Anggrek selop (Paphiopedilum glaucophyllum) di Kebun Raya Purwodadi, 25 Juni 2013. Foto-foto: ABDI PURMONO |
Anggrek selop merupakan salah satu anggrek endemik Provinsi Jawa Timur yang tumbuh di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan jadi maskot Kebun Raya Purwodadi di Kabupaten Pasuruan.
TONI Artaka selalu berada di belakang rombongan. Saat rombongan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tertib berjalan menyusuri jalur pendakian ke Gunung Semeru pada 3-5 Juni 2013, ia malah berjalan ke sembarang arah sambil menenteng kamera.
Berada di ekor rombongan membuat Toni leluasa bertingkah laksana guru biologi yang aneh. Tahu-tahu ia menyeruak semak, merunduk di bawah pohon, bahkan nyaris tiarap serata tanah untuk memotret flora dan fauna. Sesekali ia berseru keras untuk memberitahu rekan seperjalanan.
Hasil
kerjanya tertuang dalam laporan “Harta Karun TNBTS: Catatan FloNa dari
2.200-3.676 mdpl” setebal 19 halaman. Banyak gambar ditampilkan; antara lain,
lutung jawa (Trachypitecus auratus Geofory)
di Blok Landengan Dowo; Corybas
imperatorius, anggrek tanah berumbi; suket melelo (Styphelia javanica); purwaceng (Pimpinella
pruatjan Monkelb.); edelweis jawa (Anaphalis
javanica); Verbenia brasiliensis
Vell, serta Dendrobium jacobsonii
J.J.Sm.
Lutung
jawa sudah berstatus dilindungi. Penampakan Corybas
imperatorius merupakan temuan baru karena sebelumnya tidak ada data
keberadaannya di Blok Ranu Kumbolo. Anggrek ini berdaun tunggal berukuran 1,5 x
1,5 sentimeter, berwarna hijau keabu-abuan, dengan venasi (jalur-jalur) pada
daun tebal berwarna keperakan.
Ahli anggrek ternama, J.B. Comber, dalam buku Orchids
van Java (1990) mendeskripsikan Corybas
imperatorius sebagai flora khas sabana (padang rumput) pegunungan pada
tanah-tanah yang miskin hara. Disebutkan pula bahwa sebaran Corybas imperatorius di ketinggian 1.280
sampai 1.730 meter dari permukaan laut (mdpl). Tapi ternyata Corybas imperatorius bisa tumbuh di Ranu
Kumbolo pada ketinggian 2.480 mdpl.
Corybas imperatorius pun disebut tanaman
endemik gunung Jawa Tengah dan dan Jawa Timur. “Sungguh temuan yang luar biasa.
Masalahnya, anggrek itu rentan gangguan manusia karena tumbuh di tebing jalan
setapak dari Watu Rejeng hingga tanjakan menuju Ranu Kumbolo,” kata Pengendali
Ekosistem Hutan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Senduro TNBTS itu
kepada saya, 12 Juni lalu.
Toni
meneruskan, suket melelo memang berfisik mungil dan sepele. Tapi dalam
ekosistem sabana, suket melelo sangat disukai serangga karena menghasilkan
nektar. Purwaceng salah satu jenis tanaman obat di TNBTS yang paling sering
dicuri karena dipercaya manjur meningkatkan vitalitas pria. Edelweis terancam
habis karena sering dipetik pendaki yang bertindak ngawur.
Verbena brasiliensis merupakan tanaman
semak tahunan dan berumur pendek yang berasal dari Amerika Selatan. Ia tanaman
asing yang tumbuh invasif sehingga bisa menguasai habitat asli dan menggusur
tanaman asli TNBTS, seperti sabana Oro-Oro Ombo. Sedangkan Dendrobium jacobsonii menjadi sampul buku tebal Orchids of Java.
Namun
Toni mengaku masih penasaran. Kecuali Corybas
imperatorius, ia belum menjumpai banyak anggrek endemik Jawa Timur yang
tumbuh di kawasan TNBTS, khususnya anggrek selop (Paphiopedilum glaucophyllum).
“Saya
tahu dari buku Orchids of Java dan
hasil penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) bahwa di TNBTS
banyak anggrek endemik dan harta karun itu sudah langka dan terancam punah.
Tapi sejak bekerja tahun 2000, saya belum pernah menjumpainya di alam,” kata
dia.
Toni
menduga, anggrek-anggrek endemik semakin susah dijumpai lantaran banyak diburu
untuk diperjualbelikan, juga akibat pencurian kayu yang merusak habitat
anggrek.
Untungnya,
frekuensi pencurian flora dalam TNBTS sudah jauh berkurang. Menurut Yohanes
Cahyo Dwi Hartono, Kepala Resor Ranupani, kasus pencurian terakhir tercatat
terjadi pada Agustus 2011. Petugas TNBTS menangkap sejumlah pencuri kayu,
pencuri tanaman obat, dan pembuat arang berbahan baku cemara gunung.
Pencurian
terjadi lebih dikarenakan sedikitnya jumlah personel polisi hutan atau jagawana
(ranger). Hanya ada sekitar 45 orang
jagawana yang menjaga taman nasional seluas 50.276 hektare dan tersebar di
dalam wilayah empat kabupaten: Lumajang, Malang, Pasuruan, dan Probolinggo.
Destario
Metusala alias Rio dan Tarmudji sependapat. Rio peneliti anggrek di Kebun Raya Purwodadi (KRP) Pasuruan. Tarmudji bekas ahli taksonomi anggrek (taksonom) yang
pensiun pada 2012 setelah mengabdi selama 36 tahun di KRP.
Anggrek selop merupakan maskot KRP. Hingga April 2008, di lahan KRP seluas 85 hektare
tumbuh 10.934 spesimen tanaman yang terdiri dari 173 suku dan 908 marga.
Koleksi tumbuhan ini merupakan hasil eksplorasi dari berbagai daerah di Indonesia, hasil pertukaran dengan negara lain, dan sumbangan pribadi atau dari instansi lain. Mayoritas tanaman yang dikoleksi KRP merupakan hasil penangkaran di luar habitatnya atau konservasi ex-situ.
Koleksi tumbuhan ini merupakan hasil eksplorasi dari berbagai daerah di Indonesia, hasil pertukaran dengan negara lain, dan sumbangan pribadi atau dari instansi lain. Mayoritas tanaman yang dikoleksi KRP merupakan hasil penangkaran di luar habitatnya atau konservasi ex-situ.
Koleksi tumbuhan itu mencakup bambu, polong-polongan, mangga, paku-pakuan, pisang,
tumbuhan obat, palem, dan anggrek. Anggrek ditempatkan di rumah kaca yang
kondisinya disesuaikan dengan habitat alaminya.
Terdapat
sekitar 3 ribu spesimen anggrek alam atau anggrek spesies yang terdiri dari 71
marga dan 329 jenis, serta 227 jenis lainnya yang belum terindentifikasi. Tujuh
jenis di antaranya merupakan anggrek endemik Jawa Timur seperti Appendicula imbricate, Dendrobium arcuatum, dan tentu saja
termasuk anggrek selop.
Rio
menerangkan, anggrek selop—populer disebut anggrek kantong atau anggrek kasut (lady slipper) berbulu—sangat mirip
dengan anggrek varietas mouquettianum
yang ada di Jawa Barat. Varietas mouquettianum
tumbuh di ketinggian 150 meter dari permukaan laut (mdpl).
Sebaran
anggrek selop ada di wilayah selatan Gunung Semeru. Anggrek selop kini hanya
bisa dijumpai di tebing-tebing tinggi yang sulit dijangkau para pemburu
anggrek. Anggrek selop disukai karena bentuknya yang unik, menyerupai kantong
semar atau alas kaki wanita, serta gampang diambil para pemburu karena tumbuh
di permukaan tanah, serta relatif gampang beradaptasi dengan iklim subtropis.
Walau laju pertumbuhannya lambat, namun anggrek selop termasuk jenis yang
relatif mudah dipelihara dan toleran untuk dibudidayakan di dataran rendah.
“Anggrek
selop disukai kolektor di luar negeri sebagai indukan anggrek hibrida. Paphiopedilum glaucophyllum populer
sebagai tanaman ornamental,” kata Rio di kantin KRP pada Rabu, 25 Juni.
Kolektor
peminat anggrek selop ada di Inggris, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Jepang,
Taiwan, dan Thailand. Dalam nilai rupiah, harga pasaran di luar negeri antara
Rp 700 ribu sampai 5 juta per tanaman. Bahkan, anggrek selop asli (bukan
hibrida) bisa mencapai Rp 12 juta per tanaman.
Selasa, 25 Juni 2013. |
“Modus
perdagangan anggrek selop, dan anggrek langka lainnya makin canggih dengan
menggunakan kemajuan teknologi informasi, seperti lewat media sosial Facebook,”
ujar alumnus Jurusan Biologi Konservasi Universitas Kent, Inggris, ini.
Harga
anggrek selop di kalangan pemburu antara Rp 15 ribu sampai Rp 17 ribu per pot.
Pemburu bisa membeli dengan harga lebih murah dari masyarakat di sekitar
kawasan hutan, terutama masyarakat Lumajang yang bermukim di selatan Gunung
Semeru. Harga dari masyarakat dalam kisaran antara Rp 2 ribu sampai Rp 5 ribu.
Sejatinya anggrek kantong alam (spesies asli) terlarang untuk diperjualbelikan dalam bentuk apa pun. Anggrek selop masuk dalam
daftar Apendiks 1 Konvensi Perdagangan Internasional untuk Tumbuhan dan Satwa
Liar (Convention on International Trade
in Endangered Species/CITES). CITES mulai berlaku sejak 1 Juli 1975.
Indonesia menjadi negara ke-48 dari 175 negara yang telah meratifikasi konvensi
itu. CITES diteken Indonesia pada 28 Desember 1978.
Selain
dilindungi secara internasional, anggrek kantong masuk dalam daftar 29 anggrek
yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam daftar ini anggrek selop disebut dengan nama
anggrek kasut berbulu. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, induknya
KRP, pada 2010 pun memasukkan anggrek selop sebagai Spesies Prioritas
Konservasi.
Terlarang
diperjualbelikan, tapi faktanya perdagangan gelap anggrek selop terus
berlangsung karena penangkaran atau perbanyakan anggrek selop di luar habitat,
termasuk di luar KRP, cukup berhasil meski tidak dalam jumlah melimpah.
Perbanyakan anggrek selop umumnya dilakukan kolektor dan pengusaha nurseri (breeder) anggrek.
Sedikitnya
ada 46 nurseri anggrek di Jawa Timur yang berlokasi di Surabaya, Pasuruan,
serta Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu).
Ada
banyak anggrek endemik di TNBTS. Menurut Tarmudji, sebuah laporan 1993-1994 menyebut
banyak anggrek endemik Jawa Timur di kawasan Bromo-Semeru yang terancam punah.
“Laporan itu dibuat sebelum pembalakan hutan marak dan liar (1998-1999). Coba
bayangkan kondisinya sekarang, kira-kira masih hidup atau sudah habis
anggrek-anggrek itu,” kata Tarmudji pada Senin malam, 1 Juli.
Laporan
yang dimaksud Tarmudji adalah hasil inventarisasi anggrek di areal 1.500
hektare di Semeru selatan lewat Proyek Pembinaan Suaka Alam dan Hutan Wisata
TNBTS. Kegiatan inventarisasi dilakukan selama 12 hari (18-29 September 1993),
laporan kegiatan dirilis pada Februari 1994.
Meski
orang KRP, Tarmudji dan seorang rekannya ikut dalam tim bentukan TNBTS sebagai
pendamping. Keahlian Tarmudji sebagai taksonom anggrek terasah selama 14 tahun
saat menemani Comber meneliti anggrek di hutan-hutan Pulau Jawa dan
menghasilkan buku Orchids of Java.
Dalam
laporan disebutkan, dari kegiatan inventarisasi flora dan fauna TNBTS pada
Agustus 1987 diketahui kekayaan flora dan fauna sangat beragam dan memiliki
nilai ilmiah yang tinggi, terutama dari jenis anggrek.
Tim
menjumpai 128 jenis anggrek, tiga jenis di antaranya merupakan jenis endemik
dan ada sembilan jenis yang namanya terdaftar dalam Red Data Book terbitan IUCN
(International Union for Conservation of Nature) tahun 1978.
Enam
tahun berselang, jumlah spesies anggrek dalam kawasan TNBTS diketahui bertambah
banyak. Pada September 1993 terdata 157 jenis atau spesies anggrek (Orchidaceae) yang tercakup dalam 55
genus (marga); mayoritas (107 jenis) tumbuh menempel pada pohon-pohon (epifit)
dan 50 jenis merupakan anggrek yang tumbuh di permukaan tanah (terestrial).
Selasa, 25 Juni 2013. |
Dari
157 jenis anggrek, 40 jenis merupakan anggrek langka. Di antaranya tiga jenis
anggrek langka endemik Jawa dan 15 jenis anggrek endemik Jawa Timur, termasuk 3
spesies khas Semeru, yakni Malaxis
purpureonervosa, Malleola witteana (anggrek
lalat), dan Liparis rhodochila (anggrek
burung). Ketiga spesies khas Semeru selatan ini tumbuh di wilayah Kecamatan
Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.
Dari
40 jenis anggrek langka, kata Tarmudji, 34 jenis diduga sudah punah
dihabitatnya, termasuk Malaxis purpureonervosa,
Malleola witteana, dan Liparis rhodochila. Tapi mungkin juga sebagian masih hidup di luar habitat, termasuk di Kebun Raya Purwodadi.
Dalam
laporan disebutkan anggrek selop sudah berstatus genting (endangered). Anggrek terestrial ini bisa dilihat dari batangnya
yang pendek dan berbentuk semu, dengan daun berukuran 30 x 5 sentimeter dengan
daging agak tipis, berwarna hijau bercak-bercak hitam, bentuk oblong.
Ciri
lain, tandan bunga mencapai 40 sentimeter, berbulu halus warna cokelat.
Bunganya berdiameter 10 sentimeter berbentuk kelopak bulat telur, berwarna
hijau bergaris cokelat kemerahan, mahkota berbentuk bulat panjang (long oblong) berwarna hijau totol-totol
cokelat kehitaman pada bagian pangkal. Sedang pada bagian ujung berwarna ungu
kemerahan, bagian permukaan masing-masing berbulu halus, bibir bunganya
berwarna hijau kecokelatan.
Dari
habitatnya diketahui anggrek selop tumbuh subur di tempat-tempat tersembunyi,
lembab dan di tanah yang agak miring dan penuh humus pada elevasi antara 750
sampai 2.000 mdpl.
Kondisi
populasi anggrek-anggrek di Semeru selatan sangat dipengaruhi oleh kondisi
bio-ekologis, spesies dan keadaan fisik lapangan akibat dampak aktivitas
vulkanik Gunung Semeru. Dikenal dua macam bahaya di daerah sekitar gunung
tertinggi di Pulau Jawa itu, yakni bahaya primer dan bahaya sekunder.
Bahaya
primer dijelaskan sebagai bahaya akibat langsung dari aktivitas vulkanik Semeru
berupa awan panas letusan, lontaran material vulkanik dari kawah, awan panas
tipe guguran, dan aliran lava. Bahaya sekunder sering disebut juga bahaya basah
yang hakikatnya berupa hujan yang menghanyutkan endapan bahan-bahan vulkanik
dan mengalir sebagai banjir lahar dingin.
Namun, kata Tarmudji, kerusakan habitat anggrek endemik di dalam kawasan TNBTS
lebih banyak akibat ulah manusia. Masyarakat sekitar kawasan mengeksploitasi
hasil-hasil hutan, termasuk anggrek, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka
sehari-hari.
Kebutuhan
sehari-hari mereka bertemu dengan kepentingan para hunter dan pebisnis anggrek. Alhasil, eksploitasi anggrek makin
sulit dikendalikan. Tapi Tarmudji menukas bahwa masyarakat tidak bisa
disalahkan begitu saja. Secara umum di Indonesia, kata dia, pembalakan hutan
dan pengalihan fungsi lahan hutan besar-besaran baik oleh pemerintah maupun
swasta menjadi penyebab terbesar kerusakan habitat anggrek di alam.
Untuk
menyelamatkan anggrek langka, Kebun Raya Purwodadi memprioritaskan pelestarian
anggrek selop dengan cara perbanyakan secara alamiah tanpa rekayasa genetika
sebagai sumber plasma nutfah supaya kemurnian genetik anggrek terjaga.
Pengamatan
di KRP mencakup aspek agronomis budidayanya, seperti media tumbuh yang paling
sesuai, intensitas cahaya yang tepat, pola penyiraman dan pemupukan. Dari hasil
pengamatan diketahui bahwa Paphiopedilum
glaucophyllum diketahui dapat
berbunga sepanjang tahun dan masa mekarnya relatif cukup lama, antara 6 sampai
14 hari.
Rio
mengatakan, perbanyakan anggrek di KRP menggunakan teknik kultur in-vitro (kondisi steril). Teknik ini
dibagi menjadi kultur jaringan dan kultur biji. Kecuali perbanyakan anggrek
selop, kultur biji diterapkan ke anggrek-anggrek lain dan relatif berhasil.
Dengan metode kultur jaringan, planlet (calon bibit atau tanaman kecil dengan organ lengkap) baru bisa diperoleh dalam masa dua-tiga tahun, tergantung jenis anggreknya. Planlet anggrek berukuran besar (anggrek vanda), misalnya, lebih lambat lagi dihasilkan.
Dengan metode kultur jaringan, planlet (calon bibit atau tanaman kecil dengan organ lengkap) baru bisa diperoleh dalam masa dua-tiga tahun, tergantung jenis anggreknya. Planlet anggrek berukuran besar (anggrek vanda), misalnya, lebih lambat lagi dihasilkan.
Dengan
metode kultur biji, dalam 8 bulan sampai 1,5 tahun bisa didapatkan ratusan
bahkan sampai ribuan planlet. Namun
metode kultur biji masih diujicobakan pada anggrek selop. Sejauh ini anggrek selop masih diperbanyak dengan teknik andalan, yakni pembiakan vegetatif, dengan pemisahan
rumpun (simpodial) agar didapat anakan anggrek yang baru. Dengan teknik ini,
dalam 6-8 bulan sudah bisa diperoleh satu anakan anggrek.
Tiap
kali anakan anggrek muncul dari satu rumpun langsung dipisahkan untuk
diperbanyak lagi dan begitu seterusnya. Dengan teknik vegetatif, kemurnian
genetik anggrek selop tetap terjaga.
Dua
teknik perbanyakan ini dilakukan di tempat berbeda. Kultur biji dilakukan di
laboratorium, sedangkan teknik perbanyakan vegetatif dikerjakan di kebun.
Tarmudji menyebut teknik vegetatif sebagai teknik konvensional alias teknik
manual.
Bukan
hanya Kebun Raya Purwodadi yang berupaya melestarikan anggrek langka dari
kepunahan, pedagang anggrek pun mengklaim turut melestarikan anggrek asli meski
mendapat bibit dari pemburu.
Simaklah
penuturan Dede Setyo Santoso, pemilik Dede Orchid di Batu. Ia fokus mengembangkan
dan menjual anggrek spesies asli lantaran harganya lebih mahal dibanding
anggrek hibrida. Bunga anggrek hibrida memang cantik-cantik, tapi harganya murah.
Dede
punya lebih dari 150 anggrek spesies. Anggrek spesies yang diunggulkan antara
lain Dendrobium taurinum, Dendrobium laxifilorum, dan Dendrobium stratiotes menjadi anggrek. Dede
jujur mengaku masih mengandalkan pemburu untuk mendapat anggrek spesies meski
ia tahu sebagian anggrek spesies berstatus dilindungi. Sebagaimana KRP, Dede
membudidayakan anggrek spesies dengan teknik kultur jaringan.
Dede
berpendapat, alih fungsi lahan yang dilakukan pemerintah menjadi penyebab utama
kerusakan habitat anggrek spesies. Sedangkan hunter hanya mengambil porsi kecil.
“Dari
hunter (pemburu anggrek) saya dapat
indukan, lalu saya budidayakan. Dengan begitu anggrek spesies bisa bertahan di
luar habitatnya. Secara tidak langsung, saya juga melakukan konservasi terhadap
anggrek-anggrek spesies,” kata Dede kepada saya pada Senin petang, 1 Juli.
Ia
mengatakan anggrek selop miliknya lebih banyak diperlakukan sebagai koleksi dan
untuk kepentingan penelitian. Buktinya, Dede bekerja sama dengan Departemen
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga.
Harto
Kolopaking, pemilik Simanis Orchids di Lawang, Kabupaten Malang, berpendapat
senada. Menurut dia, kondisi anggrek spesies di alam sangat mengenaskan.
Pemerintah melindunginya, tapi upaya konservasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia lewat Kebun Raya tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan.
“Orang-orang
seperti kami tidak melulu memikirkan bisnis, tapi juga sangat peduli
konservasinya,” ujar Harto.
Harto
menyarankan kepada pemerintah untuk menerbitkan kebijakan baru yang membebaskan
sejumlah anggrek spesies dari daftar langka dan terancam punah karena faktanya
banyak anggrek spesies yang bertahan hidup dan malah jumlahnya bertambah banyak
di luar habitatnya. Bila jumlahnya bertambah banyak, berarti sang anggrek tak
lagi terancam punah.
Kebijakan
baru ini penting untuk menekan laju perdagangan gelap anggrek, yang hanya
menguntungkan pebisnis anggrek di luar negeri. Mereka membudidayakan anggrek
spesies yang mereka beli dari Indonesia, kemudian diekspor ke banyak negara di
luar Indonesia.
2 Komentar
Terima kasih! Saya baru saja mendaki Bukit Kelam di kab.Sintang Kalimantan Barat. Saya menemukan species Anggrek sangat mirip Paphiopedilum glaucophyllum ini juga, namun dengan karakteristik bunga tumbuh hanya satu, berwarna hijau muda dengan semburat ungu pada sayapnya. Yang unik adalah daunnya yang berwarna hijau gelap dan bertotol putih, eksotis! Apakah ini termasuk salah satu spesies anggrek tersebut atau jenis anggrek lainnya?
Balas@Rifqi Adzani: Waduh, mohon maaf saya melewatkan begitu lama pesan dari Anda sehingga balasan dari saya pun sangat telat.
BalasMaaf lagi, saya sebenarnya bukan ahli anggrek. Apabila ada fotonya, barangkali saya bisa bantu mengenalinya. Tapi ada kawan yang ahli anggrek yang saya sebut dalam artikel itu yang mungkin bisa membantu Anda.
Terima kasih ya sudah mau berkomentar.