Majalah PANJI MASYARAKAT Nomor 22 Tahun III, 15 September 1999
Suasana haul ke-75 Syekh Abdul Wahab di Kampung Besilam, Kamis, 2 September 1999. (Foto-foto: ABDI PURMONO)
|
Puluhan ribu jamaah Tarekat Naqsyabandiah Babussalam memperingati haul ke-75 Syekh Abdul Wahab. Syekh merupakan Tuan Guru I Tarekat Naqsyabandiah yang pengikutnya terbesar di Indonesia.
Lantunan zikir Laa ilaaha illallaah sebanyak 70 kali keluar dari mulut puluhan ribu jamaah laki-laki. Sambil berzikir dengan posisi berdiri, mereka secara spontan dan kompak menggerakkan tubuh ke kiri dan ke kanan sesuai irama bacaan. Sementara kaum perempuan membacakan Maulid Barzanji dengan khidmat. Suasana cukup menggetarkan kalbu dan sarat nuansa religius. Sesekali, karena saking semangatnya berzikir dan berdoa, suara batuk terdengar di tengah jamaah.
Itulah sebagian kegiatan ritual dari serangkaian
prosesi puncak peringatan haul ke-75 (jamaah menyebutnya hul) alias wafatnya Tuan Guru Syekh Abdul Wahab, Kamis pekan lalu
(2 September 1999/21 Jumadil Ula 1420) di kompleks makam Syekh di Desa
Babussalam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jamaah
yang diperkirakan mencapai 25.000-an itu memang merupakan murid dan pengikut
Syekh Abdul Wahab (wafat 27 Desember 1926/21 Jumadil Ula 1345), sesepuh Tarekat
Naqsyabandiah di sana yang oleh peneliti tarekat Martin van Bruinessen dianggap
sebagai tarekat terbesar di Indonesia (lihat boks: Pembangun Pintu Keselamatan).
Kebesaran tokoh Syekh itulah yang membuat
peringatan wafatnya selalu dihadiri puluh ribu jamaahnya. Menurut Kepala Desa
Babussalam Abdul Razak Y.W.R., jumlah jamaah hul tahun ini belum seberapa. Dalam tahun-tahun sebelumnya,
peringatan haul Syekh dihadiri tak kurang dari 70.000-an jamaah. Mereka datang
dari daerah di Sumatera Utara, Aceh, Riau, Palembang, bahkan Malaysia, Brunei,
Singapura, Thailand, dan Filipina. “Jamaah hul
tahun ini tak sebanyak tahun lalu. Mungkin akibat krisis moneter dan
ketidakstabilan di negeri ini,” tutur Abdul Razak yang masih keturunan Syekh
itu.
Peringatan hul itu sendiri tergolong khusyuk dan khidmat. Menurut koresponden Panji yang ikut hadir di tengah-tengah
jamaah, rangkaian peringatan hul
diisi dengan berbagai ritual keagamaan sesuai ajaran-ajaran Tarekat
Naqsyabandiah. Misalnya, sebelum tiba hari hul,
jamaah melakukan suluk atau berdiam
diri sambil berzikir di makam Syekh selama 40 hari sejak 25 Juli silam. Selama ber-suluk, jamaah makan dan minum sedikit
sekali. Hampir seluruh waktunya dipakai untuk berzikir dan bertafakur
(meditasi). Juga tak diperbolehkan berbicara kecuali dengan gurunya atau dengan
sesama jamaah yang juga melakukan kegiatan serupa, itu pun terbatas pada
soal-soal kerohanian saja.
Selama tiga hari berturut-turut menjelang
hari “H”, jamaah mengadakan ratib Saman ba’da
salat isya. Hari pertama dipimpin langsung oleh Syekh Hasyim Asy-Syarwani, Tuan
Guru Babussalam IX. Sementara pada hari kedua dan ketiga dipimpin oleh Syekh
Ahmad Fuad Said Abdul Wahab. Sehari menjelang puncak hul, sejak pagi mereka mendengarkan bacaan-bacaan haflah yang dibawakan oleh kelompok
nasyid dan qasidah. Disusul kemudian dengan pembacaan marhabanan, salawat badar, tadarus Al-Quran.
Pada puncak peringatan hul Kamis itu, ratib Saman kembali dibaca jamaah secara khusyuk, disusul
dengan pembacaan surat Al-Ikhlas sebanyak 31 kali, dan khataman Al-Quran
beserta doanya. Setelah itu, jamaah spontan beramai-ramai berdiri melantunkan
zikir berupa lafaz tahlil (Laa ilaaha
illallaah) sebanyak 70 kali dengan suara keras (zikir jahar), sambil menggerak-gerakkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Suara
zikir pun menggema sampai terdengar keluar kompleks makam Syekh seluas 100
meter itu.
Setelah kembali duduk bersila, mereka
kemudian melantunkan zikir dengan menyebut Asmaul
Husna. Dari 99 nama Tuhan itu, enam di antaranya dilantunkan dengan lembut
dan berirama, masing-masing sebanyak 70 kali. Sesaat ratib Saman usai, jamaah
kembali mendengarkan bacaan haflah-haflah
Barzanji, marhabanan, qasidahan,
serta pembacaan syair-syair bernafaskan Islam selama empat jam. Acara hul selesai hingga larut malam.
Dengan serangkaian hul seperti itu, kehadiran puluhan ribu jamaah di Desa Babussalam
tak pelak membuat sibuk masyarakat setempat. Apalagi jamaah ada yang sudah
datang beberapa hari menjelang puncak acara hul.
Mereka tidur menyebar di rumah-rumah suluk
(tempat berzikir), di madrasah Babussalam, makam Syekh, rumah jompo, dan
rumah-rumah penduduk. “Yang penting bisa tidur. Siapa tahu ada berkahnya,”
tutur seorang jamaah yang tidur di Makam Syekh Faqih Tambah, Tuan Guru Babussalam
IV. Jamaah lain asal Riau mengaku datang berombongan dengan mengendarai 13 bus.
“Saya datang untuk berziarah ke makam Tuan Guru dan mengambil berkahnya,”
ujarnya.
Untuk menyukseskan acara itu, panitia
mengerahkan sekitar 200 pria dan 150 wanita. Juga memasak tiga ton beras dan
memotong sembilan ekor lembu yang dananya berasal dari Pemda Sumatera Utara,
Pemda Langkat, Pemda Medan, serta donatur dan dermawan.
Suasana Desa Babussalam pun ramai. Puluhan kendaraan
besar-kecil memanjang hampir dua kilometer. Ratusan pedagang yang sebagian
besar pendatang pun bermunculan dengan berbagai barang dagangan yang harganya
lebih tinggi dari biasanya. Petugas kepolisian juga tampak kerepotan. Ini belum
apa-apa. Biasanya tahun-tahun lalu lebih payah,” ujar salah seorang polisi
berpangkat sersan dua yang mengaku sudah tiga tahun berturut-turut melakukan
pengamanan acara hul Syekh.
Pembangun
Pintu Keselamatan
Nama lengkapnya Tuan Guru Babussalam I Syekh
H. Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi. Menurut penelitian Martin van
Bruinessen (Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia, 1992), Abdul Wahab lahir di Melayu pada 28 September 1811/19
Rabiul Akhir 1230. Anak dari keluarga yang taat beragama itu mengaji di
berbagai surau di Riau daratan dan pada 1860-an merantau ke Mekah selama enam
tahun untuk belajar. Di Masjidil Haram ia mendapat pelajaran Tarekat
Naqsyabandiah dari gurunya Sulaiman Al-Zuhdi.
Soal madrasah itu sendiri, semua digunakan
sebagai masjid dan tempat mengaji serta kegiatan-kegiatan ibadah lainnya. Ibadah
utama yang dilakukan adalah salat dan zikir sebagai wirid. Seperti membaca
surah Yasin setiap malam Jumat, ratiban setiap malam Selasa, dan pengajian
kitab tasawuf Sairus Salikin karya
Imam Al-Ghazali. Hingga kini, madrasah yang bisa menampung sekitar seribu
jamaah itu kian luas dan terus direnovasi.
Makam Syekh dibangun pada 1927, setahun
setelah H. Yahya menjadi mursyid dan nazir alias Tuan Guru Babussalam II.
Kompleks makam seluas 100 meter persegi itu terdiri atas beberapa ruangan. Makam
Syekh berada di ruang tengah dengan tujuh lapis kelambu dan dipagari besi
berukuran 3,5 x 4,5 meter persegi. Selain itu, ada pula makam Syekh Yahya (Tuan
Guru II), Syekh Abdul Jabbar (Tuan Guru III), dan makam Syekh Faqih Tuah.
Kompleks makam itu tak hanya didatangi para peziarah
pada saat hul, tapi juga dalam
hari-hari biasa. Setiap peziarah berdoa di sekeliling makam dan membaca
Al-Quran. Ada juga yang masuk ke dalam lingkaran besi makam Syekh, memanjatkan
doa lalu memegang batu nisannya. Di dalam makam juga terdapat dua bak air yang
dinamakan “Air Yasin”. Banyak peziarah yang membawa dirigen atau botol mineral
untuk meminta air tersebut. Setelah air itu diambil, kemudian dibawa ke
khalifah seraya meminta doa. “Buat oleh-oleh untuk anggota keluarga yang sakit,”
tutur seorang peziarah.
Memang, menurut cerita penduduk setempat,
banyak peziarah yang salah memahami ajaran-ajaran Syekh sehingga kedatangannya
ke makam untuk meminta yang tidak-tidak yang bisa tergolong syirik. Misalnya,
memeluk makam, mencium nakus
(kentongan) di madrasah Babussalam, dan semacamnya. “Kami tidak mengharapkan
hal-hal itu terjadi di sini. Umumnya orang yang melakukan kurang begitu
memahami hakikat Tarekat Naqsyabandiah,” ujar Syekh Hasyim.
Menurut catatan Martin, Tarekat Naqsyabandiah
bukanlah satu-satunya tarekat yang diajarkan dan diamalkan di Babussalam. Generasi
yang lebih tua juga mengamalkan Tarekat Syadziliah. Setiap Senin malam, ba’da isya, ratib tarekat ini dibacakan
dengan suara keras. Tapi jumlah pesertanya tidak banyak. Rumah suluk di “Pintu Keselamatan” juga
digunakan sepanjang malam. ■ NASRULLAH
ALI-FAUZI I ABDI PURMONO (LANGKAT)
Catatan Tambahan:
Kampung
Babussalam lebih dikenal dengan nama Kampung Besilam. Secara administratif,
Kampung Besilam masuk wilayah Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara.
Kampung
Besilam berjarak sekitar 75 kilometer dari pusat Kota Medan, Ibu Kota Provinsi
Sumatera Utara. Saat saya kunjungi pada 2 September 1999, Kampung Besilam
mencakup sembilan dulu yang dihuni 666 keluarga atau 3.729 jiwa.
Sejarah
berdirinya Kampung Besilam sangat erat hubungannya dengan keberadaan Kesultanan
Langkat karena sang pendiri, Syekh Abdul Wahab Rokan (1811-1926) alias Tuan
Guru I (1811-1926), dianggap guru atau ulama bagi kerabat kesultanan dan masyarakat
Langkat pada masa itu. Kabarnya pula, Syekh Abdul Wahab Rokan masih bersepupu
dengan Sultan Musa, Sultan Langkat pertama. Sang Sultan memberikan sebidang
tanah kepada Syekh Abdul Wahab Rokan agar mendirikan sebuah kampung Islam.
Kampung
Besilam selalu ramai dikunjungi para peziarah dan jamaah yang ingin bertemu
Tuan Guru Babussalam. Banyak pula pejabat dan tokoh masyarakat yang mengunjungi
Kampung Besilam, terlebih pada saat pemilihan umum. Banyak peziarah bertujuan mendatangi
Kampung Babussalam untuk mendapat berkah tapi dengan cara yang keliru.
0 Komentar