Ranu Darungan, 16 Oktober 2014 Foto-foto: ABDI PURMONO |
SUYONO menggerutu. Di Ranu Darungan dari pagi hingga menjelang sore, gabus maupun lele tak sekali pun menyambar umpan pancingnya. Untungnya ia tidak kepanasan karena banyak pepohonan di sekitarnya.
Ia menduga ikan makin susah didapat karena air danau di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menyusut drastis di musim kemarau. Akibatnya, hampir seluruh dasar danau kelihatan kering dan mengeras sampai bisa dimasuki sepeda motor milik Suyono dan kawan-kawan.
“Kalau
pas musim hujan, sepeda motor kami diparkir di tepian dan kami tidak bisa
memancing sampai di tengah danau karena airnya penuh,” kata Suyono, 40 tahun,
kepada saya, Kamis, 16 Oktober 2014.
Diperkirakan
Ranu Darungan dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan konservasi
anggrek dan tanaman obat. Dugaan Ranu Darungan merupakan danau buatan
diindikasikan dari pilar-pilar besar bekas bangunan bergaya kolonial di dekat
danau. Diduga, dulu ada rumah besar yang jadi pusat penelitian botani.
Berada
di ketinggian 830 meter dari permukaan laut, danau seluas 0,25 hektare itu
hampir selalu mengalami kekeringan di musim kemarau. Namun, sebenarnya, secara
alamiah musim kemarau tidak terlalu berpengaruh pada kondisi fisik danau.
“Kekeringan
di Ranu Darungan murni karena pembagian air yang tidak sebanding antara air
yang masuk ke danau dan air yang dialirkan ke permukiman penduduk,” kata
Mahmudin Rahmadana, Kepala Resor Darungan, Seksi Pengelolaan Taman Nasional
(PTN) Wilayah IV Pronojiwo, Bidang PTN II Wilayah Lumajang, Balai Besar TNBTS.
Mahmudin
menjelaskan, di musim hujan, air Ranu Darungan berasal dari lima sumber di
dalam kelebatan hutan. Jumlah sumber air berkurang jadi tiga sumber di musim
kemarau. Air bening sejatinya mengalir lancar dari dalam hutan. Bila air
memenuhi seluruh danau, titik terdalamnya antara lima-sepuluh meter.
Mahmudin
mengajak masuk lebih jauh ke dalam hutan. Saya melihat, sekitar 150 meter dari ujung danau, tepatnya di lereng bukit
berhutan, terdapat tandon air warisan perusahaan daerah air minum (PDAM) Lumajang.
Karena penduduk ogah membayar rekening air, PDAM terus merugi sampai
akhirnya tandon ditinggalkan dan instalasi pipa dimanfaatkan penduduk untuk
mengalirkan air ke rumah-rumah mereka.
Masalahnya,
kata Mahmudin, diduga ada beberapa warga yang sengaja menutup aliran air ke
danau dan mengalihkan air ke permukiman. Daripada ribet dan ribut, akhirnya dicapai kesepakatan mengenai pembagian
air dengan Balai Besar TNBTS yang diwakili Resor Darungan. Sekitar 80 persen
air dialirkan ke permukiman penduduk dan sisanya dialirkan ke danau.
Berdasarkan catatan Mahmudin, pada 10 September 2014 debit sumber air tercatat hanya 0,02 liter per detik. Setelah dikurangi air untuk masyarakat, debit air yang masuk ke Ranu Darungan hanya 0,007 liter per detik. Jadi, Mahmudin menyimpulkan, hanya 35,5 persen air yang masuk ke Ranu Darungan. Tapi, seperti yang saya lihat, nyaris tiada tampak air mengalir ke danau.
Berdasarkan catatan Mahmudin, pada 10 September 2014 debit sumber air tercatat hanya 0,02 liter per detik. Setelah dikurangi air untuk masyarakat, debit air yang masuk ke Ranu Darungan hanya 0,007 liter per detik. Jadi, Mahmudin menyimpulkan, hanya 35,5 persen air yang masuk ke Ranu Darungan. Tapi, seperti yang saya lihat, nyaris tiada tampak air mengalir ke danau.
Pembagian air yang dimaksud minimal 40 persen
untuk Ranu Darungan. Akan lebih baik lagi jika masyarakat mau berbagi 50:50
jatah air. Porsi
pembagian air yang berlaku sekarang dirasa tidak adil bagi satwa penghuni
TNBTS, terutama para satwa yang menghuni hutan Darungan di lereng Gunung
Semeru. Kritisnya air di danau bisa mengancam keberadaan satwa dan pada
akhirnya mengganggu ekosistem hutan.
Mahmudin
berpendapat, dengan porsi pembagian air yang baru, toh masyarakat
tetap diuntungkan karena sebagian air danau juga tetap mengalir ke permukiman
penduduk di bawah danau kendati secara kasat mata aliran airnya tidak
kelihatan.
“Memang
harus sabar meyakinkan penduduk. Pendekatannya harus sangat persuasif dan
hasilnya harus bersifat win-win solution di mana kebutuhan air
satwa dan hutan di sekitarnya terpenuhi dan kebutuhan air penduduk juga
tercukupi,” kata dia.
Ya,
Mahmudin harus menguatkan mental dan menebalkan kesabaran. Ide yang ia
sampaikan belum disambut baik oleh warga. Pak Tunggal, penduduk setempat, misalnya,
masih keberatan bila porsi pembagian air diubah. Alasannya, penduduk setempat
masih kekurangan air. Keberatan serupa disampaikan oleh Suyono.
Mereka
mengatakan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga saja masih kurang, apalagi
untuk mengaliri kebun salak dan tanaman produksi lainnya. Mereka khawatir, bila
kebun salak kekurangan air, produksi dan kualitas salak bisa merosot drastis.
Mereka mengingatkan bahwa Pronojiwo merupakan sentra terbesar penghasil salak pondoh, dengan luasan sekitar 650 hektare, juga produsen cengkeh utama di Jawa Timur. ABDI PURMONO
0 Komentar