Majalah TEMPO Edisi 17-23 Februari 2014
Foto-foto: ABDI PURMONO |
SEHAT
dengan konsumsi makanan organik. Kredo yang kian berkembang di masyarakat,
terutama di kalangan menengah ke atas, itu ditangkap dan dimaknai sebagai
peluang bisnis oleh Rudik Setiawan.
Itu sebabnya, sejak 2007, pengusaha tahu asal Klampok, Singosari, Kabupaten Malang, ini berani berinovasi menciptakan tahu organik. Ini adalah tahu yang dibuat dengan bahan baku biji kedelai organik, yakni tanaman kedelai yang tidak melibatkan zat kimia, seperti pestisida dan pupuk kimia, dalam proses penanaman dan pemeliharaannya.
Feeling bisnis Rudik
terbukti benar. Pangsa tahu organik masih besar. Tak aneh jika minat orang
terhadap tahu buatannya yang diberi merek Pelangi itu terus berkembang. Selain menjual
di Malang dan sekitarnya, Rudik mengirim produk serupa ke swalayan dan sejumlah
hotel di Surabaya, Jakarta, dan Bogor. Bahkan, di Kota Hujan, Rudik menggandeng
pamannya untuk membuat pabrik khusus organik di Kampung Babakan, Kelurahan
Ciluar, Kecamatan Bogor Utara. Pabrik yang beroperasi sejak pertengahan tahun
lalu ini mengolah dua kuintal kedelai organik menjadi 1.500-2.000 potong tahu.
“Tahu
organik banyak kelebihan. Itu sebabnya penjualan terus meningkat,” kata Rudik
saat ditemui Tempo di rumahnya,
Selasa sore dua pekan lalu.
Mengutip
pengakuan konsumen, ia menyebutkan sejumlah keunggulan tahunya. Antara lain,
rasa lebih gurih, tidak sangit, tidak masam, dan tidak memakai pengawet,
seperti formalin yang biasa dipakai untuk pengawet makanan. Garam pun tidak
dipakai dalam proses pembuatan tahu ini.
Haris
Abdullah, penggemar tahu asal Desa Sumberpucung, Kecamatan Sumberpucung,
Kabupaten Malang, membenarkan ihwal kelebihan tahu organik itu. Lantaran kepincut
oleh cita rasa dan kualitas tahu itu, Haris tertarik memasarkannya di wilayah
selatan Kabupaten Malang, seperti Sumbermanjing Wetan, Kalipare, dan
Sumberpucung, plus tiga kecamatan di Kabupaten Blitar yang berdekatan dengan
Kabupaten Malang.
“Konsumen
suka tahu organik karena enak dan segar serta teksturnya halus. Di pasar banyak
tahu bertekstur halus, tapi rasanya masam atau kecut,” kata mahasiswa semester
VII Sekolah Tinggi Agama Islam Raden Rahmat, Kabupaten Malang, ini.
Kelebihan
lain, Rudik melanjutkan, tahu organik aromanya segar, kadar airnya rendah, dan
kenyal sehingga sangat cocok untuk menu makanan berbahan tahu, seperti tahu
campur, tahu isi, dan tahu petis. Untuk tahu goreng, jenis tahu ini lekas mekar
dan lebih cepat masak sehingga waktu menggorengnya lebih cepat 50 persen
dibandingkan dengan menggoreng tahu biasa. Kekenyalan tahu diperoleh bukan
lantaran ada campur tangan bahan pengawet, melainkan karena proses pengolahan
dan bahan-bahannya memang beda.
Sebagai
contoh, berbeda dengan perlakuan terhadap kedelai biasa, kedelai organik perlu
dicuci dua kali sebelum digiling. Kedelai juga harus digiling sampai
benar-benar halus. Pengasaman dengan cuka pada keledai organik yang sudah
dihaluskan berlangsung 20-25 menit. Pada kedelai biasa cukup 15 menit. Dengan proses
serupa itu, tahu organik mampu bertahan sepekan di luar kulkas dan dua bulan di
dalam kulkas. Bandingkan dengan tahu non-organik, yang hanya tahan tiga hari di
luar kulkas dan sebulan di dalam kulkas.
Jika
dihitung dari proses sejak awal, rata-rata, butuh waktu 45 menit untuk membuat
tahu biasa. Sedangkan pembuatan tahu organik bisa memakan waktu dua-tiga jam. Dengan
bahan baku yang lebih mahal, plus proses pengolahan yang lebih lama, wajar jika
harga tahu organik juga lebih mahal—selisih sekitar seribu rupiah per potong
dibanding tahu biasa.
Harga
tahu organik Pelangi kualitas biasa berlabel warna merah dibanderol Rp 3.000
per potong. Sedangkan tahu kualitas super yang berlabel hijau bisa mencapai Rp
6.000 per potong di pasar-pasar swalayan. Harga tahu organik super lebih mahal
karena dalam proses pembuatannya menggunakan air yang dihasilkan dari teknologi
reverse osmosis sehingga lebih jernih
dan steril. Teknologi ini lazim dipakai di tempat penjualan air isi ulang.
“Saya
senang meneliti dan bereksperimen,” kata Rudik, yang lahir di Malang, 4 Oktober
1984.
Saban
hari, pabrik tahu RDS—akronim dari nama Rudik dan huruf pertama nama depan
ketiga anaknya, Rasendria El Furqonia, Dzufairo El Kamila, dan Muhammad Sirhan
Syahzani—memerlukan empat kuintal kedelai untuk membuat 5.000 potong tahu. Dari
jumlah itu, sekitar 40 persen adalah tahu organik. Dalam sehari, omzetnya
mencapai Rp 3-4 juta. Kini juara kedua Wirausaha Mandiri 209 tingkat nasional
ini memiliki 16 karyawan pembuat tahu, 22 tenaga pemasaran ke pasar-pasar
tradisional, serta 5 tenaga pemasaran khusus ke hotel-hotel, pasar swalayan,
dan kompleks perumahan.
Keberhasilan
Rudik mengembangkan tahu organik tak lepas dari “pergaulan”-nya yang lama
dengan urusan tahu. Ia menggeluti usaha itu sejak berusia 17 tahun. Kala itu,
Rudik tak bertindak sebagai pembuat tahu, tapi sebagai investor. Dari uang
hasil tabungan, bantuan orang tua, dan pinjaman tetangga, ia menanamkan modal
Rp 25 juta untuk dikelola sejumlah teman.
Tak
ada perhitungan bisnis yang njelimet
untuk memulai usaha saat itu, kecuali mengandalkan insting dagang, ditambah
kejelian melihat banyak sumber air di desanya. Sumber air yang bening sangat
bagus dipakai dalam proses pembuatan tahu. Usaha Rudik dan kawan-kawan sempat
berkembang. Namun, karena fluktuasi harga kedelai ditambah masalah modal
usahanya dikemplang salah satu temannya, pelan-pelan usaha mereka meredup, lalu
tutup.
Rudik
ogah menyerah. Bermodalkan Rp 15 juta dari hasil menjual tanah, ia kembali
berbisnis tahu pada akhir Mei 2004 dengan bendera usaha RDS. Pengetahuan
membuat tahu ia peroleh secara otodidaktik semasa jadi mahasiswa Jurusan
Matematika Universitas Brawijaya, Malang, ditambah pengetahuan dari jagat maya.
Kemampuan dan keterampilannya membuat tahu makin terasah saat menjadi mahasiswa
pascasarjana agrobisnis Universitas Muhammadiyah Malang.
“Banyak
dosen yang senang hati berbagi ilmu dan pengetahuan membuat tahu dan produk olahan
dari kedelai lainnya,” ujarnya.
Usahanya
mulai berkembang dan makin maju setelah Rudik berinovasi membuat tahu spesial
berbahan baku kedelai organik, yang dipasarkan untuk kalangan menengah ke atas pada
2007. Selama pabrik beroperasi, lonjakan produksi paling terasa pada hari besar
Islam, terutama pada masa Lebaran, bisa mencapai 300 persen dibanding hari-hari
biasa. Tentu saja kebutuhan bahan baku ikut melompat.
“Pengiriman
bergantung permintaan, dan selama ini hubungan bisnis kami lancar-lancar saja,”
kata Surya, perwakilan PT Tritunggal Artha Makmur di Surabaya, pengimpor
kedelai dari Amerika yang berkantor pusat di Jakarta.
Keberhasilan
Rudik merembes kepada para karyawan. Ia menggaji mereka dengan upah minimum. Tahun
ini upah minimum Kabupaten Malang adalah Rp 1,635 juta. Bahkan khusus tukang—sebutan
untuk karyawan yang menguasai seluruh proses produksi—gajinya di atas upah
minimum.
Gaji
itulah yang kini dinikmati Basori. Bekas pekerja serabutan, termasuk menjadi
kuli bangunan, ini sudah tujuh tahun bekerja di tempat Rudik. Enggan menyebutkan
jumlah, pria 36 tahun ini menyatakan gajinya cukup untuk menghidupi keluarga. “Lebih
gede dibanding saat kerja serabutan,”
ucapnya. DWI WIYANA, ABDI PURMONO (MALANG)
0 Komentar