Rubrik Budaya harian Waspada, Minggu, 17 Mei 1998 |
KEHADIRAN
teve-teve swasta di era 1990-an ternyata membawa berkah bagi dunia lawak.
Stasiun-stasiun teve swasta paling mengandalkan lawak guna meraup iklan. Harga
kontrak bagi grup lawak yang beruntung terdongkrak naik hingga ratusan juta
rupiah.
Bahkan, RCTI misalnya, berani membayar di atas Rp 1 miliar untuk serial paket Ba-Sho Grup Bagito. Singkat kalam, teve partikelir berperan penting dalam menggairahkan kehidupan lawak di Indonesia, sembari menarik dunia periklanan ke dalamnya. Dan fenomena kebangkitan Srimulat sekadar satu contoh.
Sayang
sekali. Belum setahun Srimulat menikmati rezeki dari Indosiar, Teguh
meninggal dunia dalam 70 tahun, 22 September 1996. Maecenas tawa kelahiran
Solo itu tak sempat menyaksikan geliat kejayaan Srimulat yang sudah capek
sekali dibinanya sejak awal berdiri bersama sang isteri pertama, Raden Ayu
Srimulat. Jujuk merupakan isteri kedua Teguh.
Tapi,
the show must go on. Srimulat terus melaju dan laku.
Kepeloporan
Srimulat di jagat humor Indonesia memang fenomenal. Grup ini yahud
sekaligus unik. Walau berusia lebih dari 40 tahun, serta banyak anggotanya
sudah alumnus, mereka tetap guyub dan nyaris tak pernah bokek
akal untuk mengguyurkan lelucon.
Semula
kekuatan Srimulat bertumpu pada kidungan. Jika pun ada dagelan, itu sebatas
telinga. Kiat ini diubah pada 1967. Dagelan menjadi sajian pokok. Sedangkan
nyanyian dan musik sebagai mukadimah—ciri tradisional ludruk.
Bergabungnya
laskar pelawak Dagelan Mataram seperti Johny Gudel, Atmonadi, Bandempo, Hardjo
Gepeng, dan Rusgeger, ke Srimulat menyebabkan porsi acara lawak lebih mencolok.
Tema cerita pun diusahakan senantiasa anyar, dengan judul rada unik dan
sedikit nakal, seperti Ranjang di Bawah Bulan, Love Story of Miss
Hermin, Mother, atau Hostes-Hostes Geladak. Judul film tak
luput diembat, semisal Gun of Navarone dan One Eye Jack.
Pementasan
Srimulat ramai akan kata-kata plesetan, kalimat berlogika akrobat.
Srimulat acapkali mengangkat problema kehidupan wong kere, rakyat cilik. Batur (pembantu rumah
tangga) maupun kebiasaan jelek majikan sering dimainkan secara kontras, dan tak
jarang salah satu dari tokoh tadi dijadikan tokoh sentral.
Suasana aneh dan ketidaklurusan logika begitu
justru sangat menolong Srimulat di kelasnya sebagai kelompok entertainer tangguh. Persis sebagaimana pernah dikatakan almarhum Teguh tentang
bengkok-bengkoknya lawakan: “Aneh itu lucu, lucu itu aneh.”
Alhasil, semua dialog, celetukan, maupun gerakan
lucu, disandarkan pada improvisasi pemain. Semua dicuatkan tanpa rancangan.
Spontan. Kiat sederhana ini ternyata oke punya.
Sekalipun bebas berimprovisasi, pemain tetap
terkebat kaidah-kaidah pementasan yang sukar diterangkan. Banyolan-banyolan
Srimulat gres, tangkas, dan lihai dalam bahasa goda-gado yang saling mengisi satu sama lain. Terkadang pula Srimulat menabrak
pakem-pakem mapan sehingga alur cerita terasa absud, mengusik akal sehat (common sense), tetapi masih tetap dalam pigurasi guyonan.
Ditengok dari konsep dramaturgi, Srimulat terang nyeleneh. Jika William Shaskespeare membagi drama menjadi tiga bagian
(pembukaan, isi, penutup), Srimulat dengan cuek memilahnya sesuai selera dan kebutuhan. Padahal, jika dicermati lebih
intens, ketahuan bahwa pertunjukkan Srimulat seringkali terdiri dari dua babak,
yang terbagi ke dalam enam adegan.
Yang tipikal pada gaya Srimulat, yakni kemampuan
mereka mengawinkan stelan ludruk dan dagelan mataram menjadi satu ‘merek
dagang’. Inilah sumber kelucuan Srimulat. Inilah daya pikat Srimulat yang
takkan lekang biarpun badai kisah kisruh pernah sangat kuat menerjang.
Di balik kecemerlangan Srimulat, bukan berarti
steril dari cacat. Tradisi menghadirkan dunia jongos dan tuan membangun kesan
seolah-olah Srimulat merupakan himpunan pelawak bermental feodal, yang gemar
sekali mempertontonkan kenaifan orang lain (juga bangsa ini) dalam dialog dan
gerakan, yang celakanya justru menjadi rutin, mengulang-ulang. Srimulat seakan
mengalami kemiskinan ide seraya tetap kreatif mengolahnya, kendati lama-kelamaan
akan membosankan juga. Dan memang Srimulat tak pernah lepas dari dunia tadi.
Ada juga sih yang pantas disyukuri dari Srimulat di samping cacat barusan. Sekarang
pesan dari instansi-instansi tertentu yang dulu suka ikutan nebeng sudah jauh berkurang. Ada pun satu-dua, dan wajar saja. Apalagi “pesan
sponsor” itu tak lagi diekspresikan melalui kalimat yang verbal-formal, kayak
pejabat baca teks pidato.
Satu lagi yang agaknya layak dikurangi Srimulat,
yakni “pameran” cewek cantik, bertubuh molek, berbaju ketat yang dipadu rok
mini. Singkatnya, seksi. Bukan karena itu haram, tetapi karena sense of humor mereka amat pas-pasan dan terasa dipaksakan sekali. Kalau mengandalkan
kemampuan mereka dalam bermegal-megol, okelah. Tapi kasihan: mereka pecundang. Paling-paling kemunculan
mereka hanya sanggup membuat pemirsa pria ngences, dan pemirsa wanita deg-degan, serta kurang percaya diri. Apa enggak risih?
Kemunculan Srimulat di Indosiar, mau tak mau, akan bersentuhan langsung dengan dunia bisnis. Mereka
tak lagi bergumul dengan urusan tawa melulu. Masuknya manajemen bisnis ke dalam
Srimulat bukan saja diperlukan untuk menjual jasa mereka, atau semata menjual
gaya “goblok-goblokan” mereka.
Akan tetapi, masuknya manajemen bisnis membuat
Srimulat sebagai suatu kompeni yang memerlukan visi dan kemahiran enterpreneur; bahwa Srimulat harus dapat proaktif dalam mengelola sumber daya
manusia (human resources), keuangan, dan pemasaran.
Masuknya Mayjen TNI Agum Gumelar, Pangdam
VII/Wirabhuana dan mantan Kasdam I/BB, sebagai beking (pelindung), paling tidak
membawa harapan-harapan baik bagi Srimulat, menambah prestise, sekaligus
memperkokoh kesolidan mereka.
Tentu saja, dalam perubahan-perubahan itu, ada yang
konstan dalam Srimulat, yakni dasar eksistensi Srimulat berbasis pada kelugasan
dialog yang merakyat dan berorientasi pada publik menengah ke bawah.
Akibat logis dari premis itu, Srimulat mesti mampu
membaca kecenderungan-kecenderungan baru yang berkembang di tengah khalayaknya,
dan mampu pula mempresentasikan hasil-hasil ‘temuan’ mereka dengan
lawakan-lawakan baru, kreatif, segar, dan spontan. Pendek kata, lawakan-lawakan
Srimulat harus dapat berperan sebagai katarsis kejiwaan maupun katarsis
kemasyarakatan.
Terlepas dari semuanya, toh, sebuah grup pelawak memanglah harus dihargai. Bukan karena mereka
punya dedikasi moral atau peran ideologis atau dianggap berjasa mengobarkan
semangat juang (dan pembangunan), melainkan sebuah grup pelawak umumnya pasrah
dan ikhlas bila disebut gerombolan manusia pesong—harus dihargai karena mereka setia memelihara dan merawat sebuah dunia
yang tak kehilangan keleluasaannya untuk berseloroh dengan kocak.
Bukankah membuat orang lain gembira, sudah
merupakan satu amal dengan satu pahala. Dan silakan Anda setuju atau menolak:
mempunyai tekstur muka yang lucu agaknya akan memberi banyak manfaat kepada
banyak orang daripada punya wajah yang tertekuk tanpa alasan, atau malah
menganggar-anggarkan muka sangar. Pilih mana? ABDI PURMONO
0 Komentar