buatku hari ini. Lihatlah tulipku, layu memendam rasa perih. Tangkainya
terluka memerah darah. Al-Lathif, aku
menghadap tidak hanya di saat-saat aku cinta pada-Mu. Namun juga di kala aku
tidak cinta dan tidak mengerti tentang-Mu. Di saat-saat seakan-akan mau
berontak terhadap qadir-Mu. Mengapa Kau
cipta para Sulaima, ya, Al-Hakim? Aku
berharap musim semi lekas tiba. Fajar kan segarkan mawar perdanaku yang baru
merekah. Puspa-puspa melati menebar aroma mewangi. Rumput-rumput baru keramas
dengan bulir-bulir embun yang cerlang, terhampar bagai altar hijau. Itu semua
mampu Kau atur sempurna. Tetapi Rabbi,
mengapa Kau diam?”
Pembuat Anggur tetap diam di mihrab
keagungannya.
Seolah mendapat restu dari Pembuat Anggur,
rembulan tersenyum: segaris sinis, segores remeh, sekilas muak, sekulum jumawa,
selarik bijak. Ragam maknanya berbau madu, anggur juga racun.
Siluet kembali bergumam, “Al-Azhim, Kau lihat betapa manis senyum
rembulan. Dia mewujud selaku Sulaima-Sulaima-Mu. Luruh, tertekuk aku dibuatnya.
Tapi lantaran dia pula tulipku meradang. Mawarku lampai. Melatiku menguning
bacin. Altar hijauku jadi kusam. Begitupun kuakui, terpendam rindu dendam jauh
di dasar kalbuku. Ya, Rabbi, adakah
sepotong senja buatku esok hari? As-Syahid,
adakah waktu tersisa mampu dewasakan aku dan rembulan? Kami karya sempurna-Mu. Semoga
Kau satukan kami dalam kekudusan dan kesyahduan anugerah cinta-Mu. Semoga.”
Kali terakhir, siluet memadah doa. “Rabbi, andai kiranya kehampaan jiwaku
merupakan sebuah renungan anyar tentang rahasia-Mu, jebloskanlah aku lebih
dalam pada kehampaan itu supaya aku lebih tekun mencari artinya. Kelak tiba
waktunya Kau berikan setangkai lili putih lewat malaikat maut-Mu, akan kudekap
erat ia dengan tulus dan ikhlas. Rabbi,
maafkan aku.”
Dan, siluet lalu bersama angin. ***
Catatan:
Prosa liris
berjudul Siluet dan Rembulan saya
selesaikan pada 17 Juni 1995 atau bertepatan dengan 16 Muharram 1416 Hijriah,
lalu dipublikasikan di tabloid Suara USU
Nomor XI/VIII/1997. Pers mahasiswa Suara USU berdiri pada 1 Juli 1995 dan merupakan satu-satunya unit kegiatan
mahasiswa yang mengelola bidang penerbitan dan pers di kampus Universitas
Sumatera Utara.
Ide dan
proses kreatif pembuatan prosa liris itu dipengaruhi beberapa bahan bacaan saya,
antara lain karya-karya Muhammad Iqbal. Iqbal adalah seorang penyair, sekaligus
filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformis muslim. Iqbal lahir di
Sialkot, Pakistan, 22 Februari 1873, dan wafat di Lahore, Pakistan, 21
April 1938.
0 Komentar