Suasana depot Ramadan yang diadakan Vihara Bodhimana Sanggar Suci pada Senin, 13 Juni 2016 Foto-foto: ABDI PURMONO |
ARIS
BODONG sabar menanti di pojok ruangan. Aroma dupa ia abaikan. Penampilannya mencolok dalam
balutan celana dan baju berwarna oranye. Berkali-kali ia menyabarkan putrinya yang sudah kelaparan.
Pria berusia 45 tahun ini lalu beranjak dari tempat duduk dan masuk ke dalam barisan. Berselang 20 menit Aris kembali dengan membawa dua piring berisi nasi berlauk kari, sepotong kerupuk, dan segelas teh manis hangat. Menu gratis itu cepat tandas.
Pria berusia 45 tahun ini lalu beranjak dari tempat duduk dan masuk ke dalam barisan. Berselang 20 menit Aris kembali dengan membawa dua piring berisi nasi berlauk kari, sepotong kerupuk, dan segelas teh manis hangat. Menu gratis itu cepat tandas.
“Saya pengamen jaran kepang dengan berjalan kaki keliling dari satu kota ke kota lain. Hidup saya mengembara
begini dan saya ke sini sudah dua kali, tahunya pas lewat,” kata Aris.
Berasal
dari Desa Ngrupit, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Aris sangat
bersyukur lantaran hidupnya terbantu oleh depot Ramadan yang diadakan Vihara Bodhimandala
Sanggar Suci (Mahayana) alias Vihara Lawang di Jalan Dokter Wahidin 36-38,
Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Ungkapan
syukur dan senang pun disampaikan Suharjito alias Pak Ketek, warga Desa Karangrejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Selama 30 tahun ia
berkeliling Malang sebagai dalang topeng monyet. Penghasilan yang didapat tak menentu sehingga ia harus pandai berhemat. Nah, kehadiran depot Ramadan dimanfaatkannya untuk menjaga koceknya tetap aman meski isinya pas-pasan.
Bersyukur pula yang disampaikan enam anak punk berambut tegak, serta beberapa pekerja pabrik dan sopir. Bersama Aris Bodong dan Pak Ketek, mereka semua mendapat menu yang sama.
Itu pemandangan pada 11 September 2008.
Berselang hampir delapan tahun, di tempat yang sama, Fuadi bersama istri dan seorang putrinya mengantre untuk mendapatkan sepiring nasi berlauk ayam kecap dan bihung goreng, plus teh manis dan sekantong plastik berisi enam potong kue bolu.
Pemulung dari Pandaan, Kabupaten Pasuruan, itu berbaur dengan seratusan orang yang mayoritas seprofesi dengan dirinya, ditambah anak jalanan dan pengemis. “Saya lebih suka rawon, tapi apa pun menunya di sini pasti enak dan gratis,” kata Fuadi, Senin petang, 13 Juni 2016.
Bersyukur pula yang disampaikan enam anak punk berambut tegak, serta beberapa pekerja pabrik dan sopir. Bersama Aris Bodong dan Pak Ketek, mereka semua mendapat menu yang sama.
Itu pemandangan pada 11 September 2008.
Berselang hampir delapan tahun, di tempat yang sama, Fuadi bersama istri dan seorang putrinya mengantre untuk mendapatkan sepiring nasi berlauk ayam kecap dan bihung goreng, plus teh manis dan sekantong plastik berisi enam potong kue bolu.
Pemulung dari Pandaan, Kabupaten Pasuruan, itu berbaur dengan seratusan orang yang mayoritas seprofesi dengan dirinya, ditambah anak jalanan dan pengemis. “Saya lebih suka rawon, tapi apa pun menunya di sini pasti enak dan gratis,” kata Fuadi, Senin petang, 13 Juni 2016.
Kalau
dulu ada 25 jemaat dan pengurus Vihara Bodhimanda yang meladeni kaum duafa tersebut. Tapi kini tinggal 15 orang dan mereka tetap dari Paguyuban
Metta. Kalau dulu bisa sampai 600 orang yang mengantre, kini tinggal
seratusan orang sehingga jumlah menu dan kerepotan petugas pun berkurang.
Menurut
Amelia Wati, 68 tahun, depot Ramadan berlokasi di tempat parkir mobil yang
menyatu dengan rumah milik seorang umat vihara yang juga anggota Paguyuban
Metta. Depot Ramadan mulai dibuka pukul 4 sore. Sekarang suasana di depot tak seramai dulu.
Tak lama kemudian Banthe Winantea Listiahadi, pemimpin vihara merangkap koordinator kegiatan, tiba di depot. Berselang 10 menit, azan magrib berkumandang dari Masjid Al-Ikhlas yang berada di samping vihara.
Amelia dan kawan-kawannya mengatur barisan. Sedangkan Winantea mengingatkan orang-orang yang mengantre untuk mengucapkan doa berbuka puasa maupun doa sebelum makan menurut ajaran Islam. “Jangan lupa berdoa dulu,” ujar Winantea, 68 tahun.
Tak lama kemudian Banthe Winantea Listiahadi, pemimpin vihara merangkap koordinator kegiatan, tiba di depot. Berselang 10 menit, azan magrib berkumandang dari Masjid Al-Ikhlas yang berada di samping vihara.
Amelia dan kawan-kawannya mengatur barisan. Sedangkan Winantea mengingatkan orang-orang yang mengantre untuk mengucapkan doa berbuka puasa maupun doa sebelum makan menurut ajaran Islam. “Jangan lupa berdoa dulu,” ujar Winantea, 68 tahun.
Dan,
orang-orang pun bersantap. Ada yang duduk lesehan di lantai, di kursi, dan bak
mobil yang diparkir. Habis ayam kecap dan bihun goreng, mereka pun masih
mendapat seplastik kue bolu. Bagi yang tidak
kebagian kue mendapat sebungkus mie instan merek terkenal.
Winantea berkisah, depot Ramadan diadakan sejak 1998 sebagai bentuk toleransi antar-umat beragama. Saat itu Indonesia nyaris terpuruk karena krisis moneter. Harga-harga kebutuhan pokok yang menggila sangat menyusahkan kaum miskin.
Winantea berkisah, depot Ramadan diadakan sejak 1998 sebagai bentuk toleransi antar-umat beragama. Saat itu Indonesia nyaris terpuruk karena krisis moneter. Harga-harga kebutuhan pokok yang menggila sangat menyusahkan kaum miskin.
Didera
kegalauan hati, Winantea kemudian menggalang donasi dari Paguyuban Metta. Anggota
paguyuban ratusan ribu orang yang berasal dari umat Buddha dan umat agama lain.
Selain donasi, Winantea mengatur tenaga sukarelawan untuk membantu menyiapkan menu berbuka puasa. Ada yang ditugasi berbelanja bahan masakan, menanak nasi, memasak, membuat minuman, dan membersihkan tempat. Mereka bertugas bergantian sesuai jadwal yang dibuat Winantea. Anggota Paguyuban yang bertugas datang dari Jombang, Surabaya, Pasuruan, Malang, dan Kota Batu.
Selain donasi, Winantea mengatur tenaga sukarelawan untuk membantu menyiapkan menu berbuka puasa. Ada yang ditugasi berbelanja bahan masakan, menanak nasi, memasak, membuat minuman, dan membersihkan tempat. Mereka bertugas bergantian sesuai jadwal yang dibuat Winantea. Anggota Paguyuban yang bertugas datang dari Jombang, Surabaya, Pasuruan, Malang, dan Kota Batu.
KORAN TEMPO, Rabu, 15 Juni 201 |
Dalam
kurun 1998-2000, penyelenggara menyediakan menu sebanyak 80-100 porsi dan ternyata cepat habis. Karena banyak pengunjung yang tidak kebagian, penyelenggara kemudian memborong banyak makanan dari sejumlah warung di Lawang sehingga jumlahnya mencapai rata-rata 600 porsi per hari.
Winantea
memastikan kualitas menu tetap dijaga ketat kendati jumlah pengantre menyusut. Saat ini Paguyuban Metta menyediakan 125-150 piring makanan, ditambah
takjil dan kudapan ringan. Menu yang disediakan selalu berganti saban hari. Ada rawon, soto, ayam goreng, ayam suwir
bumbu rujak, mi goreng, gorengan ikan tongkol, cincau, doger, wedang jahe, dan
jus apel.
Semua menu diracik anggota Paguyuban Metta. Winantea yang memilih juru masak. Juru masak yang ditunjuk rata-rata pemilik rumah makan. Winantea yang
mencicipi masakan dan menjamin kehalalan semua menu yang disediakan. Sepekan sebelum depot Ramadan dibuka, ia berkonsultasi pada ulama dan tokoh masyarakat setempat, serta memberitahukan aparat keamanan.
”Saya mempelajari ajaran Islam. Saya tahu soal halal-haram dalam Islam. Kalau tidak halal, pasti depot ini sudah ditutup dari dulu-dulu. Kita ini sama-sama manusia, harus saling bantu dan menolong. Semua ini karena alasan kemanusiaan saja,” kata Winantea.
”Saya mempelajari ajaran Islam. Saya tahu soal halal-haram dalam Islam. Kalau tidak halal, pasti depot ini sudah ditutup dari dulu-dulu. Kita ini sama-sama manusia, harus saling bantu dan menolong. Semua ini karena alasan kemanusiaan saja,” kata Winantea.
Keriuhan
di depot baru berakhir setelah seluruh menu makanan ludes. ***
0 Komentar