Candi Belahan, Sabtu, 11 Agustus 2007. (Foto-foto: ABDI PURMONO)
|
TERIK
menyengat. Angin sepoi membelai kulit legam Dulhasan. Pria berusia 51 tahun ini sejenak menata napas sebelum memikul 40 liter air yang diisikan ke dalam
dua jiriken.
Otot-otot tangan mengencang saat ia memikul dan berjalan ke rumahnya
di Dusun Belahan Nongko, Desa Wonosonyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan,
Jawa Timur. Air itu diambil dari kolam Candi Belahan di Dusun Belahan Jowo,
desa yang sama.
“Kalau ngambilnya
cuma 20 liter, tak cukup buat masak dan minum. Di musim panas seperti
sekarang, saya dan warga lainnya biasa mengambil air tiga kali dalam sehari. Untung saja
ada candi ini,” kata Dulhasan, yang ditemani Rohadi, 46 tahun, warga Belahan
Jowo, Sabtu, 11 Agustus 2007.
Candi Belahan menjadi anugerah besar bagi segenap warga Wonosonyo dan warga desa sekitarnya.
Candi yang memiliki kolam berair jernih ini terletak di kawasan lereng timur
Gunung Penanggungan (1.653 meter dari permukaan laut), atau 6-7 kilometer dari
Jalan Raya Surabaya-Malang.
Candi Belahan
candi yang unik karena air terus memancur dari kedua puting (tetek) patung Dewi
Sri. Pada masa patung dibuat (tahun 1019) atas titah Raja Airlangga, air yang
memancur dari puting perempuan adalah pertanda kesuburan.
Airlangga,
pendiri Kerajaan Kahuripan, memerintahkan pembangunan patung, lengkap dengan
kolam di bawahnya, untuk merayakan rasa suka dan cinta pada sang dewi yang
telah memberikannya keturunan. Dan lebih dari sembilan abad kemudian, Candi
Belahan dikenal juga sebagai Candi Sumber Tetek.
Mitosnya,
mandi di kolam Candi Sumber Tetek bisa membuat orang awet muda. Anehnya, perempuan
dilarang mandi di sana. Larangan serupa tak berlaku bagi kaum pria.
“Sejak saya
bertugas dari tahun 1994, saya belum pernah lihat perempuan mandi di kolam
Sumber Tetek. Kalau lihat perempuan ngambilin air dan nyuci pakaian
sudah biasa. Kata orang-orang tua dulu pantang bagi perempuan mandi di sini,
tapi saya tak tahu apa alasannya,” kata Caliono, salah seorang dari empat juru
kunci Candi Belahan, yang digaji Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala di
Trowulan, Kabupaten Mojokerjo.
Anggap saja itu mitos yang muskil dibuktikan. Yang sudah terbukti dan tak berubah
sejak lebih dari sembilan abad lalu adalah air masih memancur dari dada Dewi
Sri yang aduhai.
“Biasanya,
kalau di musim hujan, airnya memancur satu sampai dua meter. Kalau di musim
kemarau pancuran airnya antara 30 sampai 50 sentimeter. Meski debitnya sekarang
mengecil, tapi airnya tetap saja memancur,” kata pria berusia 33 tahun itu.
Pantaslah
orang-orang seperti Dulhasan dan Rohadi menganggap Candi Belahan bak oase di
padang tandus. Desa Wonosonyo dihuni sekitar 4.800 keluarga, tapi warga Belahan
Nongko (dihuni sekitar 150 keluarga) dan Belahan Jowo (dihuni sekitar 160
keluarga) yang terbanyak memanfaatkan air Sumber Tetek.
Setahu dan
seingat Caliono, sebelum 2004, warga tiga desa tetangga Wonosonyo juga banyak
mengambil air dari Sumber Tetek. Warga di desa Bulusari dan Jerukpurut, Gempol,
biasa datang mengambil air dengan membawa belasan jiriken yang diangkut dengan
truk mini.
Warga Dusun
Kunjorowesi, Desa Kunjorowesi, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, pun rela
menempuh jarak sekitar tiga kilometer untuk mengambil air di Sumber Tetek.
Dusun ini berbatasan langsung dengan Belahan Nongko.
Bahkan,
penghuni asrama Pusat Pendidikan Brigade Mobil (Pusdik Brimob) Watukosek,
Gempol, juga ikut-ikutan mengambil air di kolam Candi Belahan dengan
menggunakan mobil tangki. Lokasi candi dengan asrama terpaut jarak sekitar 5
kilometer.
Memasuki
tahun 2004, pengambilan air besar-besaran berangsur-angsur berakhir. Warga
setempat berpatungan membeli dua pompa air senilai Rp 24 juta. Pompa dipasang
untuk menyedot buangan air dari kolam yang mengaliri sebatang sungai, lalu
dialirkan ke bak penampungan sebuah kamar mandi umum yang berada di luar pagar
Sumber Tetek.
Pusdik Brimob
ikut membantu pembiayaan pengadaan pipa. Mereka pun membangun jaringan pipa
untuk mengalirkan buangan air Sumber Tetek hingga ke markas mereka.
Kini, tinggal
300-an orang dari Belahan Nongko dan Kunjorowesi yang masih setia mengambil air
di Sumber Tetek untuk memenuhi kebutuhan air minum dan memasak. Kalau mau
mandi, yang lelaki tinggal nyebur ke kolam dan berbasah-basah di bawah
pancuran air. Sedangkan kaum perempuan membasuh tubuh di kamar mandi
umum.
Sumber Tetek
tak melulu dimanfaatkan para pengambil air. Banyak orang yang datang ke sana
untuk melakukan ritual khusus, dengan membakar dupa dan membawa sesajen.
Pun banyak
orang, khususnya pria, yang datang cuma untuk membunuh rasa penasaran mereka
terhadap patung rupawan Dewi Sri, yang aura sensualitasnya memancar dari
belahan dada nan montok. ABDI PURMONO
1 Komentar
Informasinya bagus, sayang ada nada sexis dari penulis. Itu arca peninggalan budaya, bukan patung dada montok, aduhai yang mintai dibelai. maturnuwun
Balas