YOGYAKARTA — Serikat Pekerja Koresponden Tempo atau Sepak@t Indonesia melaporkan manajemen Tempo ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi karena melakukan pemecatan sepihak terhadap Syamsuddin Lazore Levi alias Cunding Levi pada 1 Desember 2015.
Cunding merupakan koresponden Tempo di Jayapura, Ibu Kota Provinsi Papua, yang sudah bekerja untuk Tempo selama 15 tahun. Pemecatan Cunding dilakukan manajemen Tempo melalui Surat Dewan Eksekutif Tempo Nomor: 002/SK-KORESP/XI/15 yang ditandatangani Pemimpin Redaksi Tempo Gendur Sudarsono.
Untuk membahas kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami Cunding Levi dan membahas nasib jurnalis lepas seperti para koresponden Tempo, maka pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama Federasi Serikat Pekerja Media Indonesia (FSPMI) dan AJI Yogyakarta mengadakan diskusi terpumpun/terfokus atau FGD di Uwong Cafe, Yogyakarta, Sabtu, 5 Maret 2016.
Kegiatan FGD itu antara lain dihadiri pengurus Sepak@t Indonesia, termasuk Cunding Levi, dan Ketua Umum AJI Suwarjono, dan wakil Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Cukup banyak hal yang dibahas dalam FGD. Tentu saja ada beberapa testimoni dari anggota Sepak@t Indonesia, terutama dari Cunding Levi, plus tanggapan Suwarjono (Ketua AJI Periode 2014-2017) yang cukup panjang.
Berikut penuturan Cunding, koresponden berusia 43 tahun—lahir 3 Januari 1973, tentang nasibnya sebagai koresponden Tempo.
Saya tidak sendiri. Saat dapat surat (PHK), yang pertama saya telepon adalah teman-teman Sepak@t Indonesia. Reaksinya kita harus melawan, enggak boleh dibiarkan. Ini tindakan kapitalis yang sangat luar biasa. Saya berpikir, biarlah saya jadi lilin buat semua.
Awal ceritanya, pada November 2015 di Papua banyak laporan tentang kematian bayi.[1] Beberapa penugasan saya laksanakan dan akan jadi berita besar di majalah Tempo. Saya sudah menyiapkan banyak data.
Sebelum Desember, sekitar akhir November 2015, saya mendapat surat PHK. Pagi hari, saya masih dikontak redaktur. Dia minta saya mencoba menindaklanjuti kasus 10 bayi lebih yang meninggal, yang kemungkinan bisa dipakai sebagai laporan majalah Tempo. Saya dan kawan-kawan koresponden Tempo memang bisa mengisi majalah, koran harian (Koran Tempo) dan online (Tempo.co). Saya menyatakan siap dan akan mem-follow up.
Saat itu saya masih di depan komputer yang masih bisa pakai Wifi dan internet. Saya lihat ada e-mail. Pengirimnya hanya dua, biasanya soal honor yg dibayarkan. E-mail tentang honor yang saya buka duluan.
Saya juga lihat e-mail yang satu lagi, ternyata saya diputus hubungan kerja dengan Tempo. Alasannya enggak jelas. Saya langsug down. Saya langsung merasa Tempo seperti sebuah perusahaan yang tidak menghargai, tidak seperti perusahaan media yang saya banggakan, karena sudah 10 tahun lebih saya membantu secara berdarah-darah di Papua, tapi kemudian di-PHK seenaknya. Saya kayak diputus atau di-PHK oleh perusahaan pabrik roti atau tempe yang biasa main putus begitu saja.
Kepada beberapa teman, waktu itu, saya masih sempat guyonan enggak apa-apa saya dipecat asal saya dapat baju kaus, dapat oleh-olehlah. Ya, guyonan ini sekadar untuk menghibur diri sendiri.
Lihatlah lokasi saya di Papua seperti apa. Saya lalu cari teman yang bisa dukung saya. Saya biasanya pagi keluar dari rumah dengan semangat ada kerja. Beberapa hari saya di rumah terus. Istri saya yang juga wartawan bilang jangan cuma melihat idealisme Tempo. Inilah akibatnya.
Selama 10 tahun lebih saya bertahan karena idealisme tadi. Tempo identik dengan idealisme. Anak saya pernah tanya, bapak kerja di mana? Dengan bangga saya jawab saya kerja di perusahaan media besar, ternama, dan idealis.
Saya masih menyimpan majalah-majalah Tempo yang memuat tulisan saya. Saya masuk Tempo secara tidak sengaja. Sebelumnya saya aktivis kampus. Dulu ada forum LSM (lembaga swadaya masyarakat) dalam bentuk Tabloid Jubi. Orang Tabloid Jubi kenal dengan Tempo. Mereka datang ke Papua untuk mencari koresponden.
Saya masuk Tempo pada 2000-2001. Hubungan saya dengan Tempo waktu itu enak. Komunikasi dengan teman-teman di redaksi Jakarta masih guyublah. Ada penugasan yang jelas. Pembayaran honorarium tepat waktu dan jumlahnya lumayan.
Saat saya masih lajang, kebutuhan hidup masih bisa dipenuhi oleh penghasilan dari Tempo karena honor dari majalah lebih besar dari honor Tempo koran dan online. Jumlahnya tidak besar-besar amat, tapi masih bisa dirasakan lumayan dibanding media-media lain, di luar Kompas.
Liputan berkesan bagi saya terjadi tahun 2000, saat Papua bergolak. Papua waktu itu mau melepaskan diri. Baru beberapa bulan jadi koresponden, laporan saya sudah jadi laporan utama. Saya mendapat banyak telepon dari Jakarta. Saya diuntungkan dengan situasi Papua waktu itu.
Saya juga liputan Boven Digul dan Mohammad Hatta. Tempo menuntut ekslusivitas di daerah tanpa memperhatikan masalah keselamatan. Saya juga menelusuri illegal logging dan menyamar menjadi mahasiswa. Perusahaan yang melakukan illegal logging itu kerja sama dengan tentara. Demi ekslusivitas Tempo, saya melakukan penyamaran ketika liputan.
Saya juga menulis pulau-pulau terluar di Indonesia, seperti laporan di Biak. Laporan saya saat itu punya nilai jual tinggi. Laporan saya tentang pulau-pulau terluar dipakai majalah Tempo.
Sekitar 15 tahun saya bantu Tempo. Saya tahu Tempo sebenarnya tidak bagus-bagus kali memperlakukan para korespondennya. Terkadang ada semacam pilih kasih, Tempo pasti sayang sekali sama koresponden yang penurut dan sangat produktif, karena kan kinerja kami dihitung hanya berdasarkan jumlah laporan disetor. Saya juga waktu itu bekerja untuk media lokal.
Manajemen majalah yang masih lumayan bagus memperlakukan kami. Tapi saya merasa lambat laun perlakuan Tempo berubah terutama sejak Koran Tempo lahir (2001). Kami di daerah seperti sapi perah. Tidak dihargai.
Lalu, kami membuat serikat pekerja. Sebelumnya ada wadah Forkot (Forum Koresponden Tempo), tapi tidak efektif memperjuangkan nasib kebanyakan koresponden Tempo seperti saya. Bagi saya, puncak perlakuan buruk Tempo adalah saat saya di-PHK semena-mena, seperti mereka baru kenal saya sehari dua hari saja.
Saya pernah hampir mati digebuk massa tahun 2006. Kasusnya mirip Santa Cruz di Timor Leste. Seingat saya waktu itu pertengahan Maret. Saya meliput unjuk rasa di Jalan Abepura-Sentani depan Universitas Cenderawasih. Pendemonya Front Aksi Nasional Penutupan Freeport. Jumlah tentara yang dikerahkan untuk membubarkan massa ada sekitar dua batalion.
Saya tidak berpikir tentang keselamatan saya. Yang saya pikirkan justru tentang detail dan eksklusivitas seperti yang diajarkan Tempo.
Lalu terjadi bentrokan antara massa pendemo dan aparat. Tahu-tahu saya dipukuli massa sampai tergeletak, mungkin mereka mengira saya intel. Handphone saya hilang. Dalam keadaan mau mati itu, istri saya juga bikin laporan untuk Tempo karena dia juga koresponden Tempo waktu itu. Kami terdepan dalam laporan itu walau saya hampir mati akibat dipukuli massa.[2]
Lalu apa yang dilakukan Tempo? Hanya ucapan ‘Cunding, untung kamu tidak mati.’ Bambang Harymurti (BHM) pemred (Pemimpin Redaksi Majalah Tempo) menelepon saya, menyarankan saya ke Jakarta karena kondisinya seperti ini. Saya tolak.
Saya tidak berpikir saya jadi heroik, tapi demi eksklusivitas Tempo, saya bertahan. Mungkin ada orang bilang saya bodoh, demi idealisme, saya bertahan bantu Tempo selama 10 tahun lebih dan sama sekali tidak ada penghargaan. Saya melihat di daerah-daerah lain juga sama. Gaji kami diberikan berdasarkan jumlah berita.
Saya jadi wartawan lokal tahun 2000-an di Tabloid Jubi, Suara Perempuan. Saya juga tetap menyuplai laporan ke Tempo. Tapi, tidak ada penghargaan. Kadang saya dianggap tidak ada saat ada wartawan Tempo ke Papua, tapi saya tidak diberitahu. Itu banyak terjadi di daerah lain.
Tidak ada kesejahteraan yang saya rasakan bekerja di Tempo setelah saya menikah. Usia 28 tahun saya mulai bantu Tempo. Saat usia makin menua, produktivitas saya menurun. Tidak ada jaminan dari Tempo untuk masa tua saya. Tidak ada kesejahteraan. Hanya dapat kalender.
Ketika saya di-PHK, foto saya dipajang di kalender. Foto saya dipakai, lalu saya di-PHK. Istilahnya, belasan tahun saya bekerja untuk Tempo, saya hanya dapat kalender sebagai penghargaan. Ironis ya. Tapi, sekarang, persoalan saya serahkan kepada teman-teman Sepak@t.
Tanggapan Ketua AJI Indonesia Suwarjono
Bagi AJI Indonesia, kasus Cunding hanya salah satu kasus yang muncul dari sekian banyak kasus sejenis. Lebih dari 60 persen anggota AJI berada di kota-kota. Persoalan nasib koresponden atau kontributor, bagi AJI, sudah jadi pembicaraan yang lama.
Sudah banyak cara untuk menaikkan standar upah kesejahteraan. Tapi, hampir sebagian besar mental. Saya lihat ada problem yang serius dan sangat terkait dengan kebijakan pemerintah dalam menangani isu perburuhan yang tidak terlihat. Misalnya, apa yang dilakukan pemerintah terlalu fokus pada apa yang menjadi concern masyarakat.
Tapi, pemerintah tidak mengungkap masalah yang terjadi di media. Persoalan ketenagakerjaan paling parah. Hampir sebagian besar media mengalami persoalan isu kesejahteraan. Kondisi kontributor sangat memprihatinkan.
Kami melakukan survei media nasional dan daerah. Memang kesejahteraan sangat minim. Dari 2.300 media nasional, baru segelintir media yang memberlakukan upah secara layak; hanya 3-4 media. Bisa dibayangkan apabila tugas kami, para jurnalis, sangat berat. Hampir sebagian besar koresponden tidak memiliki standar pekerjaan yang dapat dijadikan acuan.
Kami lakukan survei, dari 12 kelompok media besar hanya 2-3 media yang bisa berikan gaji secara baik. Itu di Jakarta. Tidak ada orang yang bisa memberikan penjelasan soal standar ini. Kami sudah bikin konsep standar ketenagakerjaan. Tapi media menolak dengan alasan kondisi keuangan perusahaan tidak mampu. Padahal perusahaan bisa memberikan honor yang layak. Ini hanya soal kemauan.
Tempo kurang untung seperti apa dari sisi pendapatan sampai sistem keuangan. Tempo kan perusahaan publik, berapa jumlah uangnya bisa dilihat. Tidak ada alasan Tempo tidak memberikan gaji secara layak. MNC Group, kelompok Tribun, Jawa pos, misalnya, mereka sangat mampu memberikan kesejahteraan, tapi kenapa media-media besar tidak mau memberikan standar hidup yang layak untuk pekerjanya.
Problemnya tidak ada kemauan dari manajemen atau pemilik. Jurnalis juga tidak melakukan gerakan untuk menuntut. Jurnalis ketika bekerja di lapangan terima amplop, ini juga persoalan. Ini menambah praktik kesewenang-wenangan terhadap koresponden. Isu ketenagakerjaan jadi isu yang serius. Kasus Tempo ini kami dorong sampai selesai.
Sebagian besar orang Tempo, termasuk jajaran manajemennya, orang AJI. Saya ketemu BHM (Bambang Harymurti) dan saya tegaskan BHM adalah pendiri AJI. Jangan sampai tidak ketemu. Padahal punya semangat yang sama. Visinya sama, kebebasan pers, profesionalisme, dan kesejahteraan. Temen-temen di Tempo melakukan perjuangan juga lewat serikat pekerjanya (Dewan Karyawan Tempo atau Dekat).
Kita lihat di media kita, nasib koresponden dan kontributor itu miris. Masih banyak koresponden yang punya pendapatan di bawah Rp 1 juta. Masih ada yang dibayar Rp 10 ribu per berita. Bisa dibayangkan bagaimana dia harus mencari lagi. Sangat berat. Banyak catatan yang jadi keprihatinan kita terutama teman-teman di berbagai kota.
Kalau kita mengacu ke undang-undang sudah cukup jelas kok. AJI mendesak industri dan media berikan kesejahteraan. Kesan kita koresponden di bawah. Padahal apa pun statusnya itu, mereka semua jurnalis.
Jurnalis tetap dan jurnalis kontrak ini istilah yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jurnalis tetap mereka yang bekerja tetap, dengan mendapatkan hak-haknya di daerah maupun di Jakarta. Jurnalis kontrak, ada aturannya apakah boleh dikontrak atau tidak. Tidak ada istilah koresponden. Kontrak pun ini mengacu pekerja bersifat sementara, dia punya keahlian khusus dan tidak jadi core bisnis.
Kalau kita mengacu undang-undang, posisi kita cukup kuat. Bagaimana keseriusan media ikuti undang-undang. Di Jakarta, sebelum koran Sinar Harapan tutup, sebagian minta ada audit ketenagakerjaan. Ini ampuh karena orang Dinas Tenaga Kerja melakukan audit kontrak ketenagakerjaan. Misalnya ketahuan ada tenaga kerja asing yang tidak penuhi standar kontrak, termasuk koresponden. Dinas tanya sistem ketenagakerjaan. Tapi perusahaan tutup.
Itu bisa jadi shock therapy agar manajemen perusahaan media itu memperlakukan koresponden sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kalau sudah ada kontrak, asuransi dan kesejahteraan dan upah minimum harus masuk.
AJI Indonesia mendorong serius kasus ini. Kami ingin ada yang berhasil. Jangan mengulang yang tidak berhasil. Saya berharap tuntutan teman-teman Sepak@t berhasil sehingga jadi acuan untuk media-media lain. Kalau Tempo gak berhasil gimana dengan media lain. Ini menarik bagi kontributor di daerah. Jangan sampai kasus Cunding menimpa yang lain. Di industri media kini mereka mengubah ketenagakerjaan. Mereka ambil berita dari jaringan, televisi, online dan cetak.
Kalau tidak ada standar ketenagakerjaan yang bagus, maka ini jadi catatan yang serius. Kalau awal jadi koresponden kita tidak merasakan. Baru terasa setelah lebih dari lima tahun jadi koresponden karena kebutuhan ini itu meningkat, apalagi bagi koresponden yang sudah menikah. Honor berkurang artinya pendapatan menurun. Honor tahun 2015 beda dengan honor tahun sebelumnya, seperti yang diceritakan Cunding.
Kalau tidak ada terobosan baru untuk mendapatkan format ideal, maka akan sangat berbahaya 10-15 tahun ke depan. Harus ada model bagaimana standar kesejahteraan, standar ketenagakerjaan.
Meskipun kita di daerah, tapi punya jaminan. Membangun model ketenagakerjaan yang baik perlu. Kalau kasus Tempo ini gol, maka kita bisa ajak kawan lain di Kompas, Tribun, dan MNC. Kompas.com itu honor per beritanya cuman Rp 35 ribu, masih di bawah Tempo. Sangat memprihatinkan. Tribun juga. Kontributornya di daerah disuruh cari iklan, sama dengan grup Jawa Pos.
Kami di AJI terus berusaha mendorong pola-pola ketenagakerjaan yang baik. ABDI PURMONO
[1] Kejadian luar biasa (KLB) penyakit pertusis atau batuk
rejan di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua.
[2] Laporan
Cunding dan istrinya dimuat di majalah Tempo
edisi 20-26 Maret 2006 dengan judul Kebrutalan
di Sebuah Jembatan. Sedangkan kisah Cunding Levi digebuki terekam dalam buku Cerita di Balik Dapur Tempo, bagian “Kecap Dapur Tempo 1971-2011”, halaman 94-96, terbit
tahun 2012.
0 Komentar