Foto-foto: ABDI PURMONO
|
Selain elang jawa, masih ada enam jenis elang lain yang hidup di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Riset lanjutan diperlukan untuk menemukan sarang di dalam hutan dan sekaligus untuk mengetahui akurasi jumlah elang jawa di dalam kawasan TNBTS.
SEEKOR elang jawa dewasa tiba-tiba melesat dari kelindapan pohon-pohon hijau. Tanpa disangka-sangka, sang elang terbang mendekati posisi saya yang berdiri di ladang singkong dekat pohon beringin besar.
Astaga! Sang elang berputar-putar 30-40 meter di atas kepala selama sekitar dua menit. Ia seperti sedang mengincar mangsa, tapi sang elang justru jadi sasaran empuk untuk “ditembak” dengan kamera. Jeprat-jepret-jeprat-jepret...
Elham Purnomo, Petugas Pengendali Ekosistem Balai Besar Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (TNBTS), pun sigap mengarahkan kamera. Begitu pula dengan Toni Artaka, rekan sekantor Elham.
Sayang, sang elang terlanjur terbang tinggi dan menjauh.
Leher terasa nyeri sehabis memotret. Tapi, kami sangat
bersukacita. Penampakan fisik elang jawa (Nisaetus
bartelsi) di ketinggian 1.092 meter dari permukaan laut Dusun Cincing, Desa
Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Minggu, 4
Agustus 2013, sekitar pukul 10.58 WIB, merupakan momen langka di hari terakhir
pengamatan.
Burung pemangsa di daerah tropis sangat sensitif dan
sulit untuk diamati terutama ketika di dalam hutan. Biasanya aktivitas terbang
burung pemangsa terlihat saat cuaca sedang cerah dan panas. Saat itu cuaca lagi
mendung-berawan. Tim mulai pasrah. Namun, di saat bersiap mau pulang, cuaca
berangsur cerah-panas dan sang elang yang dinanti pun muncul.
Kehadiran sang elang dari jarak dekat menjadi penawar
lelah dan ganjaran atas kesabaran mengamati elang jawa selama lima hari di
bulan puasa Ramadan di lereng Gunung Semeru. Maklum, dalam empat hari
sebelumnya, tim TNBTS bersama saya dan Heru Cahyono (Ketua Raptor
Indonesia Malang), belum juga mendapat gambar elang jawa yang ciamik.
Pengamatan dilakukan dua tim TNBTS di dua wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II, yakni Wilayah Resor Pengelolaan Hutan Taman Nasional (RPTN) Coban Trisula dan RPTN Jabung, dari 31 Juli sampai 4 Agustus 2013. Elham menjadi koordinator tim pemantau.
Pengamatan dilakukan dua tim TNBTS di dua wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II, yakni Wilayah Resor Pengelolaan Hutan Taman Nasional (RPTN) Coban Trisula dan RPTN Jabung, dari 31 Juli sampai 4 Agustus 2013. Elham menjadi koordinator tim pemantau.
Pengamatan di RPTN Jabung (4.512 hektare) dipusatkan
di Blok Bendolawang, Desa Ngadirejo, serta Blok Cincing, Desa Sukopuro. Kedua
desa berada di Kecamatan Jabung. Tim beranggotakan
Elham, Toni Artaka, dan Mahmuddin Rahmadana.
Sedangkan pengamatan di RPTN Coban Trisula (5.223 hektare) dipusatkan di pos pantau obyek wisata air terjun itu,
persisnya di sepanjang jalan beraspal yang merupakan akses ke Gunung Semeru dan
Gunung Bromo. Elang jawa di sini dipantau Yohanes Cahyo Dwi
Hartono, Nursidiq, dan Gatot Kuncoro Edi.
Dari hasil pengamatan, tim TNBTS menduga ada sepuluh ekor
elang jawa. Di Bendolawang terpantau sepasang elang jawa dewasa berusia enam
tahun ke atas yang mempunyai satu anak berusia 1-2 tahun, ditambah seekor elang
jawa remaja berusia 3-4 tahun. Sedangkan Cahyo dan kawan-kawan menyaksikan
kemunculan dua pasang elang jawa berusia enam tahun ke atas, yang masing-masing
mempunyai seekor anak berusia 1-2 tahun di kawasan hutan Coban Trisula.
“Laporan lengkapnya belum selesai kami buat. Semua hasil
temuan di lapangan harus dibahas secara komprehensif,” kata Elham kepada saya, Senin, 19 Agustus 2013.
Dugaan jumlah itu mengindikasikan populasi elang jawa di
kawasan TNBTS melampaui hasil pengamatan pertama sepanjang 25-29 September 2012
di tiga RPTN tadi. Pada masa itu terpantau kemunculan 6 ekor elang jawa.
Menurut Elham, pertambahan populasi burung pemangsa (raptor) yang sebelum 2005 bernama ilmiah
Spizaetus bartelsi itu melebihi
target prioritas penambahan populasi elang jawa sebanyak 3 persen sebagaimana diterakan
dalam Surat
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor:
SK.132/IV-KKH/2011 tentang Penetapan Empat Belas Spesies Terancam Punah.
Pada pengamatan pertama tim TNBTS mencatat kemunculan
elang jawa rata-rata seekor masing-masing di RPTN
Jabung dan RPTN Coban Trisula. Hanya di RPTN Patok Picis (4.370 hektare) elang jawa tidak muncul kecuali elang
hitam dan elang lainnya, sehingga resor ini ditiadakan sebagai lokasi pengamatan kedua.
Saat itu tim TNBTS menduga populasi elang jawa terpantau
sebanyak enam ekor. Namun tim tak berani memastikan data jumlah elang jawa terpantau
lantaran peralatan pemantauan yang digunakan tim tidak
komplet dan berkualitas rendah, serta tidak disertai pengamat
elang jawa yang kredibel.
Pada pengamatan kedua tahun ini, tim TNBTS bersama saya dan Heru menyaksikan kemunculan
banyak burung di Blok Bendolawang, yang jumlah jenisnya melebihi jumlah jenis
burung-burung terpantau di dua lokasi pemantauan lainnya.
Sedikitnya terpantau 25 jenis burung, tujuh jenis di
antaranya merupakan burung predator. Burung-burung nonpredator antara lain julang
emas (Rhyticeros undulatus),
kangkok ranting (Cuculus saturatus), puyuh-gonggong jawa (Arborophila
javanica), dan bondol jawa (Haliastur indus).
Elang-ular bido (Spilornis cheela).
|
“Kemunculan banyak burung di Bendolawang mengindikasikan
hutan TNBTS masih berkondisi bagus sebagai habitat burung, terutama bagi burung
pemangsa dan khususnya bagi elang jawa,” ujar Toni Artaka, menimpali.
Toni menyebutkan, aktivitas utama elang jawa yang
teramati adalah bersuara, terbang berputar-putar (soaring), dan terbang mendatar (gliding).
Kali ini tim pemantau tidak menjumpai elang jawa bertengger (perching) seperti yang mereka temukan
pada masa pemantauan tahun lalu.
Momentum terbaik didapat tim pemantau saat
menyaksikan kemunculan mendadak sepasang elang jawa, induk dan anak, di Blok
Bendolawang pada Kamis (31/7). Sang induk sedang mengajari anaknya terbang. Di hari kedua, muncul tiga ekor elang jawa sekaligus.
Di Coban Trisula sepasang elang jawa sempat terlihat dari
jarak dekat saat terbang rendah mendatar menyurusi jurang lalu terbang meninggi
dan menghilang di balik bukit. Namun, lokasi pemantauan terhalang pepohonan dan
belukar sehingga menyulitkan pemotretan. Berselang sejam, muncul sepasang elang
jawa nun di kejauhan.
Beruntung, di Blok Cincing-lah tim bisa mengagumi kehadiran
elang jawa dewasa dan bisa dipotret dari dekat. Sang elang nongol di atas
punggung bukit terbuka—berupa ladang singkong, jagung, dan pisang—milik
Perhutani yang berbatasan dengan hutan TNBTS. Semula tim menyangka elang
brontok yang nongol. Namun sangkaan
ini dikoreksi Heru, yang memastikan kami berhasil memotret elang jawa dewasa
berumur lebih dari enam tahun.
Toni Artaka memastikan elang jawa ini berasal dari
individu yang sama yang terpantau di Blok Bendolawang pada Jumat (1/8) dan
ternyata benar
setelah ia memperbesar hasil pemotretan sang elang.
Berpandu pada alat GPS (global positioning system)
diketahui Bendolawang dan Cincing terpaut jarak sekitar 500 meter. Cincing
menjadi daerah jelajah dan diduga menjadi tempat elang jawa bersarang dengan
merujuk pada kemunculan elang jawa dari arah Cincing selama empat hari
pemantauan di Bendolawang.
Yohanes Cahyo menguatkan penjelasan Elham dan Toni. Menurut Cahyo,
jumlah elang jawa diperkirakan melebihi ekspektasi mereka karena TNBTS punya selusin
RPTN dan yang diekplorasi baru dua RPTN. “Hasil pemantauan pertama dan kedua
sangat kami syukuri. Berapa pun elang jawa yang terpantau sudah sangat
menggembirakan,” kata dia.
Wajar saja Cahyo berkata begitu. Sebelum 2012, tiada data
dan catatan resmi tentang keberadaan elang jawa di Balai Besar TNBTS.
Namun, setelah pemantauan pertama selesai, Balai pun berani memastikan elang jawa menjadi salah satu satwa penghuni kawasan. Selama ini catatan potensi
fauna di kawasan TNBTS terdiri dari 137 jenis burung, 22
jenis mamalia, dan empat jenis reptil, plus potensi flora sekitar 600 jenis.
“Kehadiran elang jawa dan elang lainnya mengindikasikan
mayoritas hutan kami masih dalam kondisi bagus dan alami,” ujar Ayu Dewi Utari, Kepala Balai Besar
TNBTS. “Pemantauan populasi satwa lain, khususnya macan tutul dan lutung jawa,
akan diagendakan.”
Dia senang. Kehadiran pasangan elang jawa menunjukkan
hutan yang dekat lokasi pengamatan sangat penting bagi habitat sang elang untuk
berbiak sehingga harus dijaga kelestariannya.
Diperkirakan ada 311
jenis burung predator di dunia, 90 jenis di antaranya berada di Asia. Dari 90
jenis, 75 jenis ada di Indonesia, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Berbagai jenis burung pemangsa dapat dijumpai di seluruh
Indonesia, tetapi elang jawa hanya terdapat di hutan-hutan Pulau Jawa atau
bersifat endemik. Elang jawa mendapat perlindungan hukum berskala
internasional dan nasional karena merupakan pemangsa puncak (top predator) dalam rantai makanan di
alam dan populasinya sudah sangat kritis.
Gugusan Gunung Kawi dan hutan lestari difoto dari
Blok Bendolawang pada 31 Juli 2013.
|
Apendiks I merupakan
daftar spesies tumbuhan dan satwa liar terancam punah. Perdagangannya diizinkan
pada kondisi tertentu, misalnya untuk penelitian, dan bukan untuk tujuan
komersial.
Status perlindungan satwa di Indonesia ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970 tanggal
26 Agustus 1970 tentang Tambahan Ketentuan Dierenbeschermings
Ordonantie 1931 jo Dierenbeschermings Verordening 1931.
Elang Jawa mendapat perlindungan tambahan dalam Pasal 21 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
yang menyebutkan tentang pelbagai larangan terhadap satwa
dilindungi.
Perlindungan hukum diperkuat lagi dengan diterbitkannya
Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tanggal 10 Januari 1993 tentang Satwa dan
Bunga Nasional. Dalam Keputusan Presiden ini ditetapkan bahwa komodo (Varanus komodoensis) sebagai satwa nasional, ikan siluk merah (Sclerophages formosus) sebagai satwa
pesona, dan elang jawa sebagai elang langka. Elang jawa pun disebut identik
dengan lambang negara Garuda Pancasila.
Perlindungan lain diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menegaskan
perlindungan terhadap semua famili Accipitridae,
termasuk jenis elang jawa.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar secara khusus memastikan elang jawa sebagai jenis burung
pemangsa yang terlarang ditangkarkan untuk tujuan perdagangan. Disebutkan pula bahwa elang jawa termasuk satwa yang hanya dapat
dipertukarkan atas restu Presiden Republik Indonesia.
Begitu gentingnya populasi elang jawa, maka Direktur
Jenderal PHKA pada 8 Juli 2011 menyatakan elang jawa bersama 13 spesies lain sebagai
satwa yang mendapat prioritas utama untuk dilindungi dan populasinya
ditingkatkan sebanyak 3 persen sepanjang kurun 2010-2014.
Tiga belas spesies terancam punah lagi adalah harimau
sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus
sumatranus), badak jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos
javanicus), orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus), komodo (Varanus
komodoensis), owa jawa (Hylobates moloch), bekantan (Nasalis
larvatus), anoa (Bubalus quarlesi dan Bubalus
depressicornis), babirusa (Babyrousa babyrussa), jalak bali (Leucopsar
rothschildi), serta maleo (Macrocephalon maleo).
Secara garis besar, ke-14 spesies dikelompokkan menjadi tiga familia, yaitu mamalia (6 spesies), aves (4 spesies), primata (3 spesies), dan reptil (1 spesies).
Gunung Lawangan di Dusun Umbutlegi, Desa Umbutlegi, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, dilihat dari Blok Cincing, Minggu, 4 Agustus 2013.
|
BEBERAPA literatur mendeskripsikan elang jawa sebagai salah satu burung predator paling langka dan terancam punah yang masih tersisa di dunia. Ia menghadapi risiko kepunahan terutama karena menyusutnya luasan habitat akibat pembalakan hutan, pengalihan fungsi lahan hutan untuk permukiman, kegiatan pertanian dan perkebunan, serta perburuan dan penjualan.
Vincent Nijman, ahli burung-burungan (ornitholog) asal Belanda, dan
kawan-kawan, pernah menginvestigasi perdagangan elang jawa pada 2004. Dalam
enam bulan terungkap penjualan 20 ekor elang jawa di beberapa kota di Pulau
Jawa. Di tahun yang sama, sepuluh ekor elang jawa dikirim lewat Jakarta ke
Singapura, serta ke Taiwan lewat Surabaya. Dari investigasi itu diperkirakan
sekitar 53,2 persen populasi elang jawa berkurang akibat perburuan untuk
perdagangan.
Sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator), elang jawa berperan sangat penting dalam menjaga
keseimbangan ekosistem hutan. Ia dan elang lainnya berfungsi sebagai indikator
keadaan suatu lingkungan yang sehat, sekaligus pengendali populasi satwa lain.
Elang jawa dewasa mempunyai habitat utama berupa hutan
primer yang selalu hijau dan sebagian kecil wilayah hutan sekunder. Sedangkan
elang jawa anak dan remaja lebih menyukai area hutan terbuka—hutan dengan
rumpang dan hutan tanaman muda.
Departemen Kehutanan pada 2007 memastikan populasi terbanyak elang
jawa ada di Jawa Barat, terutama di wilayah Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. TNGHS merupakan habitat alami bagi burung-burung
pemangsa, termasuk elang jawa, karena memiliki kondisi terbaik dan terluas yang
tersisa di Pulau Jawa. Kawasan Suaka Elang juga ada di sana. Bahkan, untuk
mengukuhkan identitas, pengelola TNGHS menjadikan elang jawa sebagai logo resmi
instansi mereka.
Menurut Heru Cahyono, TNGHS menyimpan hasil penelitian
elang jawa dari banyak peneliti. Sebaliknya, ketersediaan hasil penelitian
elang jawa di provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, serta Jawa Timur masih
sangat minim.
Lagi pula, ujar Heru, dalam sejarahnya penelitian ilmiah
elang pertama kali dilakukan di wilayah Jawa Barat oleh Johan Coeraad van
Hasselt dan Henrich Kuhl pada tahun 1820-an. Mereka menangkap elang jawa di
daerah Gunung Salak untuk diteliti.
Memasuki abad ke-20, pengamatan intensif dilakukan Max
Bartels, seorang pecinta satwa yang bekerja di Perkebunan Pasir Datar, dekat
Sukabumi, setelah ia menerima seekor elang berjambul yang ditangkap seorang
penduduk dengan umpan seekor ayam di sekitar perkebunan Gunung Melati pada 30
April 1907.
Awetan elang itu dikirim ke Jerman untuk diidentifikasi
dan hasilnya bukan Spizaetus cirrhatus
limnatus, tetapi mirip dengan Spizaetus
kelaarti, jenis elang penghuni Srilanka, yang kemudian oleh seorang
peneliti dideskripsikan sebagai takson barn
atau anak jenis baru.
Usaha mengindentifikasi elang terus dilakukan. Pada 1924,
E. Stresemann, pakar burung dari Jerman, memperkenalkan anak jenis baru burung
elang. Sebagai penghormatan kepada Max Bartels yang menemukan kembali kehadiran
elang di Pulau Jawa, Stresemann menamakan sang elang dengan nama ilmiah Spizaetus nipalensis bartelsi. Hampir 50
tahun kemudian, pada 1953, elang jawa yang dalam bahasa Inggris disebut Javan Hawk-eagle baru diberi status yang
spesifik (jenis tersendiri) sebagai Spizaetus
bartelsi oleh D. Amadon.
Setelah itu, penelitian elang jawa sangat jarang
dilakukan sehingga informasi keberadaan elang jawa sangat terbatas dan
menimbulkan keyakinan bahwa populasi elang jawa masih sangat sedikit dan
diperkirakan hanya ada di kawasan pegunungan Jawa Barat. Pada 1975, Hans
Bartels, anak bungsu keluarga Bartels, menemukan elang jawa di Suaka Margasatwa
Merubetiri—sebelum berubah status menjadi taman nasional pada 23 Mei 1997. Sampai
awal 1980-an para ahli burung elang memperkirakan elang jawa merupakan burung
predator paling langka di dunia yang tersisa.
“Jadi wajar saja bila masyarakat tahunya rumah terbesar elang
jawa ada di Jawa Barat, khususnya di TNGHS. Hampir seluruh penelitian maupun pengamatan
mengenai biologi perkembangbiakan, tingkah laku, dan ekologi elang jawa masih
terpusat di sana,” kata Heru.
Sepasang elang jawa di Coban Trisula, 1 Agustus 2013. |
Elang jawa hanya terdapat di Pulau Jawa, yang dapat
ditemukan di daerah hutan primer dan daerah peralihan di dataran rendah dan
hutan pegunungan; lebih umum ditemukan di setengah daerah selatan. Perluasan
daerah penyebaran terjadi secara dramatis pada abad ke-19 dengan adanya perluasan
daerah pertanian intensif pada zaman kolonial. Perluasan habitat yang ditempati
meliputi 2.590 kilometer persegi di daerah dataran rendah dan 2.640 kilometer
persegi di hutan lereng gunung.
Diperkirakan 28 jenis burung pemangsa menghuni Pulau Jawa,
yang terdiri dari 16 jenis predator penetap, enam jenis predator migran, dan
enam subspesies penetap dan migran. Dua jenis endemik Jawa, yaitu elang jawa dan elang-ular bawean (Bawean Serpent-eagle atau bernama ilmiah
Spilornis cheela baweanensis). Elang jawa
terancam punah, Grey-headed Fish-eagle atawa
elang-laut kepala-abu (Ichtyophaga
ichthyaetus) hampir terancam punah.
Perkiraan populasi secara kasar
dibuat berdasarkan ekstrapolasi dari luas area yang dibutuhkan oleh sepasang
elang jawa dan berdasarkan jumlah habitat yang layak.
Beberapa ahli memperkirakan, pada
2004 elang jawa berpopulasi 270-600 pasang—dengan nilai pertengahan atau nilai
moderat 435 pasang—dan pada 2006 populasinya berkurang di kisaran 108-542
pasang, dengan nilai pertengahan 325 pasang. Populasi elang jawa diperkirakan
tersebar di 40 kantong kawasan hutan konservasi dan 22 kawasan hutan
nonkonservasi.
Dari peta persebaran kawasan
hutan alami, dari 40 kantong kawasan hutan konservasi, 33 kantong di antaranya
masih lestari dan sisanya berkondisi buruk. Dapat disimpulkan, 46,7 persen
populasi elang jawa berkurang karena kerusakan habitat.
Pada 2012 Raptor Indonesia merilis, dari hasil penelitian elang jawa dalam
15 tahun terakhir diketahui populasi elang jawa makin berkurang. Sepanjang
2005-2010, misalnya, ditaksir 110 pasang elang jawa hilang. Bila tak ada upaya
konservasi yang serius, diperkirakan elang jawa punah pada 2025.
Masalahnya, kata Heru, belum ada informasi memadai
mengenai kondisi spesies, struktur umur, ukuran populasi, penyebaran, dan data
lain elang jawa. Hanya informasi karakteristik elang jawa yang lumayan
mencukupi dan akurat.
“Selama ini penelitian elang jawa terlalu terfokus di
kawasan konservasi, seperti di taman nasional dan kawasan yang dikelola BKSDA. Padahal,
elang jawa juga bisa hidup di luar kawasan konservasi. Namun, kita kekurangan
SDM (sumber daya manusia) yang mau meneliti elang jawa di Jawa Timur,” kata sarjana
sains biologi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA)
Universitas Negeri Malang itu.
Kebanyakan peneliti lebih suka meneliti di Jawa Barat,
yang alamnya berkondisi relatif lebih subur dan lestari sehingga disukai elang
jawa. Alhasil, ketersediaan data dan catatan keberadaan elang jawa di Jawa
Timur dan Jawa Tengah sangat njomplang
dibanding catatan dan data serupa yang dipunya Jawa Barat.
Di luar Jawa Barat, berdasarkan
data Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, elang jawa di Jawa
Tengah kini hanya bisa dijumpai di Gunung Slamet, Gunung Merapi, Gunung Dieng,
serta hutan di Pemalang.
Sisipan Jawa Timur Majalah TEMPO, 9-15 September 2013
|
Hasilnya, elang jawa muncul di 15
lokasi atau 79 persen, dengan rata-rata populasi di tiap lokasi antara satu
sampai dua pasangan. Diperkirakan, daerah jelajah elang jawa dewasa maksimal 50
kilometer persegi, elang jawa remaja terbiasa menjelajah area 5 kilometer
persegi, serta anakan elang jawa biasa “beredar” di wilayah hutan seluas 1
kilometer persegi. Luas daerah jelajah tergantung topografi hutan. Bila
terhalang perbukitan, maka daerah jelajah menjadi terbatas.
Lima belas lokasi itu: Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru; Taman Nasional Baluran; Hutan Lindung Gunung
Raung di Kabupaten Jember; Perkebunan Kopi Kayumas di Kabupaten Situbondo;
Hutan Lindung Pancur Angkrek di Kabupaten Bondowoso; Taman Nasional Alas Purwo;
Hutan Lindung Kondangmerak di Kabupaten Malang; Cagar Alam Pulau Sempu di
Kabupaten Malang; Cagar Alam Taman Wisata Ijen di Kabupaten Banyuwangi; Hutan
Lindung Gunung Kawi di Kabupaten Malang; dataran tinggi Hyang di Kabupaten
Jember; Taman Nasional Merubetiri; hutan pinus Pujon dan Ngantang di Kabupaten
Malang; serta hutan pinus dan mahoni di Prigen, Kabupaten Pasuruan.
Habitat tempat bersarang dan
teritori yang digunakan elang jawa adalah tempat yang sukar dicapai, berbukit,
hutan awet hijau dataran rendah tropis, dan daerah bawah dan daerah atas hutan
hujan tropis.
Elang jawa bisa hidup di daerah
pantai, seperti Kondangmerak di Kabupaten Malang dan Taman Nasional Merubetiri,
serta di ketinggian antara 2.200 sampai 3 ribu meter di atas permukaan laut. Elang
jawa sangat tergantung pada hutan primer. Namun, hasil pengamatan membuktikan
elang jawa juga menggunakan hutan sekunder untuk berburu dan bersarang, tapi
lokasinya masih berdekatan dengan hutan primer yang luas dan tak diragukan lagi
turut mempengaruhi keberhasilan pembiakkannya.
Perjumpaan beberapa pasangan yang
sedang berbiak di hutan produksi menunjukkan bahwa kawasan itu sangat penting
bagi elang jawa. Burung elang jawa muda biasanya dapat ditemukan di tepi hutan.
Kendati begitu, menurut Heru, tampaknya terjadi persebaran tumpang tindih
terutama dengan daerah yang memiliki curah hujan tertinggi, tapi daerah
jelajahnya mungkin juga mencakup daerah kering, seperti daerah hutan
semi-peluruh tropis di Taman Nasional Alas Purwo.
“Secara umum,” Heru menegaskan, “kondisi
hutan di Jawa Timur yang kami kunjungi masih bagus dan lestari sebagai habitat
elang jawa dan kualitas hijaunya tak kalah dengan hutan primer di Jawa Barat.”
Kemunculan anakan dan remaja elang jawa selama
masa pemantauan oleh TNBTS mengindikasikan bahwa reproduksi elang jawa
relatif berhasil. Reproduksi elang jawa lambat. Dalam dua tahun elang jawa
betina hanya bertelur satu butir dan itu pun dengan risiko gagal menetas akibat
sarang rusak atau telur hilang.
Anak elang jawa pun menghadapi risiko tinggi berupa
pencurian oleh pemburu karena sang anak suka bersuara sehingga keberadaan
sarang mudah diidentifikasi pemburu.
Sedangkan
perjumpaan pasangan elang jawa menunjukkan bahwa hutan yang dekat lokasi
pengamatan sangat penting bagi habitat sang elang untuk berbiak. Kemunculan
elang jawa dewasa, remaja, dan anakan menjadi indikasi positif bahwa kondisi
hutan TNBTS masih bagus.
Secara umum, Heru menegaskan,
kondisi hutan di Jawa Timur yang kami kunjungi masih bagus dan lestari sebagai
habitat elang jawa dan kualitas hijaunya tak kalah dengan hutan primer di Jawa
Barat.
“Sekarang perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih intensif, terutama untuk
mengetahui keberadaan sarang elang jawa agar perkiraan populasi bisa lebih
akurat,” Heru menukas.
Rubrik Ilmu & Teknologi Koran Tempo, Rabu, 11 September 2013
|
“Lain soal bila rentang waktunya
panjang. Dalam rentang waktu setahun, bisa terjadi pengulangan pengamatan atas
individu elang jawa yang sama karena, misalnya, keterbatasan teknis pemantauan
di lapangan, sehingga populasinya bisa saja dikira bertambah banyak, padahal
itu elang jawa yang sama dengan yang diamati dulu,” kata Rosek.
Anggaplah populasi elang jawa
memang bertambah, itu pun belum bisa dijadikan dasar untuk memastikan TNBTS
menjadi rumah bagi elang jawa sepanjang belum ditemukan sarang aktif tempat
sang elang berbiak. “Sebagai habitat, iya, tapi sebagai sarang elang jawa belum
tentu sepanjang sarang aktifnya tidak ditemukan.”
ProFauna pernah melakukan survei elang jawa pada
1997, 2000, 2011, dan 2012, dengan lokasi yang sama di Taman Hutan Rakyat
(Tahura) Raden Soerjo, Taman Nasional Merubetiri, Cagar Alam Pulau Sempu di
Kabupaten Malang, Hutan Lindung Lebakharjo di Kabupaten Malang, TNBTS, dan
Suaka Margasatwa Hyang.
Hasilnya, pada 1997, ProFauna menyaksikan
kemunculan 6 elang jawa di Tahura Raden Soerjo, di TN Merubetiri melihat
kemunculan 2 elang dan satu sarang aktif, melihat kemunculan seekor elang jawa
di Pulau Sempu, 3 ekor elang muncul di Lebakharjo ditambah dua sarang tidak
aktif, di TNBTS muncul 2 ekor, serta di dataran tinggi Hyang muncul
seekor.
Tiga tahun berselang, pada 2000, populasi elang
jawa yang disurvei ProFauna berkurang. Elang jawa tak muncul di Lebakharjo dan
Hyang. Di Tahura Raden Soerjo nongol 5 ekor, di TN Merubetiri
muncul 3 ekor, Pulau Sempu tetap seekor yang terlihat, dan di TNBTS tetap dua
ekor yang terpantau.
Pada 2011, hanya dua ekor elang jawa yang terlihat
terbang di Tahura Raden Soerjo. Pada 2012, elang jawa absen di Lebakharjo dan
Hyang. Elang jawa masih muncul di Tahura Raden Soerjo (2 ekor), TN Merubetiri
(2 ekor), Pulau Sempu (1 ekor), dan TNBTS (3 ekor).
Karena itu, Rosek sangat
mendukung niat TNBTS untuk menindaklanjuti pemantauan dengan mencari lokasi
sarang elang jawa di dalam hutan. ABDI PURMONO
0 Komentar