Rubrik Budaya harian Waspada, Minggu, 10 Mei 1998 |
SEMALAM di Semarang, 6 November 1988. Lokasi di Taman Hiburan Rakyat (THR) Tegal Wereng. Delapan ratus lebih kursi tersedia, en toh, masih kurang. Sejumlah penonton terpaksa berdiri. Sementara di luar panggung pengunjung masih antre. Pendek cakap: penonton boleh kebanyakan, apa daya kapasitas kursi kebobolan.
Malam
itu lakon Untung Ada Saya diusung Aneka Ria Srimulat (ARS). Ya, Srimulat
Unit Semarang punya hajatan. Tapi siapa sangka siapa duga, kalau malam itu
malam "pamitan" Srimulat dari pantai utara Jawa Tengah.
Semasa
baru buka cabang di Semarang pada 1986, jumlah penonton mendingan. Paling tidak
Srimulat masih bisa panen duit meski belum mencapai target. Dua tahun
berikutnya jumlah penonton terus berkurang. Tempat tongkrongan Srimulat itu pun
semakin lengang. Pas hari-hari biasa, paling banter 50 orang yang
datang. Walhasil Srimulat Semarang tekor.
ARS
Surabaya bernasib serupa. Kendati sudah mangkal di kompleks THR Surabaya
sejak 1961, Srimulat cuma kebagian gedung berkapasitas 750 orang. Penonton
kerap mangkel karena kehabisan karcis. Baru pada 1982, THR di Jalan Kusuma
Bangsa itu dibongkar total. Praktis Srimulat absen sekian lama. Giliran
Srimulat mentas lagi, jumlah penonton merosot drastis. Sebabnya,
mungkin, masyarakat mengira Srimulat tak bisa main gara-gara THR itu beresnya
kelamaan. Terhitung sejak Mei 1989, Srimulat vakum sampai pertengahan 1996;
tatkala Srimulat nongol kembali lewat layar Indosiar.
Hikayat
Srimulat bermula dari Raden Ayu Srimulat, seorang biduan panggung dan penyanyi.
Dia lahir di Solo pada 1905. Anak Wedana Bekonang di Solo ini berpendidikan HIS
(Hollands Inlandsche School) dan MULO (Meer Uitgbreid Lager Onderwijs) alias
sekolah dasar dan SMP model Belanda tempo dulu.
Besar
sebagai gadis ningrat ternyata tak membuat Sri bahagia. Sri berontak dari
tetek-bengek aturan ketat keluarga yang dirasakannya mengekang kebebasan dia
untuk mengekspresikan hobinya pada ketoprak dan wayang orang. Keluarga Sri
gusar. Mereka terlanjur berpandangan mereng terhadap jenis kesenian tradisi
ini. Enggak pantaslah bagi keturunan priyayi; macam tak ada saja pekerjaan lain
yang lebih terhormat—kira-kira begitulah persepsi kolot keluarganya.
Sri
memang bertalenta besar. Selain ciamik bermain ketoprak dan wayang orang
(wong), dia becus juga bernyanyi. Orkes Bunga Mawar dan RRI Surakarta
merupakan tempat dia bersenandung ria.
Dia
terus mengasah bakat. Tak puas menjadi penyanyi, Sri mencicipi panggung
sandiwara di kelompok Bintang Surabaya pimpinan Fred Young. Dus, menjadi
pemainnya rombongan sandiwara Nusantara binaan Jepang.
Berbekal
pengalaman di dunia panggung, Sri merambah dunia film. Beberapa film sudah
dibintanginya, antara lain: Saputangan (1949), Bintang Surabaya (1951),
Putri Sala (1953), Sebatang Kara (1954), dan Raja Karet dari
Singapura (1956).
Sewaktu
di Bunga Mawar (1946), Sri ketemu Teguh Slamet Rahardjo (beken dipanggil
Teguh). Mereka jatuh cinta dan menikah pada 8 Agustus 1950 (Sri lebih tua 21
tahun), sekalian meresmikan dibentuknya rombongan kesenian keliling Gemah Malam
Srimulat (GMS). Sedangkan Bunga Mawar sendiri bubar dua tahun sebelum
pernikahan mereka (1948).
Nama
Sri terus mencorong. Dia sukses menggaet atensi orang banyak karena dialah
satu-satunya yang berdendang sambil melucu waktu itu. Sri menjadi nomaden bersama
GMS. Mereka berkelana dari pasar malam ke pasar malam di kala musim kering.
Musim penghujan sama dengan menganggur.
Baru
pada sekitar 1957 GMS dipermanenkan di Solo. Cuma sebentar. Mereka hunting
lagi ke Jember, Malang, Blitar, Kediri, Madiun, Semarang, Pati, Kudus,
Pekalongan, bahkan sampai ke Medan, Palangkaraya, Balikpapan, dan Banjarmasin,
hingga “parkir” di Pasar Malam Manggarai. Lantas hijrah lagi ke Cikini
Raya—sebelum ada Taman Ismail Marzuki (TIM). Dan pengembaraan mereka mentok
di salah satu pojok THR Surabaya, Mei 1961.
Semenjak
itu Srimulat identik dengan Surabaya. Di Kota Pahlawan itu Srimulat sempat
gonta-ganti nama. Mula-mula GMS, lalu Srimulat Review, dan terakhir ARS. Di
kota ini beberapa seniman sempat nimbrung. Di antaranya Budi S.R.,
selaku perancang panggung; A. Rafiq (penyanyi dangdut); Paimo di piano; Udin
Zach (peniup klarinet); Gatot Sunyoto di perkusi dan bongo, dan Maryono, si
pemusik tiup.
Di
1968 ARS berkabung atas wafatnya Sri pada 1 Desember. ARS agak goyah. Tapi
Srimulat terus mengembangkan diri dan mekar menjadi sebuah grup lawak sekaligus
produsen komedian kenamaan seperti Asmuni, Tarsan, Basuki, Timbul, Paimo,
Bandompo, Bambang Gentolet, Eddy Geol, dan Gepeng.
Pas
Hari Pahlawan 10 November 1968 TIM resmi dipakai sebagai Pusat Kesenian
Jakarta. Sampai Agustus 1972, Srimulat belum dapat tampil di TIM. Pada 1971
Srimulat melakukan diversifikasi usaha dengan mendirikan grup ludruk Surya
Bhaskara, yang hanya bertahan empat tahun.
Munculnya
Srimulat setiap empat bulan di TIM sejak September 1972, membuat pabrik ketawa
ini kian populer. Keberhasilan ini cukup menjadi alasan bagi Teguh untuk
mendirikan Srimulat Film Corporation. Beberapa film diproduksi, tapi nombok
karena gagal menyedot penonton. Perusahaan film ini berumur pendek.
Untuk
beberapa lama Srimulat hidup akur sebagai usaha dagang yang dikelola secara seduluran
(kekeluargaan). Sekitar 1975 Srimulat mulai dilibas kemelut karena soal
pembayaran honor. Johny Gudel, Karjo AC/DC (meninggal dunia Selasa, 24 Maret
1998), Suroto, Subur, Rujilah, Rus Pentil, dan Sumiati, beberapa pemain musik,
tukang lampu (lighting man), plus pembantu panggung, hengkang ke
Jakarta. Para disertir ini (43 orang) mendirikan grup sendiri. Srimulat sempat
jeblok karenanya.
Tapi
Teguh memang lelaki tegar. Ia tetap tegak di tengah “pasukan” baru, antara lain
Paimo, Eddy Geol, dan Jujuk. Kehadiran Asmuni, Herry Koko, Ismiati, dan
Abimanyu, membuat Srimulat bergairah kembali. Seusai beberapa bulan gawat,
jumlah penonton kembali normal. Warsa 1977 Srimulat kembali merasakan jaman
keemasan. Kelompok yang melabel diri dengan dagelan blangkonan ini
memang digdaya. Tiga panggung teater rakyat yang juga berada di THR
Surabaya—Ludruk Beringin Jaya, Ketoprak Sri Budaya, dan Wayang Wong Sri
Wandowo—tercampak.
Rupanya
perut Srimulat belum kenyang. Tahun 1978 Teguh membuka ARS Solo di Taman
Hiburan Bale Kambang. Srimulat tak butuh tempo lama untuk menjadi kebanggaan
warga kota itu. penonton Srimulat tak melulu datang dari Kota Solo, tapi juga
dari Klaten, Sragen, Wonogiri, dan Sukoharjo.
Sekalipun
gagal menegakkan “Srimulat Tandingan”, pembangkangan Gudel tak percuma. Ia tak
hanya memberikan teguran keras, tapi turut menyumbang pikiran mengenai
perbaikan manajemen Srimulat. Sikap Gudel menuai hasil bagus.
Kelak,
tatkala kemudian Teguh berekspansi ke Jakarta, ia bukan lagi Teguh yang semau
gue. Perlakuan terhadap kesejahteraan anak buahnya sudah lebih afdol. Mulai
Oktober 1981 Srimulat selalu mentas di Taman Ria Remaja (TRR) Senayan.
Malahan sejak awal 1982 TVRI Stasiun Pusat Jakarta berbaik hati memberikan
kesempatan kepada Srimulat untuk muncul satu kali sebulan, dengan durasi 55
menit.
Pokoknya,
di awal 1980-an Srimulat menggapai puncak kesuksesan. Setiap malam nilai karcis
yang terjual paling sedikit mencapai Rp 3 juta. Pemainnya mulai hidup makmur.
Asmuni punya restoran yang mentereng dan laris. Tarzan bisa berhaji. Teguh naik
mobil Mercedez. Dan Gepeng semakin ganjen dengan mobil dan 50 gram
rantai emas yang menggayuti lehernya.
Berpuluh
rekaman kaset dagelannya pun laris manis. Belum lagi film yang dibintangi
Gepeng—Untung Masih Ada Saya, Gepeng Mencari Untung, Gepeng
Bayar Kontan—meledak. Teguh dan partisannya menikmati masa panen raya.
Bukan sekadar harta dan nama, kehormatan pun mereka renggut.
Satu
hal penting yang dilakukan Teguh di masa-masa kejayaan Srimulat ini adalah
siasat baru: kalau di antara anggota Srimulat ada yang lebih menonjol, harus
ada pemain lain yang mengimbanginya. Jadi, bila sewaktu-waktu ada pemain yang ngacir
kabur, maskot lain siap menggantikan.
Namun
nasib apes kembali mendera Srimulat. Kejayaan mereka cuma bertahan lebih dari
lima tahun. Pada Agustus 1986 Srimulat mengalami krisis. Pangkal soal berawal
dari ketidakdisiplinan anggotanya. Pemain inti seperti Basuki, Timbul, Kadir,
Nurbuat, dan Rohani menceraikan diri secara diam-diam. Gepeng yang bergabung
sejak 1978 kelewat kesenthelan dan dengan sangat terpaksa dipecat.
Tarsan secara terang-terangan menyatakan mengundurkan diri. Teguh berkilah,
tradisi bongkar pasang pemain dalam sebuah teater rakyat adalah suatu hal yang
maklum adanya.
Yang
pasti, gonjang-ganjing di tubuh Srimulat berdampak buruk pada para fans. Di
Jakarta, Semarang, bahkan Surabaya jumlahnya melorot tajam. Sialnya di awal
1988 ARS Jakarta nyaris disepak keluar dari TRR Senayan. Demi mempertahankan
diri, berbagai jurus sudah dicoba, misalnya dengan mengundang bintang tamu.
Hasilnya, alhamdulillah: nol. Srimulat sekarat.
Keadaan
tak tertolong lagi. ARS Semarang ditutup pada 6 November 1988. Sebagian
pendukungnya didrop ke Jakarta dan Surabaya, sisanya dipensiunkan. Toh krisis
tak juga membaik. Klimaksnya, 1 Mei 1989 ARS Jakarta dilikuidasi. Tinggallah
ARS Surabaya beserta pengikut seadanya. Tubuh Srimulat yang dulu gendut,
akhirnya mengkerut. Produsen manusia-manusia jenaka ini bangkrut. Hampir tujuh
tahun lebih Srimulat “istirahat”. ***
0 Komentar